INVENTARISASI PERMA DAN SEMA
1
INVENTARISASI PERMA DAN SEMA
Terkait dengan pelaksanaan Hukum Acara Perdata dan Tanggapan / Komentar terhadap Draft RUU Hukum Acara Perdata (update Agustus 2017)
Oleh : Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H.,
Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional (BPHN) yang telah memberikan kesempatan kepada saya sebagai narasumber dalam rapat analisis dan evaluasi hukum terkait Hukum Acara Perdata pada pagi hari ini;
Sampai saat ini Hukum Acara Perdata yang bersumber pada HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg (Reglement Buitengewesten) masih berlaku, Produk hukum kolonial Belanda ini tetap berlaku sekalipun Indonesia telah merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Selama 45 tahun pengalaman saya sebagai Hakim ternyata Hukum Acara Perdata peninggalan kolonial Belanda ini belum sepenuhnya dapat menjawab perkembangan hukum material yang berkembang secara dinamis, sehingga Hukum Acara Perdata tersebar dalam berbagai peraturan baik dalam bentuk Undang Undang maupun peraturan dibawah Undang Undang antara lain dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Pasal 79 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 79 yang menyatakan:
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang Undang ini.”
Dalam penjelasan Pasal 79 tersebut disebutkan:
2
“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi.
Dengan Undang Undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang Undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang Undang.
Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang Undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan alat pembuktian serta penilaiannya ataupun pembagian beban pembuktian”
Berdasarkan Pasal 79 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut Mahkamah Agung membuat Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan dalam hukum acara guna kelancaran jalannya peradilan;
Peraturan Mahkamah Agung selama ini telah mengisi kekosongan hukum acara dari suatu Undang Undang sehingga Undang Undang tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung berupa edaran dari Mahkamah Agung kepada pada Hakim yang merupakan petunjuk untuk dilaksanakan oleh Para Hakim dan Pejabat Peradilan lainnya.
Oleh karenanya diharapkan Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dapat diadopsi oleh Undang Undang Hukum Acara Perdata yang akan datang terutama Peraturan Mahkamah Agung dan Surat
3
Edaran Mahkamah Agung yang menjamin terlaksanakannya asas peradilan cepat, sederhana dan murah serta mencegah menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang selama ini dilaksanakan dalam praktek peradilan sebagai contoh misalnya
1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga damai (Pasal 130 HIR / Pasal 154 Rbg).
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat dan efektif dan merupakan salah satu elemen pendukung sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 tentang putusan serta merta (Uitvoerbaar bij Vooraad) dan provisional yang merupakan pengaturan kembali tentang penggunaan lembaga putusan serta merta berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Reglement Indonesia yang diperbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara untuk luar Jawa Madura (RBg). Mahkamah Agung memberi petunjuk untuk tidak menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan (Handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tandatangannya yang menurut Undang Undang tidak mempunyai kekuatan bukti.
b. Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
4
c. Gugatan tentang sewa menyewa rumah, gudang dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad baik;
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
e. Dikabulkannya gugatan provisional dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 RV;
f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
g. Pokok Sengketa mengenai Bezitsrecht;
Selain syarat di atas juga ada pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang / obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut di atas semakin dipertegas lagi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001.
Kalau putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan putusan serta merta dan memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 dan tidak dibatalkan oleh putusan kasasi dan peninjauan kembali, maka peradilan cepat sederhana dan biaya ringan terwujud dalam proses perkara ini.
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
PERMA ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung memenuhi asas peradilan cepat
5
sederhana dan biaya ringan serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mengamanatkan reformasi sistem hukum perdata yang mudah dan cepat untuk mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi melalui penyelesaian sengketa acara cepat (small claim court).
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Permohonan Peninjauan Kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang Undang .
Untuk itu berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
2) Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung
5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2010 tentang permintaan bantuan eksekusi.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyampaian salinan dan petikan putusan juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2010 tentang instruksi implementasi keterbukaan informasi pada kalangan pengadilan.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang pedoman pemberian bantuan hukum.
6
9. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2010 tentang pembuatan SOP (standar operation procedure).
10. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2010 tentang dokumen elektronik sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014;
11. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011 tentang perkara yang tidak memenuhi sarat kasasi dan peninjauan kembali;
12. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang penjelasan perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 lingkungan peradilan;
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ini penyelesaian perkara ditingkat pertama paling lambat 5 bulan dan pada Pengadilan Tingkat Banding dalam waktu 3 bulan;
13. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang pelayanan terpadu sidang keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah dalam rangka penerbitan Akta Perkawinan Buku Nikah dan Akta Kelahiran;
14. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan;
15. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara;
16. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perintah Penangguhan Sementara;
17. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan pada Peradilan yang berada dibawahnya juncto Peraturan Mahkamah Agung
7
Nomor 2 Tahun 2009;
18. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan;
19. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993;
20. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
21. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tatacara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU;
22. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tatacara Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak;
23. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;
24. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formal;
25. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan;
26. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata;
27. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus;
28. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1981 tentang Perkara
8
Perceraian;
29. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975 tentang Sandera (Gyzeling) juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964;
30. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Sita Atas Rekening Giro Wajib Minimum Bank Bank di Bank Indonesia;
31. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tidak Berlaku Lagi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1998 tentang Biaya Administrasi;
32. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
33. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan Yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tidak Memuat Kata-Kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
34. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1975 tentang Sita Jaminan (conservator beslaag) dengan lampiran-lampirannya;
35. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1974 tentang Putusan Yang Harus Cukup Diberi Pertimbangan / Alasan;
36. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1964 tentang Putusan Verstek;
37. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1962 tentang Cara Pelaksanaan Sita Atas Barang-Barang Tidak Bergerak;
38. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan
39. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan
9
40. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
41. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya
42. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan
43. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi Dan Peninjauan Kembali
44. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penghentian Penggunaan Biaya Proses Penyelesaian Perkara Yang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Perma Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara Dan Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya
45. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efesiensi Dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Pengadilan
46. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan
Setelah memperhatikan Rancangan Undang Undang tentang Hukum Acara Perdata, saya ingin sumbang saran antara lain sebagai berikut:
1) Terhadap Pasal 5 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata tentang
10
Gugatan Perwakilan Telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Untuk itu agar Peraturan Mahkamah Agung tersebut dapat sepenuhnya masuk dalam Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata;
2) Pasal 13 ayat (2) d, e di isi setelah perkara diputus;
3) Pasal 14 ayat (4) Rancangan Undang Undang mohon diperhatikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan;
4) Pasal 3 ayat (3) Rancangan Undang Undang tentang pengangkatan anak mohon diperhatikan sehubungan dengan permohonan dari calon orangtua angkat warga negara asing sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
5) Pasal 49 ayat (1) kata “tanah, benda tetap lainnya” cukup diganti dengan kata-kata “benda tetap” karena tanah juga benda tetap;
6) Pasal 50 ayat (1) (2) (3) Rancangan Undang Undang perlu diperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1975 yang mengingatkan agar hati-hati dalam menggunakan sita jaminan, perlu penelitian lebih dahulu ada tidaknya alasan untuk menyita sesuai Pasal 198 HIR / 213 Rbg sehingga sangat sulit Hakim untuk mengabulkan Pasal 50 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata tersebut, sehingga Pasal 50 tersebut mubasir;
7) Pasal 53 ayat (2) Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata tidak perlu karena bertentangan dengan Pasal 53 ayat (1);
8) Pasal 56 tidak perlu karena diangkat tidaknya sita jaminan disebutkan dalam diktum putusan dan tentunya Hakim yang mengangkat sita jaminan sebelum putusan berarti tidak hati-hati sewaktu meletakkan sita jaminan;
9) Pasal 58 ayat (1) Rancangan Undang Undang tidak perlu karena sekalipun sita
11
diangkat dalam diktum putusan, selama putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (masih banding atau kasasi) masih tetap dalam keadaan sita;
10) Pasal 68 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata perlu diatur lebih lengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 dalam pemberdayaan Pengadilan mengusahakan Perdamaian kedua belah pihak yang berperkara;
11) Pasal 72 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata kata “atau menyerahkan putusan perkara kepada Hakim” dihilangkan saja dalam jawaban Tergugat hanya ada pengakuan atau sangkalan sedangkan menyerahkan putusan perkara pada Hakim diucapkan setelah selesai pemeriksaan dalam kesimpulan / sebelum putusan;
12) Pasal 85 ayat (2) sebaiknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001. Berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung dalam praktek sering putusan serta merta atau putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad) sering menimbulkan kesulitan bila putusan Pengadilan Negeri dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kecuali memenuhi persyaratan a sampai dengan f dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000;
13) Pasal 85 ayat (1) d Rancangan Undang Undang rumusan nya tidak jelas dengan kata perdata lainnya dan bagaimana kalau pemeriksaan dengan cara singkat disatukan dengan acara cepat diganti dengan istilah pemeriksaan gugatan sederhana sebagai perbedaan dengan pemeriksaan gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 (small claim court) yang selama ini telah berjalan dan dapat
12
menyelesaikan perkara dengan cepat;
14) Dalam bab VIII pembuktian tidak ada pasal yang menyebutkan apa saja yang menjadi alat bukti dalam perkara perdata seperti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR yaitu bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah;
15) Pasal 109 Rancangan Undang Undang tidak jelas maksud surat yang mempunyai bentuk seperti akta otentik diperlakukan sebagai akta otentik;
16) Pasal 123 Rancangan Undang Undang bagaimana pihak yang berperkara dapat juga didengar sebagai saksi;
17) Dalam Pasal yang mengatur tentang saksi tidak memuat redaksi bunyi sumpah dan ahli dan tidak memuat kesaksian de auditu;
Pasal 149 ayat (2) redaksi sumpah bersifat terbatas pada jumlah kerugian dan harga barang saja (kasuistis);
18) Pasal 163 Rancangan Undang Undang bagaimana kalau persyaratan untuk putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu dilengkapi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000;
19) Pasal 168 Rancangan Undang Undang ayat (3) berita acara pemeriksaan saksi cukup ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti tidak ditandatangani oleh saksi yang selama ini dilaksanakan;
20) Pasal 186 Rancangan Undang Undang istilah yang tepat Panitera Pengadilan Negeri;
21) Pasal 189 Rancangan Undang Undang tidak memuat alasan kasasi seperti Pasal 30 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
22) Pasal 193 Rancangan Undang Undang sudah tepat alasan peninjauan kembali hanya atas dasar adanya novum. Tetapi bagaimana kalau terjadi misalnya terdapat dua putusan peninjauan kembali yang bertentangan tentang satu obyek perkara yang sama sebagaimana saya uraikan dalam pidato
13
pengukuhan Guru Besar saya dan juga dalam buku saya berjudul “Peninjauan Kembali atas putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap dalam praktek”;
Kalau terjadi seperti ini kedua putusan tersebut tidak dapat dieksekusi;
Oleh karenanya bagaimana selain alasan novum juga jika terdapat dua putusan peninjauan kembali (misalnya putusan perkara TUN dan Perdata) yang berbeda tentang satu obyek yang sama (misalnya tentang sebidang tanah) dapat diajukan peninjauan kembali juga jadi ada dua alasan untuk peninjauan kembali;
23) Pasal 203 Rancangan Undang Undang putusan yang diajukan dapat dieksekusi selain putusan yang telah memperoleh kekuatan pasti juga putusan serta merta dan putusan perdamaian (Akte Van Dading);
24) Pasal 210 Rancangan Undang Undang terhadap kata “dapat dipergunakan oleh Tersita” bagaimana misalnya mobil sudah dalam keadaan disita lalu tabrakan sampai hancur apa boleh? Karenanya kata dipergunakan tersebut dihapus;
25) Pasal 226 Rancangan Undang Undang gugatan perceraian dipisahkan dengan gugatan gono gini (harta perkawinan);
26) Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata belum memuat ketentuan hukum acara dalam perkara perdata khusus yang sekarang tersebar dalam berbagai Undang Undang yang sekarang diatur oleh PERMA. Seperti hukum acara Pengadilan Niaga, Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial, Hukum Acara Keberatan atas Putusan KPPU, BPSK, Arbitrase, yang selama ini diatur dengan PERMA;
14
Demikian yang dapat saya sampaikan sekedar sumbang saran dari saya dan terima kasih atas perhatian Ibu / Bapak dan mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan;
Jakarta, 21 Desember 2017
(Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H.,)
Wakil Ketua Mahkamah Agung RI 2013 - 2016
INVENTARISASI PERMA DAN SEMA
Terkait dengan pelaksanaan Hukum Acara Perdata dan Tanggapan / Komentar terhadap Draft RUU Hukum Acara Perdata (update Agustus 2017)
Oleh : Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H.,
Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional (BPHN) yang telah memberikan kesempatan kepada saya sebagai narasumber dalam rapat analisis dan evaluasi hukum terkait Hukum Acara Perdata pada pagi hari ini;
Sampai saat ini Hukum Acara Perdata yang bersumber pada HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg (Reglement Buitengewesten) masih berlaku, Produk hukum kolonial Belanda ini tetap berlaku sekalipun Indonesia telah merdeka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Selama 45 tahun pengalaman saya sebagai Hakim ternyata Hukum Acara Perdata peninggalan kolonial Belanda ini belum sepenuhnya dapat menjawab perkembangan hukum material yang berkembang secara dinamis, sehingga Hukum Acara Perdata tersebar dalam berbagai peraturan baik dalam bentuk Undang Undang maupun peraturan dibawah Undang Undang antara lain dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.
Pasal 79 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 79 yang menyatakan:
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang Undang ini.”
Dalam penjelasan Pasal 79 tersebut disebutkan:
2
“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi.
Dengan Undang Undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang Undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang Undang.
Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang Undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan alat pembuktian serta penilaiannya ataupun pembagian beban pembuktian”
Berdasarkan Pasal 79 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut Mahkamah Agung membuat Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan dalam hukum acara guna kelancaran jalannya peradilan;
Peraturan Mahkamah Agung selama ini telah mengisi kekosongan hukum acara dari suatu Undang Undang sehingga Undang Undang tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung berupa edaran dari Mahkamah Agung kepada pada Hakim yang merupakan petunjuk untuk dilaksanakan oleh Para Hakim dan Pejabat Peradilan lainnya.
Oleh karenanya diharapkan Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dapat diadopsi oleh Undang Undang Hukum Acara Perdata yang akan datang terutama Peraturan Mahkamah Agung dan Surat
3
Edaran Mahkamah Agung yang menjamin terlaksanakannya asas peradilan cepat, sederhana dan murah serta mencegah menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang selama ini dilaksanakan dalam praktek peradilan sebagai contoh misalnya
1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga damai (Pasal 130 HIR / Pasal 154 Rbg).
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat dan efektif dan merupakan salah satu elemen pendukung sebagai instrumen untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan sekaligus implementasi asas penyelenggaraan peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 tentang putusan serta merta (Uitvoerbaar bij Vooraad) dan provisional yang merupakan pengaturan kembali tentang penggunaan lembaga putusan serta merta berdasarkan Pasal 180 ayat (1) Reglement Indonesia yang diperbaharui (HIR) dan Pasal 191 ayat (1) Reglemen Hukum Acara untuk luar Jawa Madura (RBg). Mahkamah Agung memberi petunjuk untuk tidak menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan (Handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tandatangannya yang menurut Undang Undang tidak mempunyai kekuatan bukti.
b. Gugatan tentang hutang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
4
c. Gugatan tentang sewa menyewa rumah, gudang dan lain-lain dimana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai penyewa yang beritikad baik;
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap.
e. Dikabulkannya gugatan provisional dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 RV;
f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
g. Pokok Sengketa mengenai Bezitsrecht;
Selain syarat di atas juga ada pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang / obyek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut di atas semakin dipertegas lagi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001.
Kalau putusan Pengadilan yang dijatuhkan dengan putusan serta merta dan memenuhi ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 dan tidak dibatalkan oleh putusan kasasi dan peninjauan kembali, maka peradilan cepat sederhana dan biaya ringan terwujud dalam proses perkara ini.
3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
PERMA ini dikeluarkan oleh Mahkamah Agung memenuhi asas peradilan cepat
5
sederhana dan biaya ringan serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mengamanatkan reformasi sistem hukum perdata yang mudah dan cepat untuk mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi melalui penyelesaian sengketa acara cepat (small claim court).
4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) Permohonan Peninjauan Kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana bertentangan dengan Undang Undang .
Untuk itu berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung.
2) Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan diantaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung
5. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2010 tentang permintaan bantuan eksekusi.
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyampaian salinan dan petikan putusan juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2010 tentang instruksi implementasi keterbukaan informasi pada kalangan pengadilan.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010 tentang pedoman pemberian bantuan hukum.
6
9. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2010 tentang pembuatan SOP (standar operation procedure).
10. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2010 tentang dokumen elektronik sebagai kelengkapan permohonan kasasi dan peninjauan kembali juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014;
11. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2011 tentang perkara yang tidak memenuhi sarat kasasi dan peninjauan kembali;
12. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang penjelasan perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 lingkungan peradilan;
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung ini penyelesaian perkara ditingkat pertama paling lambat 5 bulan dan pada Pengadilan Tingkat Banding dalam waktu 3 bulan;
13. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang pelayanan terpadu sidang keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah dalam rangka penerbitan Akta Perkawinan Buku Nikah dan Akta Kelahiran;
14. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan;
15. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penetapan Sementara;
16. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perintah Penangguhan Sementara;
17. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2012 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan pada Peradilan yang berada dibawahnya juncto Peraturan Mahkamah Agung
7
Nomor 2 Tahun 2009;
18. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan;
19. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993;
20. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
21. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tatacara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU;
22. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tatacara Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak;
23. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;
24. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formal;
25. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan;
26. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1996 tentang Petunjuk Permohonan Pemeriksaan Sengketa Kewenangan Mengadili Dalam Perkara Perdata;
27. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus;
28. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1981 tentang Perkara
8
Perceraian;
29. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975 tentang Sandera (Gyzeling) juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964;
30. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Sita Atas Rekening Giro Wajib Minimum Bank Bank di Bank Indonesia;
31. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tidak Berlaku Lagi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2000 tentang Perubahan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1998 tentang Biaya Administrasi;
32. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
33. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1985 tentang Putusan Pengadilan Yang Sudah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tidak Memuat Kata-Kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
34. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1975 tentang Sita Jaminan (conservator beslaag) dengan lampiran-lampirannya;
35. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1974 tentang Putusan Yang Harus Cukup Diberi Pertimbangan / Alasan;
36. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1964 tentang Putusan Verstek;
37. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1962 tentang Cara Pelaksanaan Sita Atas Barang-Barang Tidak Bergerak;
38. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu Di Pengadilan
39. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan
9
40. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Dan Penitipan Ganti Kerugian Ke Pengadilan Negeri Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
41. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian Kerugian Negara Di Lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia Dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya
42. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan
43. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Dokumen Elektronik Sebagai Kelengkapan Permohonan Kasasi Dan Peninjauan Kembali
44. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penghentian Penggunaan Biaya Proses Penyelesaian Perkara Yang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan Perma Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara Dan Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya
45. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efesiensi Dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Pengadilan
46. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 Organisasi Dan Tata Kerja Kepaniteraan Dan Kesekretariatan Peradilan
Setelah memperhatikan Rancangan Undang Undang tentang Hukum Acara Perdata, saya ingin sumbang saran antara lain sebagai berikut:
1) Terhadap Pasal 5 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata tentang
10
Gugatan Perwakilan Telah diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Untuk itu agar Peraturan Mahkamah Agung tersebut dapat sepenuhnya masuk dalam Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata;
2) Pasal 13 ayat (2) d, e di isi setelah perkara diputus;
3) Pasal 14 ayat (4) Rancangan Undang Undang mohon diperhatikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan;
4) Pasal 3 ayat (3) Rancangan Undang Undang tentang pengangkatan anak mohon diperhatikan sehubungan dengan permohonan dari calon orangtua angkat warga negara asing sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak;
5) Pasal 49 ayat (1) kata “tanah, benda tetap lainnya” cukup diganti dengan kata-kata “benda tetap” karena tanah juga benda tetap;
