HAK BANGSA

HAK BANGSA
Memahami Hak Bangsa Dan Hak Menguasai Dari Negara
(Dalam Kebijakan politik Pertambangan Daerah)

Hak Bangsa adalah hak yang memiliki unsur kepunyaan dan kewenangan untuk
mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan.

               Beberapa waktu lalu sempat terjadi gejolak sosial di Provinsi Bangka Belitung (Babel), menyangkut ditutupnya tambang inkonvensional milik rakyat terhadap tambang pasir timah yang ada. Makna apa yang bisa kita ambil dari peristiwa itu.

Kalsel dikenal sebagai daerah penghasil tambang batu bara terbesar di Kalimantan, selain Kaltim. Cadangan batu baranya diprediksi sebagian pengamat pertambangan cukup memenuhi kebutuhan strategis masyarakat. Namun kenyataannya, kekayaan alam yang dimiliki daerah belum memberi jaminan bagi masyarakat untuk dapat menikmati proses menuju kemakmuran. Tingginya tindak illegal mining (penambangan liar), merugikan negara sebesar Rp2 triliun setiap tahun. Kesenjangan sosial masyarakat pun cukup besar, ditandai masih tingginya tingkat keluarga miskin, pengangguran yang meningkat dan anak putus sekolah.
               Pertanyaannya, apa yang salah dalam penerapan kebijakan pertambangan saat ini? Untuk menemukan jawabannya, mau tidak mau kita harus menelusuri kembali dari
awal arah kebijakan pertambangan itu sendiri. Salah satu yang membuat kita lupa selama ini adalah pemahaman terhadap Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan: "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat." Inti dari pasal ini tidak lain bahwa setiap hasil bumi Indonesia yang menjadi kekayaan alam, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
               Hal ini dipertegas oleh Pasal 1 ayat 2 UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang
menyebutkan: "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional." Kemudian disambung oleh ayat 3 yaitu: "Hubungan hukum antara Bangsa Indonesia dan bumi, air dan ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi." Pasal tersebut menempatkan hak bangsa sebagai hak penguasaan yang tertinggi terhadap kekayaan alam yang berasal dari perut bumi.
               Hak Bangsa adalah hak yang memiliki unsur kepunyaan dan kewenangan untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan. Maka, segala kewenangan pada hak bangsa dilimpahkan kepada negara. Untuk itu, subjek hak bangsa dapat diartikan seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dari generasi terdahulu, sekarang dan akan datang. Sebagaimana yang disebutkan di atas, hak bangsa mengandung unsur kepunyaan dan kewenangan yang pelaksanaannya dilimpahkan kepada negara sebagaimana dikenal sebagai Hak Menguasai dari Negara (HMN).
               Oleh karena itu, berdasarkan pokok pikiran di atas, memberikan petunjuk mengenai pengertian dan substansi HMN sebagaimana dituangkan melalui Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, akan berimplikasi: Pertama, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya; Kedua, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (bahan galian) 'dipergunakan' untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
               Tema kemakmuran rakyat merupakan tujuan dari setiap pengelolaan dan penggunaan sumberdaya alam nasional. Tujuan itu dipandang sebagai kepentingan yang tidak dapat diabaikan. Sebab, selain merupakan 'amat konstitusi' menjadi dambaan setiap warga negara dan tanggung jawab negara' sebagai konsekuensi dari hak menguasai negara.
               Kalau hal ini dihubungkan dengan kebijakan pertambangan, maka setiap pengusahaan dan penggunaan bahan galian yang berasal dari kekayaan alam Indonesia harus disesuaikan dengan tujuannya dan sifat strategis masyarakat, yaitu menempatkan nilai kepastian hukum (rechtzekerheid) di dalamnya. Maka, negara diidentikan sebagai pemilik dalam rangka menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
               Untuk itu dalam tataran HMN mengandung makna: Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan objek kepemilikan; Menentukan dan mengatur hubungan antara orang dengan objek kepemilikan; Menentukan dan mengatur hubungan antara orang dan perbuatan hukum atas objek kepemilikan. Atas dasar itu, HMN harus dilihat pada konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domain) yang bersifat publiek rechttelijk. Pemahaman demikian bermakna bahwa negara sebagai pemilik kewenangan untuk mengatur perencanaan dan pelaksanaan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam nasional.
               Berdasarkan hal itu, apakah HMN dapat dialihkan? Dilihat dari persfektif hukum perdata, dalam HMN terdapat suatu objek yang dikuasai atau dialihkan penguasaannya kepada pihak lain. Tetapi pengalihan itu, negara tidak dapat mengalihkan melebihi yang ia kuasai. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana sifat dan bentuk pengalihan HMN itu? Karena negara adalah sebagai badan hukum publik, maka HMN harus bersifat hukum publik. Sifat pengalihan HMN itu harus tunduk pada kaidah hukum publik yang lebih menekankan pada 'kewenangan'. Misalnya, dalam bentuk pemberian izin pengusahaan pertambangan kepada pemegang Kuasa Pertambangan (KP). Izin tersebut dapat diartikan sebagai delegasi, mandat dan kuasa penuh (volmach).
               Sebagai pemegang kekuasan, negara berwenang memberikan kuasa baik kepada badan usaha maupun perorangan untuk melakukan pengusahaan/pengelolaan atas bahan
galian dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Misalnya dalam bentuk pembuatan kontrak karya pertambangan yang memuat kedudukan seimbang antara negara selaku pemilik bahan galian (prinsipal) dengan investor (kontraktor pertambangan). Oleh karena itu, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten sebagai wakil negara tidak sebatas dalam bentuk pemberian izin saja, melainkan juga turut serta mengawasi semua bentuk pengusahaan pertambangan. Jika hal ini tidak dapat berjalan dengan baik, pemerintah dapat diminta pertanggungjawabannya dan harus bertanggung jawab.
               Lemahnya pengawasan dari pemerintah khususnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (Otda) sebagaimana diatur UU No 32 Tahun 2004, selalu menarik untuk dilakukan kajian mengenai pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian tambang bagi kesejahteraan masyarakat daerah yang berimplikasi kepada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Namun kenyataannya, hal ini tidak dibarengi pemahaman oleh pemimpin daerah. Seperti adanya kesan pemimpin daerah hanya kejar setor dalam mengeluarkan izin tanpa dibarengi sistem pengawasan yang jelas. Pengawasan yang lemah itu terlihat dari beberapa kasus. Misalnya, pemegang izin KP tidak pernah melaporkan secara pasti produksi batu baranya. Hal ini berakibat pada pembayaran royalitas kepada negara tidak terpantau. Juga adanya penambangan yang tidak sesuai praktik pertambangan yang baik, seperti tingginya tingkat kerusakan lingkungan, adanya izin KP yang tumpang tindih, digunakannya jalan negara sebagai prasarana angkutan batu bara, maupun banyaknya izin KP dan PKP2B (Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) yang masuk dalam kawasan hutan dan hutan lindung. Di samping itu, lemahnya perlindungan terhadap tanah
perkebunan rakyat maupun perlindungan terhadap Hak Ulayat masyarakat adat, pengelolaan, perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup dalam usaha pertambangan. Juga tidak dimanfaatkannya pengembangan wilayah pada masyarakat lokal di sekitar usaha pertambangan.
               Itulah yang terjadi saat ini. Lemahnya pengawasan dalam tataran sistem politik pertambangan di daerah, mengakibatkan tidak ada jaminan suatu daerah kaya dapat menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33 (3) UUD 1945.

Oleh:
Bambang Syamsuzar Oyong. SH.MH
Notaris Kota Banjarmasin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS