TEORI HUKUM KODRAT MODERN



TEORI HUKUM KODRAT MODERN
Hubungan hukum dan moral dirumuskan dalam suatu terminologi "minimum ethics"

- Jangkar: "Hak Kodrat"
- Filosofis: Hugo Grotius
- Politis: 1776 & 1789

Ciri-ciri Teori Hukum Kodrat Modern:
1. Rasionalistik: Sifat "alamiah" dari hukum kodrat menjadikan tidak diperlukannya lagi legitimasi teologis. Grotius: "Tuhan tidak dapat merubah kategori jahat menjadi tidak jahat".
2. Individualistik: Akar pada Protagoras, "Manusia adalah ukuran bagi segala hal". Pandangan anthroposentris ini didampingi oleh metafisika manusia yang memandang hubungan individu sosial sebagai suatu bentuk "kontrak asali". Pilar penting: Thomas Hobbes.
3. Radikalistik: Teori Hukum Kodrat Modern pada dasarnya merupakan pembelaan radikal terhadap hak-hak individu, yang dipahami sebagai hak-hak yang tidak dapat dipindah-tangankan. Pemahaman ini pula yang dijadikan sebagai dasar bagi pemberontakan terhadap penindasan hak-hak individu. Bagi Hobbes, ius tidak sama dengan lex, rights berbeda dengan law.Fakultas agendi (hak berbuat) tidak sama dengan norma agendi (aturan berbuat).

Kritik terhadap Teori Hukum Kodrat Klasik: tidak membedakan antara mala in se dan mala prohibia,

TOKOH-TOKOH UTAMA:
1. Hugo Grotius (1583-1645):
Latar Belakang Umum:
- Berkurangnya kekuasaan langsung gereja atas negara (perpecahan lembaga gereja).
- Adanya kecenderungan memisahkan hukum positif dengan hukum agama (kristen).
- Adanya kerinduan kembali untuk mengkaji karya-karya sebelum agama kristen.
- Revolusi ilmu & teknologi (Galileo, Newton).
- Konfrontasi Belanda � Spanyol
Karya: "The Law of War and Peace" (judul lain: On the rights of war and peace) (1625)
Pokok-pokok pikiran:
- Hukum kodrat sebagai sesuatu yang rasional, sekular. Grotius mengembangkan teori hukum kodrat rasionalistik. Rasio (akal manusia) termasuk bagian yang hakiki dari kodrat, sehingga hukum kodrat masih tetap berlaku sekalipun seandainya Tuhan tidak ada (Namun, Grotius masih mengakui Tuhan sebagai pencipta alam �). Prinsip rasional yang utama: setiap orang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama orang lain secara damai. Manusia adalah makluk yang bermartabat, yang berbeda dari makluk lain karena �hasrat untuk bermasyarakat�. Grotius menentang pendapat bahwa perbuatan manusia didorong oleh kepentingan individu dan hukum merupakan kebiasaan, bukan rasa keadilan. Bagi Grotius, manusia adalah makluk sosial dan sosialitas itu ada untuk perdamaian. Damai merupakan nilai dan syarat yang diperlukan untuk mengikat tujuan-tujuan khusus perorangan (Prolegomena, sec.6). Prinsip-prinsip: �kau punya kupunya�, kesetiaan pada janji, ganti rugi, perlunya hukuman, de facto diterima semua bangsa. Oleh Grotius prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar umum, suatu sensus communis, common sense yang merupakan pijakan yang penting bagi ius gentinum, ius hominis, yang berlaku pada societas humana. Dasar berlaku hukum kodrat di masyarakat adalah perjanjian bebas yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan (individu maupun negara).
- Syarat agar kodrat manusia tetap seperti apa adanya: adanya jaminan atas hak milik, adanya kepercayaan, dan pemeliharaan yang layak serta adanya persetujuan umum tentang penyimpangan perbuatan manusia dan akibat yang ditimbulakannya (Prolegomena, sec.8). Mutual relations of society is the mother of law of nature (Prolegomena, sec.16). Atas dasar mutual relations of society, ius gentinum maupun civil law dijabarkan dengan memberi ruang bebas pada tiap kelompok individu atau negara untuk menentukan batasan-batasan sesuai dengan prinsip utilitas masing-masing (Prolegomena, sec.16-17).
- Natural Law is the Dictate of Right Reason, indicating that any act, from its agreement or disagreement with rational nature (of man) has in it a moral turpitute or a moral necessity; and consequently that such act is forbidden or commanded by God, the author of nature (Book I, sec. X.1).

Macam-macam hukum:
a. Civil law: undang-undang yang dibuat oleh negara (is a perfect collection of free man, associated for the sake of enjoying the advanges of jus, and for common utility (Book I, sec. XIV.1).
b. Ius Gentinum: the Law of Nations, terdapat dalam civil law tidak tertulis (Book I, sec. XIV.2). Perang hanya dibenarkan atas dasar kepentingan untuk penjagaan diri terhadap ancaman/perampasan atau pun penyimpangan terhadap �kodrat manusia� (Book II, sec. I-II).
- Grotius juga mengajukan teori tentang Hak Azasi (natural rights):
- Hak berkuasa atas diri sendiri, atau hak atas kebebasan
- Hak berkuasa atas orang lain (orang tua � anak)
- Hak berkuasa sebagai tuan/majikan
- Hak milik (hukum kodrat hipotetis, bersyarat)

Hukum kodrat oleh Grotius juga dipilah atas dasar cakupan hak:
- Sempit: menjadi hukum karena menciptakan hak untuk menuntut apa yang menjadi haknya, misalnya hak "dilunasi".
- Luas: hanya menciptakan hak berupa kepantasan, keadilan distributif, yang bentuknya lebih sebagai keharusan moral.

Kuis: Adakah unsur-unsur pemikiran Grotius yang masih relevan untuk saat ini? Mengapa demikian?

2. Thomas Hobbes ( 1588-1679 )
Pemahaman bahwa yang alamiah baik ditentang oleh Thomas Hobbes. Bagi dia, yang alamiah pada manusia adalah: homo homini lupus. Untuk mengaturnya, perlu kontrak sosial yang merupakan ketertundukan total pada negara, dan bentuk kelembagaan negara yang dapat mengatasi sifat �serigala� pada manusia adalah negara yang disimbolkan dalam sosok Leviatan, monster yang sangat menakutkan. (Aspek kontrak sosial nanti akan dibahas dalam �Interaksi antara Hukum dan Kekuasaan)


Handout Kuliah 1: Perkembangan Hukum Internasional

By hifhuksw
PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL.
(Sumber: Starke, 1989; Shelton, 2006). 
p    Definisi:
Keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri atas sendi-sendi dan aturan-aturan perilaku terhadap mana negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaatinya dan karena itu pada umumnya memang menaatinya dalam hubungan antara negara-negara itu satu sama lain. (Charles Cheney Hyde) 
p    Prinsip-prinsip, aturan-aturan, dan standard-standard yang  mengatur bangsa-bangsa dan partisipan lainnya dalam hubungan antara mereka satu dengan lainnya. Hukum internasional adalah hukum dari masyarakat internasional. Kebanyakan hukum internasional terdiri dari kebiasaan yang sudah berlaku lama, traktat-traktat berisi ketentuan-ketentuan yang disepakati, dan prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa. Beberapa hukum internasional juga diciptakan oleh keputusan pengadilan internasional atau organisasi internasional. (Shelton). 
p    Meliputi juga:
n     Aturan hukum yang terkait dengan fungsi lembaga dan organisasi internasional, hubungan antar lembaga atau organisasi dan hubungan mereka dengan negara dan individu; dan
n     Aturan-aturan hukum tertentu yang bertalian dengan individu dan satuan bukan negara sejauh hak dan kewajiban mereka merupakan kepentingan masyarakat internasional. 
p    Definisi tradisional:    Suatu sistem yang terdiri atas aturan-aturan yang menguasai hubungan-hubungan antara negara-negara.
p    Kelemahan: tidak lengkap dan tidak sesuai  dengan perkembangan hukum internasional. 
p    Cikal bakalnya dapat ditemukan pada perjanjian, hubungan antar wilayah, peraturan hukum, dan kebiasaan perang di Mesir-kuno dan India-kuno. (A.Nussbaum)
p    Bentuk gantawinya: hukum intermunisipal yaitu hukum yang mengatur hubungan antar negara-kota masa Yunani-kuno. (Vinogradoff
Perkembangan penting:
p    Jus gentium.
p    Pertumbuhan negara-negara beradab di Eropa abad XV.
p    Masa Pencerahan (Enlightment/Renaissance) ilmu pengetahuan.
p    Reformasi (pemisahan gereja & negara).
p    Munculnya teori-teori kedaulatan negara: Bodin (1530-1596), Machiavelli (1469-1527); Hobbes (1588-1679).
p    Pertumbuhan negara merdeka melahirkan praktek hubungan antar negara dan teori-teori baru hukum antar bangsa (pengaruh teori hukum alam).
p    Hukum internasional abad XVI: hukum perang antara negara-negara.
p    Karya penting: Huig de Groot atau yang dilatinkan sebagai Hugo Grotius. Bukunya yang terkenal berjudul De Iure Belli ac Pacis (On the Law of War and Peace), terbit tahun 1625. Grotius berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan yang ada yang mengatur hubungan antar bangsa memiliki daya paksa secara hukum dan mengikat mereka yang ada di dalamnya kecuali jika bertentangan dengan keadilan alami atau hukum alam (natural law), yang merupakan hukum tertinggi yang tidak dapat disimpangi yang mengatur keseluruhan perilaku manusia. Pengaruh pemikiran Grotius sangat besar terhadap urusan-urusan internasional dan penyelesaian peperangan, sehingga sering disebut sebagai ‘bapak hukum internasional’. Gagasan-gagasannya menjadi batu penjuru sistem internasional yang dibangun oleh Perjanjian Perdamaian Westphalia (1648), sebuah perjanjian yang mengakhiri Perang Tigapuluh Tahun.
p    Sebelumnya tahun 1609, Grotius melalui bukunya Mare Liberium (The Free Sea) menentang klaim negara manapun terhadap laut terbuka sebagai milik eksklusif negara. Klaim semacam itu menurut Grotius, bertentangan dengan hukum alam dan hukum-hukum dasar kemanusiaan. Menurutnya laut tidak dapat dimiliki karena laut tidak dapat didiami sebagaimana tanah yang didiami oleh manusia.
p    Pasca Grotius: berkembang pemikiran “positivis”namun dalam pengaruh hukum alam. Konflik ini masih berlanjut sampai sekarang terutama berkaitan dengan masalah jus cogens.
p    Abad XIX: Kemunculan negara kuat, ekspansi keluar Eropa, Modernisasi transportasi, Perang modern & Penemuan baru. Kebutuhan aturan & prinsip hukum internasional. 
TUGAS 1: Apakah yang dimaksudkan dengan aliran Natural Law dan apa perbedaannya dengan aliran Positivisme? Jelaskan pemahaman anda. 
Perkembangan hukum internasional Abad XX: 
p    Mahkamah Arbitrase Permanen (1899).
p    Mahkamah Internasional Permanen (1921), kemudian Mahkamah Internasional atau International Court of Justice/ICJ (1946).
p    Pembentukan Liga Bangsa-bangsa yang diganti oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.
p    Organisasi Buruh Dunia, dll.
p    Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Dll. 
Ciri penting politik internasional Abad XX:
p    Kemunculan negara-negara merdeka di Asia dan Afrika. Perubahan dominasi pemikiran hukum internasional dari pemikir Barat.
p    Positivisme hukum internasional.
p    Kekuatan senjata nuklir, Asosiasi-asosiasi negara, Instabilitas politik negara berkembang di dunia ketiga.
p    Pembentukan organisasi internasional yang permanen (PBB; WTO; dll) yg berhubungan dengan negara.
p    Gerakan perlindungan hak asasi manusia secara global, termasuk pengadilan internasional terhadap kejahatan perang. (muncul hukum pidana internasional). HI menjadi syarat bagi satu negara untuk masuk dalam pergaulan antar bangsa.
p    Traktat pembuatan hukum (law making treaties); Peraturan internasional (international legislation).
p    Popularitas arbitrasi. Kemantapan ICJ. Peran International Law Commission. Kehadiran WTO dengan dispute settlement procedure yang efektif. 
Kritik atas Hukum Internasional:
       Penegakan hukum internasional sulit dilakukan karena negara adalah kekuatan berdaulat yang akan lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan internasional. Selain itu, mekanisme penegakan masih muda dan belum mapan.
       Pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan perang sering dianggap bentuk runtuhnya hukum internasional.
       Aturan-aturan hukum internasional hanyalah untuk menjaga perdamaian;
       Sebagian besar hukum internasional tidak terkait dengan perang. Tapi sedikit mengalami publisitas.
       Hukum internasional terkait pula dengan masalah kewarganegaraan, ganti kerugian orang asing, deportasi, ekstradisi, perdagangan, keuangan, dll. 
Tujuan Hukum Internasional:
p    Menyelesaikan masalah-masalah dalam lingkup regional atau global (seperti polusi lingkungan atau global warming), meregulasi wilayah-wilayah yang berada di luar sebuah negara (seperti luar angkasa dan laut bebas), dan mengadopsi aturan-aturan bersama bagi kegiatan multinasional (seperti jasa penerbangan udara dan pos).
p    Juga dimaksudkan untuk Memelihara PERDAMAIAN:
n     Membentuk kerangka kerja yang memudahkan pergaulan internasional.
n     Menghindari penderitaan yang tidak perlu akibat perang dan meningkatkan kondisi hidup manusia dalam masa damai.
n     Membentuk sistem hukum yang sempurna. (Beckett) 
TUGAS 2: Apakah salah satu masalah global di bidang lingkungan hidup yang memerlukan perhatian hukum internasional pada masa sekarang?

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM DARI BERBAGAI MAZHAB/ALIRAN

Oleh; Imran Nating, SH.

Mazhab Hukum Alam

Hukum alam sesungguhnya merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori didalamnya. Berbagai anggapan dan pendapat yang dikelompokkan ke dalam hukum alam bermunculan dari masa ke masa.

Mempelajari sejarah hukum alam, maka kita akan mengkaji sejarah manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak di dunia ini serta kegagalan-kegagalannya. Pada suatu saat hukum alam muncul dengan kuatnya, pada saat yang lain ia diabaikan, tetapi yang pasti hukum alam tidak pernah mati.

Hukum Alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari alam semesta dan dari akal budi manusia, karenanya ia di gambarkan sebagai hukum yang berlaku abadi.

Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada masa yang berbeda. Berikut ini akan di paparkan pandangan hukum alam dari Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius;
Aristoteles;

Aristoteles merupakan pemikir tentang hukum yang petama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positip.

Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.

Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum (hukum alam) juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang baik antara sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam hukum pidana, keadilan dalam hukum privat.

Thomas aquinas;

Dalam membahas hukum Thomas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu dan hukum yang dijangkau akal budi manusia. Hukum yang didapat wahyu disebut hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang didapatkan berdasarkan akal budi adalah ‘hukum alam’(ius naturale), hukum bangsa-bangsa(ius gentium), dan hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).

Menurut Aquinas hukum alam itu agak umum, dan tidak jelas bagi setiap orang, apa yang sesuai dengan hukum alam itu. Oleh karenanya perlu disusun undang-undang negara yang lebih kongkret mengatur hidup bersama. Inilah hukum posisif. Jika hukum positif bertentangan dengan hukum alam maka hukum alam yang menang dan hukum positif kehilangan kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh. Hukum positif hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut sebagai hukum, tetapi hukum yang menyimpang

Hugo grotius;

Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif.

Hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. Sebabnya adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah;

hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni hak atas kebebasan.
hak untuk berkuasa atas orang lain hak untuk berkuasa sebagai majikan
hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.

Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum alam yakni:

prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga
prinsip kesetiaan pada janji
prinsip ganti rugi
prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.


Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal.

Mazhab Formalistis

Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan.

Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.
John Austin;

Austin mendefenisikan hukum sebagai;

“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berkuasa atasnya”.

Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.

Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur menurut Austin:

Perintah
Sanksi (sesuatu yang buruk melekat pada perintah)
Kewajiban
Kedaulatan.

Ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan-kebaikan atau keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut dianggapnya sebagai persoalan yang berbeda di luar hukum. Walaupun Austin mengakui hukum Alam atau moral yang mempengaruhi warga masyarakat, tetapi itu tidak penting bagi hukum.
Hans Kelsen;

Adalah tokoh mazhab Formalistis yang terkenal dengan teori murni tentang hukum (pure Thory of law).

Sistem hukum adalah suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan adalah kaidah dasar atau Grundnorm. Grundnorm ini semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum harus di patuhi.

Proses konkretisasi setapak demi setapak mulai dari grundnorm hingga penerapannya pada situasi tertentu. Proses ini melahirkan Stufenbau theori.

Menurut Kelsen dalam ajaran hukum murninya, hukum tidak boleh dicampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan etika. Juga tak boleh di campuri oleh masalah keadilan. Keadailan menurut Kelsen adalah masalah ilmu politik.

MAZHAB KEBUDAYAAN DAN SEJARAH

Mazhab hukum historis lahir pada awal aabad XIX, yakni pada tahun 1814, dengan diterbitkannya suatu karangan dari F. Von Savigny, yang berjudul: ‘Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenchaft’ (tentang seruan Zaman kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Tokoh mazhab ini ialah F. Von Savigny dan Sir Henry Maine

Friedrich Carl Von Savigny;

Menurut Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Oleh karena itu hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat.

Pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.

Hakikat dari sistem hukum menurut Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang.
Sir Henry Maine;

Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum dan dengan demikian mengembangkan pengertian, bahwa hukum itu merupakan suatu unikum. Keadaan yang demikian ini menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat anthropologis. Maine dianggap sebagai yang pertama-tama melahirkan karya yang demikan.

Maine mengatakan masyarakat ada yang “statis” dan ada yang “progresip”. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu: fiksi, equity dan perundang-undangan. Perubahan masyarakat tidak selalu menuju kepada yang lebih baik. Perjalanan masyarakat menjadi proresip, disitu terlihat adanya perkembangan dari suatu situasi yang ditentukan oleh status kepada penggunaan kontrak.

MAZHAP UTILITARIANISM

Pada mazhap ini tokohnya adalah Jeremy Bentham dan Rudolph Von Jhering.
Jeremy Bentham;

Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan suatu yang kacau.

Sumbangan terbesarnya terletak dalam bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian yang di pakai adalah “apakah suatu tindakan menghasilkan kebahagiaan”.

Selanjutnya Betham mengemukakan agar pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual.

Rudolph von Jhering;

Ia dikenal dengan ajarannya yang biasa disebut social utilitarianism.

Hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya.

Hukum merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.

MAZHAB SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Tokoh mazhab ini adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound

Eugen Ehrlich;

Penulis yang pertama kali menyandang judul sosiologi hukum (Grundlegung der Soziologie des Recht, 1912).

Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya.

Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Roscoe Pound;

Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapr terpenuhi secara maksimal.

Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis(law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.

MAZHAB REALISME HUKUM

Tokoh yang terkenal dalamaliran ini adalah hakim agung Oliver Wendell Holmes, Jerome Frank dan Karl Llewellyn.

Kaum realis tersebut mendasarkan pemikirannya pada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Menurut mereka hakim itu lebih layak disebut sebagai pembuat hukum daripada menemukannya. Hakim harus selalu melakukan pilian, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan.

Aliran realis selalu menekankan pada hakikat manusiawi dari tindakan tersebut.

Holmes mengatakan bahwa kewajiban hukum hanyalah merupakan suat dugaan bahwa apabila seseorang berbuat atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu pengadilan. Lebih jauh Karl Llewellyn menekankan pada fungsi lembaga-lembaga hukum.

Pokok-pokok pendekatan kaum realis antara lain; hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptkan oleh pengadilan.



DAFTAR BACAAN

EDWIN M. SCHUR, “Law and Society A Sociological View” dalam Sosiologi Hukum. Editor. Winarno Yudho. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001.

FRIEDMAN, Wolfgang. Teori dan Filsafat Hukum . ( Legal Theory) diterjemahkan oleh Mohamad Arifin. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

HUIJBERS, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Cet VIII. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

RAHARDJO, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. III. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

SOEKANTO, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Cet. VI. Jakarta: Rajawali Pers, 1991.

SOETIKSNO. Filsafat Hukum. Cet. VI. Jakarta: Pradnya Paramita, 1988.

Makalah Pengantar Ilmu Hukum

Posted August 3rd, 2008 by Backil
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam masyarakat dan makhluk sosial , kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari manusia.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju.
Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu mengadakan pembangunan terutama di bidang hukum. Mengenai pembangunan hukum ini tidaklah mudah dilakukan. Hal ini disebabkan pembangunan hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan tertib hukum yang lain.
BAB II
ISI
Pengertian Hukum
Mengenai apakah hukum itu, menjadi pertanyaan pertama setiap orang yang mulai mempelajari tentang hukum. Sebenarnya sangat sulit untuk memberikan definisi tentang hukum. Karena menurut Prof. Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn dalam bukunya berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht” adalah tidak mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah yang disebut hukum itu. Hampir semua sarjana hukum memberikan pembatasan mengenai hukum yang berlainan. Beberapa ahli seperti Aristoteles, Grotius, Hobbes, Philip S. James, dan Van Vollenhoven memberikan definisi hukum yang berbeda-beda. Misalnya menurut Immanuel Kant bahwa hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
Menurut Ultrecht, hukum adalah peraturan yang berisi perintah dan larangan yang mengatur masyarakat, sehingga harus dipatuhi. Menurut Kansil, hukum adalah peraturan hidup yang bersifat memaksa. Dan menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum yang menandai tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang mewujudkan kaidah-kaidah itu dalam masyarakat.
Hukum sebagai kaidah atau aturan yang mengatur kehidupan masyarakat memiliki beberapa pengertian yang bersumber dari para ahli. Ada juga beberapa sarjana dari Indonesia yang memberikan rumusan tentang hukum itu. Diantaranya adalah :
S.M. Amin, S.H.
Dalam bukunya yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”, bahwa hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
J.C.T. Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H.
Dalam buku yang disusun bersama berjudul “Pelajaran Hukum Indonesia” bahwa hukum adalah peraturan-peraturan tang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
M.H. Tirtaatmadjadja, S.H.
Dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perniagaan” bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian, jika melanggar aturan-aturan itu, akan merugikan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
Ciri-ciri Hukum
Agar dapat mengetahui dan mengenal apakah hukum itu, sebelumnya harus dapat mengetahui ciri-ciri hukum, diantaranya adalah
1.Adanya perintah dan/ atau larangan.
Bahwa hukum itu merupakan aturan yang berisi perintah atau larangan yang ditujukan kepada objek hukum.
2.Perintah dan/ atau larangan itu harus dipatuhi oleh setiap orang.
Bahwa hukum itu harus dipatuhi setiap orang, karena telah menjadi kesepakatan bersama di dalam kontrak social. Dan bagi objek hukum yang melanggarnya akan mendapat sanksi berdasarkan hukum yang berlaku.
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarkat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Unsur-unsur, Sifat, dan Tujuan Hukum
Dari beberapa perumusan tentang hukum yang telah diberikan para Sarjana Hukum Indonesia, dapat diambil kesimpulan, bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu :
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan bermasyarakat.
Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Peraturan itu bersifat memaksa.
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
Adanya proses untuk mewujudkan kaidah, dan asas yang tertulis/ tidak tertulis
Dilihat dari unsur-unsurnya, maka sifat dari hukum adalah mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa saja yang tidak mau patuh mentaatinya.
Untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas keadilan dari masyarakat tersebut. Dengan demikian, tujuan hukum itu adalah menegakkan keadilan, membuat pedoman, dan bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan. Selain itu, dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan, dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Teori-teori tentang tujuan hukum :
Teori etika/ etis, yaitu yujuan hukum semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut Ulpianus, keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan setiap orang apa yang semestinya. Aristoteles membagi kedilan menjadi dua, yaitu keadilan distributif (keadilan yang diperoleh berdasarkan jasanya, yang hubungannya dengan masyarakat (Negara)), dan keadilan kumulatif (keadilan yang didasarkan pada penyamarataan hubungan individu).
Teori utilitas, yaitu hukum itu bertujuan untuk kemanfaatan/ faedah orang terbanyak dalam masyarakat.
Teori campuran, teori ini merupakan gabungan antara teori etis dengan teori utilitas, yaitu tujuan hukum tidak hanya untuk keadilan semata, tetapi juga untuk kemanfaatan orang banyak.
Teori terakhir. Yaitu tujuan hukum itu semestinya ditekankan kepada fungsi hukum yang menurutnya hanya untuk menjamin kepastian hukum.
Sumber-sumber Hukum
Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum dapat ditinjau dari segi material dan segi formal.
1.Sumber-sumber hukum material, dapat ditinjau dari barbagai sudut misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dsb.
2.Sumber-sumber hukum formal, antara lain adalah :
Undang-undang (statute). Adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, diadakan dan dipelihara oleh negara.
Kebiasaan (costum). Adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang.
Keputusan-keputusan hakim (Jurisprudentie). Adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
Traktat (treaty). Adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang juga mengikat warganegara-warganegara dari negara-negara yang bersangkutan.
Pendapat sarjana hukum (doktrin). Adalah pendapat para sarjana hukun ternama yang juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Mazhab-mazhab Ilmu Pengetahuan
1.Mazhab Hukum Alam
Ada tiga tokoh dalam mazhab hukumalam, yaitu Aristoteles, Thomas van Aquino, dan Grotius. Aristoteles membagi dua bagian hukum, yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa Negara, dan hukum yang dianggap baik pleh manusia itu sendiri. Hukum alam adalah hukum yang oleh orang-orang berpikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam. Menurut Thomas van Aquino (1225-1247) bahwa segala kejadian di dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu “Undang-undang abadi” (“Lex eternal”), yang menjadi dasar kekuasaan dari peraturan-peraturan lainnya. Lex Eterna ini ialah kehendak dan pikiran Tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berpikir dan kecakapan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mengenal berbagai peraturan perundangan yang langsung berasal dari “Undang-undang abadi” itu, dan yang oleh Thomas van Aquino dinamakan “HukumAlam” (“Lex naturalis”).
Hukum alam tersebut hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya :
Berbuat baik dan jauhilah kejahatan.
Bertindaklah menurut pikiran sehat
Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri.
Menurut Hugo de Groot (abad 17, seorang penganjur hukum alam), hukum alam adalah pertimbangan pikiran yang menunjukan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, dank arena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak.
2.Mazhab Sejarah
Tokoh dalam mazhab sejarah yaitu Friedrich Carl von Savigny (1779-1861). Von Savigny berpendapat bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa; selalu ada suatuhubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa. Hukum bukan diciptakan pleh orang, melainkan tumbuh sendiri di tengah-tengah rakyat; hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu bangsa kehilangan kepribadiannya.
Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dari sejarah suatu bangsa. Aliran yang menghubungkan hukum dengan sejarah dinamakan “Mazhab Sejarah”. Mazhab sejarah itu menimbulkan hukum positif (Ius Constitutum).
Ada beberapa kebaikan dan keburukan dari mazhab sejarah. Kebaikannya antara lain:
Meningkatkan penghargaan nilai-nilai budaya bangsa sendiri
Menaikan derajat kebiasaan hukum
Melihat hukum sebagai kenyataan sosial
Membuktikan bahwa logika bukan satu-satunya sumber pemikiran hukum
Dan keburukannya antara lain:
Tidak memperhatikan arti pentingnya peraturan perundangan
Perkembangan hukum menjadi lambat
Tidak memberikan kepastian hukum
Sulit menentukan yang mana hukum dan mana yang bukan hukum
Tidak dapat menerangkan jiwa bangsa itu sendiri
3.Teori Teokrasi (Kedaulatan Tuhan)
Pada masa lampau, di Eropa para ahli filosof menganggap dan mengajarkan bahwa hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh karena itu, maka manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk tunduk pada hukum. Berhubung peraturan perundangna itu ditetapkan oleh penguasa Negara, maka oleh teori Teokrasi diajarkan bahwa para penguasa Negara itu mendapat kuasa dari Tuhan; seolah-olah para Raja dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan. Teori Teokrasi ini di Eropa Barat diterima umum hingga zaman Reinassance.
4.Teori Kedaulatan Rakyat
Menurut aliran rasionalisme ini, bahwa Raja dan penguasa Negara lainnya memperoleh kekuasaannya itu bukan dari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada abad pertengahan diajarkan bahwa kekuasaan Raja itu berasal dari suatu perjanjian antara Raja dengan rakyatnnya. Kemudian pada abad 18, J.J.Rousseau memperkenalkan teorinya bahwa dasar terjadinya suatu Negara ialah “Perjanjian masyarakat” (Contrat Social”) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu Negara.
5.Teori Kedaulatan Hukum
Tokoh dari aliran ini adalah Prof. Mr H. Krabbe dan Leon Duguit. Menurut Krabbe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang ditundukan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang setinggi-tinginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia. Hukum itu ada, karena anggata masyarakat mempunya perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/ kekuasaan.
6.Asas Keseimbangan
Kranenburg, murid dari dan pengganti Prof. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan.
Penemuan Hukum
Akibat perkembangan masyarakat, maka perkembangan hukum berjalan seiring sejalan. Hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Badan Legislatif menetapkan peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaan hal-hal konkret diserahkan kepada hakim, sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif.
Yang dilakukan hakim yaitu :
1)Konstruksi hukum. Misalnya pada pasal 1576 tentang jual beli “Koop Break Geen Huur”
2)Penafsiran hukum. Ada beberapa metode penafsiran, yaitu
Penafsiran tata bahasa, yaitu penafsiran yang berdasarkan ketentuan UU yang berpedoman pada perkataan.
Penafsiran sahih, yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang telah diberikan oleh pembentuk UU.
Penafsiran historis, yaitu penafsira yang berdasarkan sejarah hukum dan UU-nya.
Penafsiran sistematis, yaitu penafsiran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasallainnya baik dalam UU itu, maupun dengan UU yang lainnya.
Penafsiran Nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undan itu.
Penafsiran ekstensif, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu.
Penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
Penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
Penafsiran a contrario, yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
Macam-macam Pembagian Hukum
1.Menurut sumbernya :
a.Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundangan.
b.Hukum adat, yaitu hukum yang terletak dalam peraturan-peraturan kebiasaan.
c.Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara suatu dalam perjanjian Negara.
d.Hukum jurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena putusan hakim.
2.Menurut bentuknya :
a.Hukum tertulis, yaitu hukum yang dicantumkan pada berbagai perundangan
b.Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan.
3.Menurut tempat berlakunya :
a.Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
b.Hukum internasional, yaitu yang mengatur hubungan hubungan hukum dalam dunia internasional.
c.Hukum asing, yaitu hukum yang berlaku dalam Negara lain.
d.Hukum gereja, yaitu kumpulan norma-norma yang ditetapkan oleh gereja.
4.Menurut waktu berlakunya :
a.Ius constitutum (hukum positif), yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
b.Ius constituendum, yaitu hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang.
c.Hukum asasi (hukum alam), yaitu hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia.
5. Menurut cara mempertahankannya :
a.Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan.
b.Hukum formal, yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara melaksanakan hukum material
6. Menurut sifatnya :
a.Hukum yang memaksa, yaitu hukum yang dalam keadaan bagaimanapun mempunyai paksaan mutlak.
b.Hukum yang mengatur, yaitu hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri.
7.Menurut wujudnya :
a.Hukum obyektif, yaitu hukum dalam suatu Negara berlaku umum.
b.Hukum subyektif, yaitu hukum yang timbul dari hukum obyektif dan berlaku pada orang tertentu atau lebih. Disebut juga hak.
8.Menurut isinya :
a.Hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.
b.Hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan alat kelengkapannya ata hubungan antara Negara dengan warganegara.
Kaidah/ Norma
Kaidah atau norma hukum adalah peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat yang berasal dari hati sanubari manusia.
Macam-macam norma :
1)Norma agama, yaitu peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
2)Norma kesusilaan, yaitu peraturan yang dianggap sebagai suara hati sanubari manusia, yang diikuti dan diinsyafi oleh setiap orang
3)Norma kesopanan, yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan hidup segolongan orang.
4)Norma hukum, yaitu peraturan-peraturan yang timbul dari norma hukum, dibuat oleh penguasa, dan dipertahankan dengan segala paksaa oleh alat-alat Negara.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat materi mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum diatas, disimpulkan bahwa pengertian hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan menjaga ketertiban pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban tetap terpelihara.
Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Hukum memiliki ciri-ciri, unsur-unsur, sifat, dan tujuan hukum. Mazhab ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar bagi penemuan hukum, yang memiliki pengertian yang dijelaskan oleh para ahli hukum.
Dari ciri-ciri hukum disebutkan bahwa sanksi terhadap pelanggaran hukum adalah tegas, maka dari itu setiap orang wajib mentaati hukum, agar senantiasa tercipta kehidupan yang aman dan damai.
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T. Drs. SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1989.
onsep modern tentang kedaulatan, pertama kali mengemuka pada akhir abad ke enam belas, sebagai tanggapan atas fenomena kemunculan negara teritorial. Gagasan teoritik tentang kedaulatan pada mulanya dikemukakan oleh Jean Bodin, salah seorang pemikir renaissance asal Prancis, pada 1576, melalui karangannya, “Les Six Livres de la Republique.” Bodin menafsirkan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi terhadap warganegara dan rakyat-rakyatnya, tanpa dibatasi oleh undang-undang. Dari penafsiran terlihat jelas, bahwa kemunculan konsepsi kedaulatan adalah berangkat dari fakta politik yang mendasar saat itu, yaitu lahirnya negara. Tentang negara, Bodin banyak merujuk pendapat Aristoteles, ia memaknai negara sebagai keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin oleh akal budi seorang penguasa yang berdaulat. Negara berbeda dengan masyarakat lainnya, karena adanya summa potestas (kekuasaan tertinggi). Menurut Bodin, salah satu aspek kedaulatan ialah kekuasaan untuk menjadikan hukum sebagai cara untuk mengefektifkan kehendak kedaulatan, karenanya Bodin kemudian menyamakan antara undang-undang dengan hukum. Pemikiran Bodin ini selanjutnya diperkuat oleh Thomas Hobbes, meski dengan memberi beberapa catatan.
Berbeda dengan Bodin, yang menyatakan kendatipun kedaulatan memegang kekuasaan tertinggi, namun kedaulatan dibatasi oleh hukum Tuhan dan hukum alam. Hobbes menegaskan, bahwa tidak ada batasan bagi kekuasan membuat hukum dari kedaulatan. Kedaulatan berada di atas segala-galanya. Artinya, konsepsi Hobbes mengenai kedaulatan adalah rasional dan utilitarian. Kedaulatan murni merupakan hasil dari kepentingan pribadi individu secara rasional, yang menggantikan hasrat tidak rasional. Paham Hobbes sekaligus juga memberikan catatan terhadap pandangan Grotius yang diutarakan sebelumnya. Grotius mengatakan bahwa ikatan hukum alam—hukum antarbangsa/hukum internasional—menjadi pengikat antara negara-negara yang satu dengan yang lain. Terhadap pandangan ini Hobbes membantah, dikatakan, negara-negara satu sama lain itu hidup dalam keadaan alamiah, di mana masing-masing orang membela dirinya terhadap yang lain dengan sebaik-baiknya, jadi menurut Hobbes hukum internasional hanya akan mengikat individu-individu, jikalau diterima oleh sang daulat—penguasa sebagai manifestasi dari kedaulatan. Terhadap perbedaan pandangan ini, Laski (1931) berkomentar, hukum antar bangsa akan menjadi sebenar-benarnya hukum, bila telah mendapat pengakuan dari negara-negara yang menyatakannya sebagai hukum. Hukum itu sendiri tidak memiliki kekuatan mengikat, dia hanya mendapat kekuasaan dari negara-negara yang mengesahkannya sebagai peraturan hukum nasional. Pandangan Laski, terkesan memperkuat argumen yang dikemukakan oleh Hobbes.