6) Pasal 50 ayat (1) (2) (3) Rancangan Undang Undang perlu diperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1975 yang mengingatkan agar hati-hati dalam menggunakan sita jaminan, perlu penelitian lebih dahulu ada tidaknya alasan untuk menyita sesuai Pasal 198 HIR / 213 Rbg sehingga sangat sulit Hakim untuk mengabulkan Pasal 50 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata tersebut, sehingga Pasal 50 tersebut mubasir;
7) Pasal 53 ayat (2) Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata tidak perlu karena bertentangan dengan Pasal 53 ayat (1);
8) Pasal 56 tidak perlu karena diangkat tidaknya sita jaminan disebutkan dalam diktum putusan dan tentunya Hakim yang mengangkat sita jaminan sebelum putusan berarti tidak hati-hati sewaktu meletakkan sita jaminan;
9) Pasal 58 ayat (1) Rancangan Undang Undang tidak perlu karena sekalipun sita
11
diangkat dalam diktum putusan, selama putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap (masih banding atau kasasi) masih tetap dalam keadaan sita;
10) Pasal 68 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata perlu diatur lebih lengkap sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 dalam pemberdayaan Pengadilan mengusahakan Perdamaian kedua belah pihak yang berperkara;
11) Pasal 72 Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata kata “atau menyerahkan putusan perkara kepada Hakim” dihilangkan saja dalam jawaban Tergugat hanya ada pengakuan atau sangkalan sedangkan menyerahkan putusan perkara pada Hakim diucapkan setelah selesai pemeriksaan dalam kesimpulan / sebelum putusan;
12) Pasal 85 ayat (2) sebaiknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001. Berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung dalam praktek sering putusan serta merta atau putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad) sering menimbulkan kesulitan bila putusan Pengadilan Negeri dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kecuali memenuhi persyaratan a sampai dengan f dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000;
13) Pasal 85 ayat (1) d Rancangan Undang Undang rumusan nya tidak jelas dengan kata perdata lainnya dan bagaimana kalau pemeriksaan dengan cara singkat disatukan dengan acara cepat diganti dengan istilah pemeriksaan gugatan sederhana sebagai perbedaan dengan pemeriksaan gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 (small claim court) yang selama ini telah berjalan dan dapat
12
menyelesaikan perkara dengan cepat;
14) Dalam bab VIII pembuktian tidak ada pasal yang menyebutkan apa saja yang menjadi alat bukti dalam perkara perdata seperti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR yaitu bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah;
15) Pasal 109 Rancangan Undang Undang tidak jelas maksud surat yang mempunyai bentuk seperti akta otentik diperlakukan sebagai akta otentik;
16) Pasal 123 Rancangan Undang Undang bagaimana pihak yang berperkara dapat juga didengar sebagai saksi;
17) Dalam Pasal yang mengatur tentang saksi tidak memuat redaksi bunyi sumpah dan ahli dan tidak memuat kesaksian de auditu;
Pasal 149 ayat (2) redaksi sumpah bersifat terbatas pada jumlah kerugian dan harga barang saja (kasuistis);
18) Pasal 163 Rancangan Undang Undang bagaimana kalau persyaratan untuk putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu dilengkapi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000;
19) Pasal 168 Rancangan Undang Undang ayat (3) berita acara pemeriksaan saksi cukup ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti tidak ditandatangani oleh saksi yang selama ini dilaksanakan;
20) Pasal 186 Rancangan Undang Undang istilah yang tepat Panitera Pengadilan Negeri;
21) Pasal 189 Rancangan Undang Undang tidak memuat alasan kasasi seperti Pasal 30 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
22) Pasal 193 Rancangan Undang Undang sudah tepat alasan peninjauan kembali hanya atas dasar adanya novum. Tetapi bagaimana kalau terjadi misalnya terdapat dua putusan peninjauan kembali yang bertentangan tentang satu obyek perkara yang sama sebagaimana saya uraikan dalam pidato
13
pengukuhan Guru Besar saya dan juga dalam buku saya berjudul “Peninjauan Kembali atas putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap dalam praktek”;
Kalau terjadi seperti ini kedua putusan tersebut tidak dapat dieksekusi;
Oleh karenanya bagaimana selain alasan novum juga jika terdapat dua putusan peninjauan kembali (misalnya putusan perkara TUN dan Perdata) yang berbeda tentang satu obyek yang sama (misalnya tentang sebidang tanah) dapat diajukan peninjauan kembali juga jadi ada dua alasan untuk peninjauan kembali;
23) Pasal 203 Rancangan Undang Undang putusan yang diajukan dapat dieksekusi selain putusan yang telah memperoleh kekuatan pasti juga putusan serta merta dan putusan perdamaian (Akte Van Dading);
24) Pasal 210 Rancangan Undang Undang terhadap kata “dapat dipergunakan oleh Tersita” bagaimana misalnya mobil sudah dalam keadaan disita lalu tabrakan sampai hancur apa boleh? Karenanya kata dipergunakan tersebut dihapus;
25) Pasal 226 Rancangan Undang Undang gugatan perceraian dipisahkan dengan gugatan gono gini (harta perkawinan);
26) Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata belum memuat ketentuan hukum acara dalam perkara perdata khusus yang sekarang tersebar dalam berbagai Undang Undang yang sekarang diatur oleh PERMA. Seperti hukum acara Pengadilan Niaga, Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial, Hukum Acara Keberatan atas Putusan KPPU, BPSK, Arbitrase, yang selama ini diatur dengan PERMA;
14
Demikian yang dapat saya sampaikan sekedar sumbang saran dari saya dan terima kasih atas perhatian Ibu / Bapak dan mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan;
Jakarta, 21 Desember 2017
(Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H.,)
Wakil Ketua Mahkamah Agung RI 2013 - 2016
Komentar
Posting Komentar