PERKEMBANGAN TANGGUNG GUGAT RISIKO
PERKEMBANGAN TANGGUNG GUGAT RISIKO
Herowati Poesoko*
Pendahuluan
Timbulnya suatu sengketa tentunya ada pihak yang merasa
dirugikan kepentingannya dan mencegah terjadinya eigenrichting, merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan yang
tentunya bertentangan dengan salah satu tujuan hukum, bahkan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
melanggar hukum. Oleh karenanya perbuatan melanggar hukum memegang peranan
penting dalam bidang hukum Perdata.
Mengenai peranan penting lembaga perbuatan melanggar hukum,
untuk lebih jelasnya bila dibaca dalam Pasal 1365 B.W yang menyatakan “tiap
perbuatan melanggar hukum, yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”. Ketentuan Pasal 1365 B.W itu sendiri tidak memberikan
secara jelas ukuran tentang perbuatan yang bagaimanakah dapat dikatakan sebagai
perbuatan melanggar hukum, ukuran tentang menilai ada atau tidaknya kesalahan
pada diri si pelaku sehingga pada perbuatan yang dipersalahkan kepadanya,
ukuran tentang kerugian bagi orang lain. Sehingga Pasal 1365 B.W pada saat itu
memiliki pengertian dalam arti sempit, meskipun akhirnya sejak putusan Hoge
Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaun - Cohen, ada suatu
perkembangan bahwa perbuatan melanggar hukum dalam pengertian secara luas.
Selanjutnya apabila Pasal 1365 B.W dihubungkan dengan
Pasal 1367 B.W dan seterusnya, maka rumusan pasal tersebut terlihat pertanggung
jawab pribadi si pelaku atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan (persoonlijke aansprakelijkheid).
Sedangkan dalam Pasal 1367 B.W mengatur tentang “tanggung-gugat” (aansprakelijkheid) untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum oleh orang lain sebagaimana yang
dimaksudkan dalam Pasal 1367 B.W “seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan barang-barang yang berada dibawah pengawasannya”. Oleh karena itu
sangatlah relevan dalam makalah ini untuk mengkaji “PERKEMBANGAN TANGGUNG GUGAT RISIKO”.
Selanjutnya dalam pembahasan dalam makalah ini, oleh
Pemakalah akan memberikan paparan tentang: (1). Sejarah Perbuatan Melanggar
Hukum sebelum dan sesudah Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919; (2). Syarat-syarat
tanggung gugat yang disebabkan perbuatan melanggar hukum oleh orang lain; (3). Tanggung
gugat untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum oleh
orang lain.
Sejarah Perbuatan Melanggar
Hukum sebelum dan sesudah Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919
Pada pembahasan tentang
sejarah perbuatan melanggar hukum terbagi dalam sub-sub judul sebagai berikut:
a). Perbuatan Melanggar Hukum pada Masa Sebelum Tahun 1919; dan b). Perbuatan
Melanggar Hukum pada Masa sesudah Tahun 1919.
a). Perbuatan Melanggar Hukum pada Masa Sebelum Tahun 1919
Bermula dari kodifikasi B.W[1]
pada tahun 1938 membawa perubahan besar mengenai pendapat tentang makna dan
ruang lingkup dari pengertian “onrechtmatige
daad” sebagaimana termaktup dalam Pasal 1365 B.W (KUH Perdata yang untuk
selanjutnya disebut B.W). Pada waktu itu dianut pendirian bahwa onrechtmatig adalah onwetmatig yang berarti bahwa suatu perbuatan baru dianggap melawan
hukum (onrechtmatig) bilamana
perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang
bersangkutan. Tentunya perbuatan melanggar hukum masih menganut aliran Legisme
dan rumusannya menggunakan pengertian yang sempit, maksudnya perbuatan hukum
adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena
undang-undang, jadi bertentangan wettelijk
recht atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri yang timbul karena undang-undang jadi bertentangan dengan wettelijk plicht. Hubungan antara kedua
pasal tersebut ternyata memberikan pengertian bahwa Pasal 1365 adalah mengenai
perbuatan onrechtmatig (culpa in committendo), sedangkan yang
kedua (Pasal 1366 B.W) adalah mengenai perbuatan melalaikan secara onrechtmatig (culpa in omittendo).
Dalam tahun 1883 Hoge Raad menerapkan ajaran, yang
sebelumnya dipertahankan oleh Opzoomer, yakni bahwa Pasal 1366 B.W yang adalah
tidak lain daripada suatu pelengkap daripada Pasal 1365 B.W, maksudnya
merupakan ketentuan lanjutan daripada istilah “daad” (perbuatan) yang digunakan
dalam Pasal 1365 B.W sehingga untuk kedua pasal tersebut harus dipenuhi syarat
sifat melawan hukum (onrechtmatige heid)
sekaligus pengertian “onrechtmatig” secara tegas diperluas, yakni bahwa tidak
hanya pelanggaran suatu kewajiban menurut undang-undang (wettelijk plicht), melainkan juga dalam hal terjadi pelanggaran
atas suatu hak (subjektief recht)
dapat diterapkan Pasal 1365 dan 1366 B.W. Dalam perkembangannya Pasal 1365 B.W
selain perbuatan onrechtmatig (culpa in
committendo) terdapat pula mengenai perbuatan melalaikan secara
onrechtmatig (culpa in omittendo).
Sebagai
contoh didalam Pasal 1365 B.W perbuatan melanggar hukum juga terkandung culpa in committendo dan culpa in omittendo, sebagaimana putusan
Hoge Raad tahun 1883 tanggal 6 April 1883 yang mempertimbangkan antara lain
sebagai berikut[2]:
“Bahwa bagi seorang notaris tidak terdapat suatu
ketentuan undang-undang yang mengharuskannya untuk memberikan keterangan pada
penggugat tentang ada atau tidak adanya piutang-piutang yang di istimewakan
(didahulukan = bevoor rechte schulden)
atas kapal yang dibeli penggugat”
Kalau andaikata penggugat mendasarkan gugatannya
pada Pasal 1366 B.W, maka Hoge Raad mempertimbangkan sebagai berikut:
“Mempertimbangkan namun itu, bahwa pernyataan
tersebut juga tidak dapat diterima, kecuali bila ternyata, bahwa gugatan
penggugat, yang didasarkan pada pernyataan tertentu dari notaris, jadi atas
sesuatu perbuatan, dan tidaklah atas sesuatu kealpaan semata-mata atau
kelalaian, diatur oleh Pasal 1366 B.W dan bukannya oleh Pasal 1365 B.W,
bagaimanapun juga untuk penerapan kedua pasal tersebut disyaratkan adanya sifat
melawan hukum (onrechtmatig heid)”
Sebab
Pasal 1366 B.W adalah tidak lain merupakan pelengkap daripada Pasal 1365 B.W,
untuk menghilangkan segala keragu-raguan, kalau-kalau perbuatan tidak melakukan
sesuatu yang diharuskan oleh undang-undang, jadi pelanggaran hukum secara
negatif, akan mendatangkan akibat yang sama dengan perbuatan melawan hukum yang
positif, bahwa kedua pasal tersebut memberikan perumusan tentang pelbagai jenis
damnun injuria datum (perusakan hak
milik = beschadiging van eigendom)
dan bahwa karenanya keduanya tidak dapat diterapkan, karena baik perbuatannya
atau kelalaiannya tidaklah bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau
bertentangan dengan hak orang lain. Sehingga keputusan Hoge Raad tersebut
memberikan keputusan dalam kasus sebagai berikut:
“Penggugat telah membeli kapal dalam pelelangan,
yang di selenggarakan dimuka Tergugat, yakni notaris. Atas pertanyaan Penggugat
pada notaris tentang apakah kapal yang dibelinya itu menurut undang-undang
masih dibebani hutang-hutang penjual yang dapat ditagih, notaris memberikan
jawaban yang negatif, keterangan mana belakangan ternyata tidak benar. Setelah
jual beli dan levering kapalnya, maka kapal dituntut orang lain, karena mana
Penggugat mengalami kerugian. Kemudian diajukan tuntutan terhadap notaris”.
Selanjutnya meskipun Molengraaff menulis dalam
“Rechtgeleerd Magazijn” tahun 1887 bahwa pengertian perbuatan melawan hukum
seperti tersebut dalam Pasal 1365 B.W tidak hanya meliputi suatu perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan undang-undang, melainkan juga meliputi
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar
undang-undang yaitu kaidah-kaidah sosial lainnya (onrechtmatig sama dengan
ombetamelijk) yang meliputi kebiasaan sopan santun dan kesusilaan[3].
Untuk
lebih jelasnya maka berikut akan dipaparkan beberapa keputusan sebagaimana yang
diungkapkan oleh Hoffman[4] sebagai
berikut:
1). Keputusan H.R (Hoge Raad) tanggal 6 Januari 1905
Kasusnya
adalah demikian:
Maatschappij
Singer telah mengalami saingan yang berat dari sebuah maatschappij lainnya yang
menjual mesin-mesin jahit dari lain-lain pabrik, akan tetapi telah berdagang
dengan menggunakan nama Singer-Maatschappij dan karenanya umum telah mengira
bahwa maatschappij yang tersebut belakangan itu benar-benar menjual mesin-mesin
jahit dari Singer Manufacturing Co. yang terkenal itu.
Karenanya Singer Maatschappij yang asli menuntut ganti kerugian
berdasarkan Pasal 1401 B.W Belanda (Pasal 1365 B.W), akan tetapi Hoge Raad
telah menolaknya karena pada waktu itu tidak terdapat ketentuan Undang-undang
yang memberi perlindungan atas hak nama perdagangan.
2). Keputusan H.R tanggal 24 Nopember 1905
Seorang
perbankan (bankier) telah mengedarkan prospectus tentang sebuah Perseroan
Terbatas yang akan didirikan dengan mengajukan fakta-fakta yang tidak benar.
Pembeli-pembeli saham yang karenanya telah mengalami kerugian
telah menuntut kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum, akan tetapi
tuntutan mana juga telah ditolak oleh H.R karena tidak dibuktikan, bahwa bankir
tersebut telah membaca prospectus tersebut terlebih dahulu sebelum ia
menandatanganinya, dan Undang-undang pada waktu itu belum megharuskan penanda
tanganan prospectus untuk membacanya atau memberi jaminan tentang kebenaran
segala sesuatunya yang dicantumkan dalam prospectus tersebut.
3). Keputusan H.R tanggal 10 Juni 1910
Dalam
sebuah gedung di Zutphen karena iklim yang sangat dinginnya pipa air dalam
gudang tersebut pecah. Kran induknya berada dalam rumah ditingkat atas gudang
tersebut dan penghuninya tidak mau memenuhi permintaan untuk menutup kran induk
(mematikan) tersebut, sekalipun kepadanya telah dijelaskan bahwa dengan tidak
ditutupnya kran induk tersebut akan timbul kerusakan besar pada barang yang
tersimpan dalam gudang tersebut, karena akan tergenang air.
Maatschappij pertanggungan telah membayar ganti kerugian,
tetapi kemudian menuntut penghuni rumah tingkat atas tersebut dimuka Pengadilan.
Tuntutan inipun telah ditolak oleh H.R dengan alasan bahwa tidak terdapat suatu
ketentuan undang-undang yang mewajibkan penghuni dari rumah tingkat atas
tersebut untuk mematikan kran induk untuk kepentingan pihak ketiga.
Jadi jelaslah bahwa Hoge Raad[5] dalam
tahun 1910 masih mengikuti ajaran Legisme, dengan perkataan lain melawan hukum
(onrechtmatig) pada umumnya diartikan
sebagai onwetmatig. Dalam keadaan
yang demikian, maka pada tanggal 11 Januari 1911[6] diajukan
suatu rancangan undang-undang kepada Parlemen Belanda (Twente Kamer) untuk
mengubah redaksi Pasal 1365 B.W yang disebut rencana Regout, dengan tujuan
untuk memberikan penafsiran yang luas tentang pengertian melawan hukum dari apa
yang dianut oleh Hoge Raad. Inti daripada rancangan (ontwerp) tersebut terletak dalam ayat 2 Pasal 1401 B.W Belanda
(Pasal 1365 B.W) yang berbunyi: “Melawan hukum adalah berbuat atau tidak
berbuat yang karena kesalahan para pembuat sendiri, bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan yang baik atau kewajiban dari seorang bapak rumah
tangga yang baik.
b). Perbuatan Melanggar Hukum pada Masa sesudah Tahun 1919
Secara singkat dapat dikemukakan peristiwa yang melatar
belakangi Standard Arrest tanggal 31 Januari 1919 adalah munculnya gugatan
Lidenbaum kepada Cohen atas dasar tuduhan perbuatan melawan hukum Pasal 1401
B.W Belanda (Pasal 1365 B.W) dan menuntut ganti kerugian. Dalam tingkat pertama
Cohen dikalahkan, sebaliknya dalam tingkat Banding oleh Gerechtshof di
Amsterdam, Lindenbaum dikalahkan berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan
pegawai Cohen telah melanggar suatu kewajiban hukum, tetapi tidak dapat
dikatakan demikian tentang Cohen, karena undang-undang tidak melarangnya.
Tetapi akhirnya dalam tingkat Kasasi Hoge Raad memenangkan Lindenbaum dengan
pertimbangan bahwa penafsiran Gerechtshof mengenai perbuatan melawan hukum
adalah sangat sempit sehingga tercakup didalamnya hanya perbuatan-perbuatan
yang dilarang undang-undang saja, sedangkan perbuatan yang tidak dapat
dibuktikan bertentangan dengan undang-undang tidak termasuk didalamnya,
walaupun senyatanya bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat atau
kesusilaan[7].
Selanjutnya menurut Hoge Raad bahwa dalam pengertian
perbuatan melawan hukum itu termasuk pula perbuatan yang merugikan kepentingan
serta suatu hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat
sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan didalam
masyarakat, baik terhadap diri tu benda orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid welke in het maatschappelijk verkeer
bataant ten aanzien van eens anders lijf of goed)[8]. Adanya
kriterium baru ini, maka suatu perbuatan yang walaupun tidak bertentangan
dengan undang-undang sudah dapat dianggap melawan hukum, jika ternyata
bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan dalam masyarakat.
Kemudian
pengertian yang sangat formalitas tersebut akhirnya oleh Hoge Raad diubah
dengan suatu keyakinan baru yang sekalipun masih bersandarkan pada pasal dengan
redaksi lama, tetapi pengertian perbuatan melawan hukum ini agaknya telah
disesuaikan dengan tuntutan jaman. Hal ini dapat dilihat dalam “Standard
Arrest” dari Hoge Raad yang sangat terkenal, yaitu dalam perkara Cohen kontra
Lidenbaum tanggal 31 Januari 1919, dimana putusan ini dapat dikatakan sebagai
putusan yang revolusioner dan membawa arti serta perubahan yang sangat penting
bagi Hukum Perdata pada umumnya.Mengingat kembali dalam perkara Cohen melawan Lidenbaum
yang dikenal dengan Standar Arrest dari Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919[9] dikenal
dengan “Drukkers Arrest” dimana
putusan ini dapat dikatakan sebagai putusan yang revolusioner dan membawa arti
serta perubahan yang sangat penting bagi Hukum Perdata pada umumnya. Rumusan
Hoge Raad sebelum tahun 1919 adalah bahwa: Onrechmatige
is slecht een daad, die inbreuk maakt op eens anders subyectief recht, of die
in strijd is met des daders eigen rechtsplicht. (Melawan hukum adalah
sekedar suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang
bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri). Hingga sekarang
masih belum ada definisi yang positif dalam undang-undang tentang pengertian
perbuatan melawan hukum ini. Semuanya diserahkan pada Ilmu Pengetahuan dan
Yurisprudensi. Menurut arrest 1919 tersebut diatas, bahwa berbuat atau tidak
berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Semuanya diserahkan pada Ilmu
Pengetahuan dan Yurisprudensi. Menurut arrest 1919 tersebut diatas, bahwa
berbuat atau tidak berbuat merupakan suatu perbuatan melawan hukum, jika:
a). Melanggar
hak orang lain; atau
b). Bertentangan
dengan kewajiban hukum dari si pembuat; atau
c). Bertentangan
dengan kesusilaan; atau
d). Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat
terhadap diri atau barang orang lain[10].
Sedangkan Asser’s Rutten[11]
menguraikan lebih lanjut pengertian tentang perbuatan melanggar hukum dalam
pengertian: melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si
pembuat, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan yang
berlaku dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
Adapun unsur kesalahan yang dimaksudkan dalam perbuatan
melanggar hukum mensyaratkan adanya kesalahan yakni syarat kesalahan yang dapat
diukur secara obyektif dan subyektif. Secara obyektif: harus dibuktikan bahwa
dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan
timbulnya akibat dan kemungkinan akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat
atau tidak berbuat. Sedangkan secara subyektif: apakah si pembuat berdasarkan
keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat perbuatannya. Selain itu
orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggung jawabkan
atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang dia lakukan, tidak
wajib membayar ganti rugi[12].
Unsur kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar
hukum dapat berupa: (a). Materiil, dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata
diderita dan keuntungan yang diperoleh; dan (b). Immateriil (idiil), dapat
berupa kehilangan kesenangan hidup, cacat, sakit yang pada asasnya yang
dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan
semula sebagaimana tidak terjadi perbuatan melanggar hukum.
Unsur hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dengan kerugian. Untuk memecahkan hubungan kausal
antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat 2 (dua) teori, yaitu:
1). Conditio sine qua non (Von Buri)
Menurut teori ini, orang yang melakukan perbuatan
melawan hukum selalu bertanggung jawab, jika perbuatannya conditio sine qua non menimbulkan kerugian.
Atas dasar inilah Von Buri sampai pada kesimpulan bahwa
yang harus dianggap sebagai sebab daripada sesuatu perubahan adalah semua
syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya
salah satu syarat tersebut akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab
tiap-tiap syarat tersebut conditio sine
qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat
dinamakan sebab.
2). Adequate veroorzaking (Von Kries)
Menurut teori ini si
pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian, yang selayaknya dapat diharapkan
sebagai akibat daripada perbuatan melawan hukum.
Vollmar[13]
merumuskan terdapat hubungan kausal, jika kerugian menurut aturan pengalaman
secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan
melawan hukum.
Jadi perbuatan tersebut harus melanggar hak subyektif
orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri,
yang telah diatur dalam undang-undang atau dengan perkataan lain melawan hukum
ditafsirkan sebagai melawan undang-undang. Pandangan yang demikian disebabkan
pengaruh dari ajaran Legisme, dimana orang berpendapat “tidak ada hukum diluar
undang-undang”, sehingga orang tidak dapat memberikan penafsiran diluar
kaidah-kaidah tertulis[14].
Syarat-Syarat Tanggung Gugat
yang Disebabkan Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Orang Lain
Pertanggungan gugat[15] (aansprakelijkheid) adalah merupakan
kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk
memberi ganti-kerugian, akan tetapi pertanggungan jawab adalah merupakan syarat
untuk pertanggungan gugat yang harus sudah ada pada sebelumnya. Orang harus
bertanggung jawab menurut undang-undang, bilamana dan segera ia menurut hukum
harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. Maka karenanya
pertanggungan jawab dimuka Pengadilan merupakan dasar umum untuk pertanggungan
gugat atas perbuatannya sendiri yang melawan hukum (ini yang disebut
pertanggungan jawab pribadi) dan atas perbuatan orang lain yang melawan hukum
(ini disebut pertanggungan jawab kwalitatif), akan tetapi juga untuk
pertanggungan gugat atas tindak tanduk yang tidak melawan hukum.
Selanjutnya Munir Fuady[16]
menyatakan, teori aansprakelijkheid
atau dalam bahasa Indonesia dapat disebut dengan teori tanggung gugat adalah
teori untuk menentukan siapa yang harus menerima gugatan atau siapa yang harus
digugat karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. Terhadap pendapat tentang
teori aansprakelijkheid tersebut
diatas, Pemakalah lebih sependapat dengan Munir Fuady, bahwa pertanggungan
gugat sebagai sinonim kata Tanggung Gugat.
Berpijak
dari bahasan tentang tanggung-gugat (aansprakelijkheid)
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum oleh orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 1367 B.W Ayat 1 memuat ketentuan sebagai berikut:
“ Setiap
orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan-perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau yang disebabkan oleh barang-barang
yang berada dibawah penguasaanya”.
“ Orang tua wali bertanggung-jawab tentang kerugian
yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa yang tinggal pada mereka dan
terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali”
“ Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat
orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab
tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan
mereka dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang tersebut dipakainya”.
“ Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang
kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang selama waktu
orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka”.
“ Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir
jika orang-orang tua wali, guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat
mencegah perbuatan untuk mana mereka sedianya harus bertanggung jawab itu”.
Membaca ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1367 B.W[17] dapat diketahui adanya dua jenis
pertanggungan-gugat, yakni:
a). Pertanggungan-gugat untuk
perbuatan orang lain;
b). Pertanggungan-gugat
yang disebabkan karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Pasal 1367 B.W telah memberikan pembahasan lanjutan tentang hal-hal yang khusus tentang perbuatan
melawan hukum. Mengenai hewan dan gedung yang dalam pasal 1367 B.W disebut benda-benda (zaken)[18]. Menurut Pitlo, hal penting mengenai Pasal 1367 B.W tersebut adalah yang mengatur pertanggungan
jawab orang-orang. Dalam ayat kedua, ketiga dan keempat diatur pertanggungan
jawab mengenai golongan orang-orang tertentu yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum
orang lain.
Pasal 1367 B.W
tersebut adalah merupakan pendahuluan bagi Pasal 1368 dan 1370 B.W. Dalam hal ini Hoge Raad tidak menggunakan ajaran gevaarzetting[19]
yakni yang mengajarkan bahwa barang siapa dalam lalu lintas masyarakat telah
melakukan perbuatan-perbuatan yang memperbesar bahaya untuk jiwa dan benda
orang lain harus dibebani dengan pertanggungan jawab yang lebih besar dan
sepadan pula, sebagai dasar untuk pertanggungan gugat dalam hal-hal yang diatur
dalam Pasal 1368 dan 1369 B.W tersebut.
Sebagai suatu contoh Pasal 1367 Ayat 3 B.W sebagaimana
dimaksud dalam kasus antara Perseroan Terbatas “Assurantie-kantoor Lengeveldt
Schroder N.V.” melawan Meester Johannes Philip Mullemeister tentang tanggung
jawab majikan atas kealpaan dari buruh/ pegawainya. Dalam putusan Pengadilan
Tinggi Surabaya Nomor: 264/1952.Pdt, tanggal 13 Desember 1952 tersebut besarnya
jumlah ganti kerugian ditetapkan hakim berdasarkan atas kealpaan masing-masing
pihak yang berperkara[20].
Selanjutnya contoh Pasal 1367 Ayat 3 B.W sebagaimana
dimaksud dalam kasus antara “1). Perusahaan Otobis N.V. Bintang; 2). Soegono
Atmodirejo, Pegawai P.O N.V. Bintang dengan Lim Chiao Soen sebagaimana dimaksud
dalam putusan MA Nomor: 558 K/Sip/1971, tanggal 4 Juni 1973 tersebut dinyatakan
terjadinya kebakaran karena kelalaian seorang pegawai PO N.V. Bintang dalam
melakukan pekerjaan, oleh karena itu menurut Yurisprudensi tetap, majikannya
harus mengganti kerugian yang timbul karena kesalahan pegawainya[21].
Contoh Pasal 1367 Ayat 3 B.W sebagaimana dimaksud dalam kasus
antara Ahmad Panut melawan Rajiman alias Pujiharjo, Suwardi, Pengurus P.D.
“Argajasa” DIY sebagaimana dimaksud dalam Putusan MA Nomor: 3416.K/Pdt/1985,
tanggal 28 Januari 1987[22]
dinyatakan bahwa Majelis MA-RI juga menyatakan pendiriannya, bahwa dari bukti
karcis dapat diambil kesimpulan bahwa pengelola tempat parkir berkewajiban
menanggung kendaraan yang hilang.
Sebagai contoh Pasal 1367 Ayat 2 B.W pada kasus Joke
Stapper merupakan penerapan kriteria “kennen en kunnen” (dapat serta mampu
bertanggung jawab) dalam hubungannya dengan anak-anak dibawah umur tampak dalam
putusan Hoge Raad tanggal 9 Desember 1966, NJ 1967, 69[23].
Intinya apakah orang tua anak tersebut harus memikul tanggung jawab atas
tindakan anak yang masih dibawah umur berdasarkan ketentuan Pasal 1403 B.W
Belanda (1367 B.W). dalam hal menilai apakah orang tua seorang anak dapat
dipertanggung jawabkan berdasarkan ketentuan Pasal 1403 B.W Belanda (Pasal 1367
B.W), satu dan lain hal sehubungan dengan persoalan apakah pihak orang tua
dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan anak itu, maka
ukuran yang harus dijadikan dasar pertimbangan ialah: apakah mereka cukup
mengambil tindakan penghati-hati untuk mencegah terjadinya kerugian bagi pihak
ketiga, sebagaimana dapat diharapkan dari orang tua yang baik dalam keadaan
semacam itu. Dalam putusan perkara ini Hoge Raad membenarkan tolak ukur yang
dipergunakan oleh Pengadilan Tinggi untuk menilai apakah orang tua yang
seharusnya (ikut) memikul tanggung jawab bisa membuktikan bahwa mereka tidak
dapat mencegah perbuatan anaknya.
Selanjutnya Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 9 Desember
1960, NJ 1963, 2 (Jaguar II) pun berpendapat demikian, walaupun dalam arrest
Jaguar I anak yang cacat jiwanya tidak dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya, akan tetapi tuntutan terhadap orang tua anak tersebut (arrest
Jaguar II) berhasil oleh karena orang tua anak itu belum berupaya secara
maksimal (walaupun sudah ada tindakannya) agar dapat mengendalikan anak
tersebut (Marc Bolsius, yang terkenal dengan suka membawa mobil orang lain)
dari perbuatan yang merugikan. Suatu pengawasan yang efisien sebenarnya
hanyalah dengan cara menguncinya dan untuk itu orang tuanya tidak melakukannya
karena takut akan lebih menyakitkan anak tersebut.
Tanggung Gugat Untuk
Kerugian yang Disebabkan Karena Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Orang Lain
Mengenai pertanggungan
gugat untuk suatu kerugian, yang diderita oleh orang lain, yang disebabkan
karena perbuatan melawan hukum seorang pihak ketiga, kiranya dapat dipecahkan
dengan menggunakan ketentuan dalam Pasal 1367 B.W sebagai dasar[24].
Sekarang timbul persoalan tentang apakah yang menjadi dasar hukum daripada
pertanggungan gugat seorang untuk suatu kerugian yang diderita oleh seorang
lain. Orang selalu berusaha mencari satu dasar yang berlaku umum untuk semua
persoalan pertanggungan gugat. Sementara sarjana menganut teori kesalahan (schuld-theorie), sedang sementara
sarjana lainnya berkehendak menerapkan teori risiko (risico-theorie)[25].
Rutten mengetengahkan, bahwa sebagai dasar yang dapat
digunakan untuk semua persoalan pertanggungan gugat adalah kewajaran (billijkheid). Kalau ada mula kalanya
ketentuan dalam Pasal 1365 B.W menentukan bahwa hanyalah pelaku perbuatan
melawan hukum, yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian pada orang lain,
berkewajiban untuk memberi ganti kerugian, dianggap telah memenuhi syarat, maka
dengan bertambah banyaknya pelimpahan persoalan pertanggungan gugat atas
kerugian, yang diderita oleh orang pada orang lain, yang tidak dapat
dipersalahkan, orang berusaha mencari dan mendapatkan kriterium lain, yakni
risiko.
Risico-theorie
timbulnya adalah untuk dapat melayani pemecahan persoalan tanggung gugat
menurut undang-undang (wettelijk aansprakelijkheid),
untuk mana tidak diharuskan adanya kesalahan. Penganut teori risiko tersebut
dapat dibagi menjadi 2 golongan, yakni golongan yang menganut gevaar-theorie, yang menggunakan sebagai
dasar pertanggungan gugat adalah menyebabkan timbulnya bahaya dan golongan yang
menganut profyt-theorie, yang
menganjurkan bahwa barang siapa yang memperoleh keuntungan dari perbuatan
seorang pihak ketiga harus juga dapat menerima kerugian yang timbul karenanya.
Contoh adalah pertanggungan gugat yang dimaksudkan dalam Pasal 1367 ayat 3 B.W[26].
Pada umumnya orang berpangkal haluan pada kenyataan,
bahwa semua peraturan-peraturan undang-undang, dengan mana seseorang harus
bertanggung jawab atas kerugian, yang diderita oleh orang lain, mempunyai satu
dasar yang berlaku umum, yakni bahwa mereka berpegangan pada ajaran kesalahan (schuld theorie). Apakah dasarnya itu
risiko ataukah kesalahan adalah sama saja, karena risiko pada hakekatnya tidak
berlawanan dengan schuld. Perbedaan akan baru nampak bilamana seseorang harus
bertanggung jawab tanpa kesalahan (Pasal 1367 ayat 2 B.W), atau bilamana si
pelaku harus bertanggung jawab, padahal perbuatannya tidak melawan hukum.
Selanjutnya Rutten dengan mensiteer tulisan Schut[27]
menyatakan bahwa pertanggungan jawab (verantwoordelijkheid)
adalah merupakan pengertian, yang harus dibedakan tidak saja dari toerekenbaarheid (dapat dipersalahkan),
melainkan juga harus dibedakan daripada pertanggungan gugat (aansprakelijkheid). Pertanggungan gugat
(aansprakelijkheid) adalah merupakan
kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk
memberi ganti-kerugian, akan tetapi pertanggungan gugat yang harus sudah ada
pada sebelumnya. Orang harus bertanggung jawab menurut undang-undang, bilamana
dan segera ia menurut hukum harus bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkannya. Maka karenanya pertanggungan jawab dimuka Pengadilan merupakan
dasar umum untuk pertanggungan gugat atas perbuatannya sendiri yang melawan
hukum (ini yang disebut pertanggungan jawab pribadi) dan atas perbuatan orang
lain yang melawan hukum (ini disebut pertanggungan jawab kwalitatif), akan
tetapi juga untuk pertanggungan gugat atas tindak tanduk yang tidak melawan
hukum.
Bahkan dari arrrest Hoge Raad tanggal 18 Oktober 1985, NJ
1986, 226 (van Rooy/ Oisterwijk) nampak lebih jelas lagi pendirian Hoge Raad yakni
bahwa Pasal 1403 ayat 2 B.W Belanda (Pasal 1367 ayat 2 B.W) juga diterapkan
pada orang tua dari anak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena usianya
yang muda atau cacat jiwa[28].
Sebaliknya mereka yang tercantum dalam ayat 3 dari Pasal 1367 B.W (para majikan
dan orang-orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan mereka), oleh
karena tidak tercantum dalam ayat 5 Pasal tersebut, bertanggung jawab karena
risiko (risico aansprakelijkheid).
Selanjutnya sebagai contoh
Pasal 1367 ayat 3 B.W dapat dilihat Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1226.K/Sip/1977, tanggal 13 April 1978, soal besarnya ganti rugi (karena
meninggalnya anak penggugat oleh tidak hati-hatinya tergugat). Tentang jumlah
besarnya ganti rugi tersebut yang pada hakekatnya dalam soal ini lebih
merupakan soal kelayakan dan kepatutan daripada keadilan, yang tidak mungkin
didekati dengan ukuran apapun. Mahkamah Agung dalam perkara ini berpendapat
bahwa ganti kerugian 1,5 juta bagi keluarga si korban (yaitu penggugat asal)
adalah terlalu tidak layak dan patut, sedang jumlah Rp. 10.000.000,. (sepuluh
juta rupiah) sebagaimana yang dinyatakan oleh Pengadilan Negeri walaupun belum
memuaskan sepenuhnya[29].
Ganti kerugian yang disebabkan adanya perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1367 ayat 2 B.W terdapat pula dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 1346.K/Sip/1991, tanggal 14 Maret 1996, tentang ganti
rugi atas peristiwa penembakan dengan senjata angin yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa dan tinggal bersama orang tuanya. Dalam pertimbangannya Mahkamah
Agung telah membenarkan pertimbangan hukum Pengadilan tingkat pertama yang
memberikan putusan bahwa orang tua si pelaku sebagai pihak yang bertanggung
jawab atas gugatan ganti rugi dan menghukum orang tua si pelaku untuk membayar ganti
rugi berupa uang sejumlah Rp. 3.698.650,. (tiga juta enam ratus sembilan puluh
delapan ribu enam ratus lima puluh rupiah) kepada Penggugat.
Bahwa dari berbagai pertimbangan dalam yurisprudensi
tentang ukuran ganti terhadap orang-orang tertentu atas kerugian yang timbul
bukan karena salahnya. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1367 ayat 2 dan ayat 3
B.W. Adapun ukuran ganti rugi tergantung kepada alat bukti para pihak yang
berperkara sebagai dasar dalam memberikan pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara.
Namun dalam yurisprudensi sangat beragam, seperti halnya ganti rugi perbuatan
melanggar hukum secara materiil dapat diberikan secara keseluruhan, tetapi
untuk ganti kerugian secara immateriil tergantung pada pertimbangan hukum hakim
yang menyelesaikan perkaranya, maksudnya jumlah besarnya ganti rugi pada
hakekatnya merupakan soal kelayakan dan kepatutan serta nilai keadilan.
Penutup
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, Pemakalah
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. a). Perbuatan melanggar hukum Pasal 1365 B.W
sebelum tahun 1919 menganut ajaran Legisme. Memberikan pengertian yang sempit,
perkataan lain melanggar hukum (onrechtmatig) pada umumnya diartikan sebagai onwetmatig, sehingga rumusan perbuatan
melanggar hukum diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif
orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul
karena undang-undang;
b). Perbuatan melanggar
hukum Pasal 1365 B.W sesudah tahun 1919 memberikan penjabaran unsur-unsur
perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai: melanggar hak orang lain,
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, bertentangan dengan kesusilaan,
bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam masyarakat terhadap diri atau
barang orang lain. Selanjutnya unsur kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum
mensyaratkan kesalahan yang dapat diukur secara obyektif dan subyektif.
Sedangkan unsur kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum dapat
berupa: (a). Materiil, dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita
dan keuntungan yang diperoleh; dan (b). Immateriil (idiil), dapat berupa
kehilangan kesenangan hidup, cacat, sakit yang pada asasnya yang dirugikan
harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan semula
sebagaimana tidak terjadi perbuatan melanggar hukum.
2. Undang-
undang menunjukkan orang-orang tertentu yang bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul bukan karena salahnya. Adapun syarat-syarat tanggung gugat yang
disebabkan Perbuatan Melanggar Hukum oleh orang lain berdasarkan Pasal 1367 B.W
dapat dilakukan manakala telah memenuhi syarat-syarat: (1). Adanya orang yang
harus bertanggung jawab menurut undang-undang, yang harus ada sebelum adanya
tanggung gugat; (2). Menurut hukum harus bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan; (3). Jenis tanggung gugat adalah tanggung gugat untuk perbuatan
orang lain dan tanggung gugat yang disebabkan karena barang-barang yang berada
dibawah pengawasannya.
3. Adapun
ukuran ganti rugi yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum oleh orang
lain berdasarkan yurisprudensi sangatlah beragam. Namun ganti rugi dapat berupa
secara materiil berupa uang, atau pemulihan barang dikembalikan dalam keadaan
semula, dan dapat berupa ganti rugi immateriil dapat berupa kehilangan
kesenangan hidup, cacat, sakit yang pada asasnya yang dirugikan harus sedapat
mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan semula sesuai dengan
kelayakan dan kepatutan serta rasa keadilan.
Daftar Bacaan
Buku:
Ali, Chaidir, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige
Daad), (Binacipta, Bandung 1978)
Asser, C., Handleiding
tot de beofening van het Nederlands Burgerlijk recht derde deel, (N.V
Uitgevers Maatschappij, W.E.J Tjeenk Willink Zwolle, 1967)
Djojodirdjo, Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, (Pradnya
Paramita, Jakarta 1979)
Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum, (Citra Aditya
Bakti, Bandung 2002)
Hoffman, Nederlandsch Verbintenissenrecht (J.B. Wolters
uitgerversmaatschappij, N.V Groningen 1932)
Meijers, Algemene
Leerguifen
Setiawan, Pokok Pokok Hukum Perikatan, (Binacipta,
Bandung 1977)
Pitlo, A., Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands
Burgerlijk Wetboek, (H.D Tjeenk & Zoon, NV. Harlem 1952)
Vollmar, H.F.A, Inleiding tot de studie van het Nederlands
Burgerlijk Recht, 1952.
Majalah:
Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun IV No. 39, Desember 1988, Jakarta: PT. Garuda Metropolitan
Press
________, Tahun II No. 21,
Juni 1987, Jakarta: PT. Garuda Metropolitan Press
________, Tahun VI No. 67,
April 1991, Jakarta: PT. Garuda Metropolitan Press
Yurisprudensi Indonesia,
diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI, 1978-I
[1] Moegni
Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum,
(Pradnya Paramita, Jakarta 1979) 28.
[4] Hoffman, Nederlandsch Verbintenissenrecht, (J.B. Wolters
uitgerversmaatschappij, N.V Groningen 1932) 261.
[5] A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek (H.D
Tjeenk & Zoon, NV. Harlem 1952) 223.
[11] C. Asser, Handleiding tot de beofening van het
Nederlands Burgerlijk recht derde deel, (N.V Uitgevers Maatschappij, W.E.J
Tjeenk Willink Zwolle 1967) 492.
[20] Chaidir
Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang
Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige
Daad), (Binacipta, Bandung 1978), 150.
[22] Majalah
Hukum Varia Peradilan, Tahun IV No. 39, Desember 1988, Jakarta: PT. Garuda Metropolitan
Press, 55
[23] Majalah
Hukum Varia Peradilan, Tahun II No. 21, Juni 1987, Jakarta: PT. Garuda
Metropolitan Press, 111-112
[28] Mr. C. J van
Zeben & Mr. T.A.W Sterk dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun VI No.
67, April 1991, PT. Garuda Metropolitan Press, Jakarta, 115.
Komentar
Posting Komentar