Perkembangan signifikan realitas politik dunia, yang ditandai dengan banyak bermunculannya negara baru dan meningkatnya kuantitas hubungan internasional, berakibat juga pada cepatnya perkembangan hukum internasional. Perkembangan ini tentunya dibarengi dengan perubahan konsepsi teoritis yang signifikan pula, sehingga membuka kembali perdebatan tentang posisi kedaulatan dalam kancah hukum internasional yang semakin berkembang. Sebenarnya perdebatan yang terjadi masih memiliki akar yang sama dengan periode sebelumnya, yaitu berkait dengan kedudukan dan relasi antara hukum nasional dengan hukum internasional. Pada masa ini berkembang doktrin, bahwa hukum internasional tidak akan pernah menjadi hukum penduduk (municipal law), namun secara tepat harus diadopsi oleh setiap pemegang kekuasaan untuk setiap kasusnya. Beberapa teori dikemukakan sebagai jawaban atas terjadinya kemelut ilmiah dan politik ini, baik berupa pembelaan, sanggahan maupun kritikan. Serangkaian pendapat itu antara lain; Pertama, gagasan Jellinek yang mengemukakan doktrin pembatasan diri dari negara. Teori ini menyatakan, pada satu sisi negara berdaulat harus tunduk patuh pada ketetapan hukum internasional, namun di sisi lain negara harus patuh pula pada kehendak para individu (warganegara) sebagai manifestasi dari kedaulatan nasional. Konsekuensi dari dua kewajiban tersebut, mengharuskan negara untuk mampu menentukan pilihan, ketika terjadi pertentangan antara kedua kewajiaban tersebut. Karenanya, sebagai bentuk kedaulatan tertinggi, negara dapat menolak patuh terhadap ketetapan dan kebiasaan internasional. Teori Jellinek senada dengan yang dikemukakan oleh Triepel dan Anzilotti. Kelamahan dari kedua teori tersebut ialah adanya keharusan untuk menentukan pilihan pada kondisi tertentu, yang berarti kurang memberikan titik terang atas terjadinya perdebatan. Kedua, teori Del Vecchio, yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak negara, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan, telah melahirkan penolakan terhadap prinsip hukum internasional. Di sisi lain, kaidah hukum alam menuntut manusia bersatu sama lain, dan mengakui kesederajatan. Oleh karena itu, Del Vecchio menyarankan penggabungan nyata antara hukum nasional dan hukum internasional, dengan alasan, meskipun kedua sistem hukum mungkin memiliki derajat positivitas yang berbeda, akan tetapi yang terpenting adalah tingkat keefektifannya. Pandangan Del Vecchio ditentang oleh kaum nasionalistis, yang diwakili oleh Erich Kaufmann. Dia mengatakan bahwa kekuatan mengikat dari hukum internasional adalah tidak sesuai dengan kedaulatan negara. Kaufmann meneruskan ajaran filsafat Hegel (filsafat organis), yang menyatakan negara merupakan satuan tertinggi, relasi antar negara dibangun sekedar dari sumbangannya bagi sejarah dunia. Hukum internasional—dalam bahasa Hegel disebut sebagai famili bangsa-bangsa—adalah bukan kenyataan.
Selanjutnya, pandangan dikemukakan oleh Kelsen melalui mahzab monistik-nya. Pandangan Kelsen dimulai dengan pernyataan bahwa kedaulatan adalah satu kualitas tertinggi dari negara, yang berarti negara adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Begitupun tatanan hukum dari negara—hukum nasional—dianggap sebagai tatanan hukum tertinggi, yang tak ada lagi atasnya. Kelsen kemudian mengatakan, satu-satunya tatanan hukum yang dapat dianggap lebih tinggi dari tatanan hukum nasional adalah hukum internasional. Apakah berarti negara menjadi tidak berdaulat? Tidak. Menurut Kelsen hukum internasional, melalui prinsip efektivitasnya, sekedar menentukan bidang dan validitas hukum nasional. Jadi superioritas hukum internasional terhadap hukum nasional hanya pada persoalan isi/substansi hukumnya. Dan hukum internasional hanya valid jika diakui negara yang berdaulat, melalui suatu hukum nasional. Terhadap serangkaian perdebatan tentang konsepsi kedaulatan, Morgenthau memberikan komentar;
Hukum internasional adalah tatanan hukum yang terdesentralisasi dalam dua arti. Pertama, sebagai soal prinsip, atuaran-aturannya hanya mengikat bangsa-bangsa yang menyatakan kesediannya menerima aturan-aturan tersebut. Kedua, kebanyakan aturan-aturannya mengikat karena kesediaan yang dinyatakan adalah demikian kabur dan ambigu, serta sangat dikualifikasikan oleh syarat-syarat dan pengecualian-pengecualian, sehingga membiarkan masing-masing bangsa mempunyai kebebasan bertindak yang sangat luas apabila mereka diminta untuk tunduk pada hukum internasional.
Dalam konteks kekinian, kedaulatan ditafsirkan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya, dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pada awal kelahirannya, kedaulatan dibagi menjadi dua aspek, internal dan eksternal, namun pada perkembangannya aspek kedaulatan berkembang menjadi tiga aspek, sesuai yang ditetapkan oleh hukum internasional, yaitu terdiri dari:
a. Aspek eksetrn kedaulatan, adalah hak bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
b. Aspek intern kedaulatan ialah, hak atau kewenangan eksklusif suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya, serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
c. Aspek teritorial kedaulatan, berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut.
Perkembangan terakhir, meski memiliki basis legitimasi yang kuat secara internasional, pada kenyataannya kedaulatan semakin terdistorsi dan terestriksi oleh makin menguatnya badan-badan internasional (terutama lembaga ekonomi keuangan dan dagang internasional, IMF, World Bank, WTO), korporasi-korporasi transnasional (TNC’s/MNC’s), dan dominasi negara-negara super power. Mereka kian meng-alienasi kedaulatan negara-negara merdeka di dunia, terutama Negara-negara Dunia Ketiga.
J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1962), hal. 140-143.
W. Friedmann, Legal Theory (terj), (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 244.
W. Friedmann, Op. Cit., hal.77.
J.J. Von Schmid, Op. Cit., hal. 184-185.
Harold J. Laski, Pengantar Ilmu Politika, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1959), hal. 112.
W. Friedmann, Op. Cit., hal. 244-248.
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara (terj), (Bandung: Nusamedia, 2007), hal. 539-544.
Hans J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990), hal. 203.
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 24.
Lihat Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakart: Liberty, 1998), hal. 151.
Boer Mauna. Op. Cit., hal. 24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS