UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN



UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN






PROF. DR. H. YASWIRMAN., MA.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANADALAS
PADANG – SUMATERA BARAT
2018










Pendahuluan
Setiap warganegara secara individu memiliki hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh yang lainnya. Karena itu diperlukan sebuah aturan yang menjadi dasar untuk menjalani aktivitas kehidupan agar tercipta ketertiban dalam masyarakat. Aturan yang mengikat masyarakat tersebut dikenal sebagai hukum yang lahir dalam suatu Negara yang berdaulat dan mengikat setiap masyarakatnya yang berada di dalam wilayah negara tersebut.
Hukum dalam negara yang berdaulat itu dipimpin oleh organ-organ negara yang memiliki wewenang berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.[1] Dalam kegiatan bermasyarakat, berpeluang terjadi gesekan-gesekan yang dapat mengakibatkan instabilitas dalam masyarakat. Gesekan-gesekan yang bermula dari konflik tersebut bisa berubah menjadi sengketa, karena hak dari masyarakat tersebut telah dilanggar oleh masyarakat lainnya. Sehingga diperlukan suatu mekanisme hukum untuk memulihkan hubungan tersebut dengan menggunakan sebuah lembaga yang memiliki landasan dan kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan aturan hukum yang berlaku dan mengikat bagi setiap individu dalam masyarakat. Dikarenakan agar dapat mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).[2]
Hukum sebagai suatu mekanisme bertujuan memberikan ketentraman dan kepastian hukum bagi semua lapisan masyarakat yang berada dalam suatu negara. Adapun tujuan utama dari hukum dibagi menjadi tiga tujuan yaitu :
1.     Untuk mewujudkan asas keadilan (gerectigheit). Terkadang keadilan dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, terlebih kalau melihatnya dari perspektif pihak yang dikalahkan dalam sengketa di persidangan, namun dalam teori keislaman, keadilan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah yang Maha Adil bagi umat manusia, berdasarkan nilai-nilai universal dalam al-Quran dan Sunnah dan menjadi keyakinan umat Islam.
2.    Untuk mewujudkan asas kemanfaatan hukum (doelmatigheid). Pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah terciptanya kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat. Dalam konteks kemasyarakatan, kemanfaatan mendasar terhadap yang mereka harapkan adalah ketika apa yang menjadi keyakinan mereka mendapatkan jaminan dan kepastian dari peraturan undang-undang sehingga tetap dapat terwujud dalam tataran kehidupan nyata. Dalam konteks Islam, asas kemanfaatan ini identik dengan kemaslahatan.
3.    Untuk mewujudkan asas kepastian hukum (rechmatigheid). Kepastian hukum adalah suatu kondisi yang timbul dikarenakan adanya penyatuan norma. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika sebuah peraturan dibuat dan diundangkan secara tertulis karena mengatur secara jelas dan logis. Maksudnya jelas dan logis, tidak menimbulkan multi penafsiran. menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik antar norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.
Fungsi hukum tersebut berkaitan dengan hukum yang diaplikasikan dan dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat, yang subtansinya berwujud penegakan hukum. Pentingnya proses penegakan hukum ini agar tercipta masyarakat yang baik sesuai dengan tujuan hukum ini sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman melalui teori sistem hukumnya yang mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga (3) komponen, yaitu:[3]
  1. Legal substance (substansi hukum), mencakup seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik hukum material maupun hukum formal.
  2. Legal structure (struktur hukum), melingkupi pranata hukum, aparatur hukum dan sistem penegakan hukum. Struktur hukum erat kaitannya dengan sistem peradilan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
  3. Legal culture (budaya hukum), merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat.
Berdasarkan dari teori sistem hukum Lawrence M. Friedmen tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketiga komponen hukum itu harus dapat terwujud dengan baik dan dapat berjalan bersama agar hukum yang di buat untuk menegakan keadilan dapat diwujudkan secara efektif sehingga keadilan yang menjadi tujuan penegakan hukum dapat dirasakan oleh masyarakat. Contohnya, legal structure atau struktur hukum yang sudah baik ditambah dengan legal culture atau budaya hukum yang baik dapat menimbulkan masalah ketika legal substance atau substansi hukum tidak memberikan satu kesatuan kepastian hukum. Adanya norma hukum atau ketentuan hukum yang saling bertolak-belakang mengakibatkan komponen legal substance atau substansi hukum menjadi tidak baik dan pada akhirnya hal tersebut berdampak pada suatu penegakan hukum yang kemungkinan tidak dapat menunjukan sebuah rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait.
Sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa tersebut di atas apabila lebih diaplikasikan lagi, maka akan berwujud menjadi sebuah sistem peradilan. Pemahaman yang dikemukakan seorang ahli hukum Sudikno Mertokusumo menggambarkan bahwa sistem peradilan adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit mengenai adanya suatu tuntutan hak. Fungsi tersebut  dijalankan oleh suatu badan yang independent dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh manapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat final dan mengikat.[4] Sehingga terhadap pihak yang merasa hak-haknya dirugikan dapat mengajukan permasalahan tersebut kepada pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sesuai koridor hukum yang berlaku, dengan mengajukan gugatan terhadap pihak yang merugikannya.
Hak untuk mengajukan tuntutan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada yang merasa dirugikan. Hal tersebut merupakan ciri dari asas hakim pada hukum perdata bersifat menunggu dalam hukum acara perdata (iudex ne procedat ex officio).
Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permasalahannya kedalam  bentuk gugatan perdata. Pengajuan gugatan tersebut dapat secara tertulis atau secara lisan. Gugatan secara lisan diperbolehkan terhadap mereka yang buta huruf. Tetapi pada prakteknya, sekarang tidak lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan yang diajukan     secara lisan.[5] Adapun terhadap gugatan lisan maupun tertulis, keduanya harus membayar biaya administrasi perkara pada saat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan yang berwenang. Bagi masyarakat yang tidak memilki kemampuan untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk tidak dibebankan dari pembayaran biaya perkara, dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat umum setempat.[6]
Bentuk gugatan yang diajukan oleh penggugat adalah dasar serta menjadi patokan pada pemeriksaan perkara tersebut oleh pengadilan. Jika gugatan tersebut tidak dilengkapi dengan syarat- syarat formil sebuah gugatan, maka konsekuensinya gugatan tersebut kemungkinan besar akan dinyatakan tidak dapat diterima NO (Niet Ont Van Kelijk Ver Klaard). Persyaratan mengenai format gugatan tersebut pada Pasal 8 Ayat (3) Rv (Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering) yang mewajibkan gugatan harus memuat identitas dari para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum/kausalitas yang merupakan dasar serta alasan-alasan gugatan (middelen van den eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi (posita), dan petitum atau tuntutan. Walaupun pada HIR (Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No. 16, S. 1941 No. 44 untuk daerah Jawa dan Madura) dan RBg (Rechtsglement Buitengewesten atau Reglemen daerah seberang: S. 1927 No. 227 untuk luar Jawa dan Madura) aturan mengenai syarat-syarat surat gugatan tidak diatur, masyarakat bebas dalam menyusun surat gugatannya dengan syarat memberikan gambaran tentang kejadian materil/ fakta hukum yang menjadi dasar tuntutan tersebut, namun pada prakteknya cenderung tidak mengikuti syarat-syarat yang di tentukan pada Pasal 8 Rv dalam penyusunan surat gugatannya. Dengan demikian, surat gugatan yang diajukan ke pengadilan telah disusun dan dirumuskan secara sistematis.
Penyelesaian sengketa perkara perdata dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian perkara melalui pengadilan dilakukan melalui proses pemeriksaan perkara menurut ketentuan hukum acara perdata. Pihak penggugat mengharapkan adanya suatu putusan pengadilan terhadap perkara yang diajukannya, apabila gugatannya dikabulkan oleh hakim dapat terpenuhi hak-hak keperdataannya secara pasti. Selain itu, pihak penggugat mengharapkan putusan hakim memenangkan perkaranya sesegera mungkin untuk dapat dimohonkan pelaksanaan eksekusinya, dan dapat pula segera menikmati hasil-hasilnya dalam waktu yang relatif singkat, tanpa harus terlebih dahulu menunggu berlama-lama sampai adanya putusan yang in kracht van gewijsde (telah memperoleh kekuatan hukum tetap).
Terhadap suatu putusan yang diputuskan oleh majelis hakim dalam sebuah perkara perdata dapat ditolak atau tidak diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam perkara tersebut, dikarenakan dalam beberapa situasi dalam sebuah keputusan yang diputus oleh majelis hakim terdapat sebuah cacat yuridis. Hal ini dikarenakan majelis hakim dalam setiap perkara sejatinya tetap manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan, sehingga keputusannya dalam suatu perkara yang diputusnya seringkali terdapat kekeliruan-kekeliruan ataupun kekurangan-kekurangan, yang berdampak bahwa pihak yang telah dinyatakan kalah umumnya enggan menerima putusan tersebut karena menurutnya keputusan majelis hakim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak mencerminkan rasa keadilan.
Sudikno Mertokusumo selaku ahli hukum dalam tulisannya menyebutkan bahwa suatu putusan hakim, tidak luput dan kekeliruan atau keikhlafan, bahkan dalam hal tertentu tidak mustahil bersifat memihak kepada salah satu pihak. Sehingga demi kebenaran dan keadilan dalam setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau keikhlafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Dalam setiap putusan majelis hakim pada umumnya dimungkinkan adanya sebuah upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.[7] Upaya hukum tersebut di atas merupakan sebuah upaya hukum yang dapat dipergunakan oleh pihak yang sedang berperkara guna membantah putusan hakim yang menurutnya dianggap tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku atau putusan tersebut tidak mencerminkan kebenaran dan keadilan.
Pada umumnya pihak yang tidak merasa puas dengan sebuah keputusan hakim akan mengajukan upaya hukum. Upaya hukum sering diartikan sebagai suatu upaya yang diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas terhadap suatu putusan pengadilan. Dengan mengajukan upaya hukum, pihak yang merasa tidak puas berharap agar upaya hukum tersebut dapat menghasilkan upaya hukum, baik putusan maupun penetapan yang intinya mengoreksi putusan atau penetapan pengadilan yang ada.Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata mendefinisikan upaya hukum sebagai upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim.[8] Secara teori, upaya hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:[9]
1.    Upaya hukum biasa antara lain perlawanan terhadap putusan verstek, banding dan kasasi;
2.    Upaya hukum luar biasa antara lain perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali.



1. Upaya Hukum Biasa
Banding
Upaya hukum banding adalah suatu upaya hukum yang diajukan oleh para pihak yang kurang puas terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara yang diputuskan oleh hakim tersebut.[10] Upaya banding adalah bentuk pemeriksaan ulang yang diajukan terhadap pustusan pada Pengadilan tingkat pertama atas permohonan pihak yang merasa tidak setuju dengan putusan pada hakim tingkat pertama. Adapaun dasarnya diatur pada pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura).
Berdasarkan Pasal 3 jo Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 (UU-Darurat No. 1 Tahun 1951), penerapan pasal 188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak lagi berlaku dan digantikan melalui UU No. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.[11] Apabila Penggugat atau Tergugat  memiliki perasaan tidak puas terhadap putusan hakim yang diputus pada Pengadilan Negeri, maka secara hukum dapat mengajukan permohonan banding yang ditujukan pada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya termasuk wilayah Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara tersebut. Intinya permohonan banding adalah pemeriksaan kambali yang diajukan pada Pengadilan yang lebih tinggi. Lembaga banding sejatinya dibuat oleh pembuat Undang- undang (Wet Gever) dengan berpedman pada fakta hakim adalah manusia biasa, tetap dimungkinkan adanya kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan perkara. Sehingga terdapat kesempatan bagi yang kalah untuk melakukan permohonan banding kepada Pengadian Tinggi setempat.
Pengajuan Permohonan banding dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara dan umumnya pihak yang kalah pada Pengadilan Negeri yang mengajukan permohonan banding tersebut. Dengan putusan yaitu gugatan dikabulkan sebagian dan selebihnya gugatan ditolak atau sudah diajukan gugatan balasan, baik itu gugatan konvensi maupun gugatan balik (rekonvensi). Dengan kata lain permohonan banding dapat diajukan oleh salah satu pihak dengan tidak tertutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan. Fakta yang dapat mengajukan permohonan banding ialah para pihak yang berperkara sebagaimana tersebut pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 jo Pasal 199 R.Bg. jo Pasal 19 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Banding sebagai bentuk upaya hukum dalam memperoleh perbaikan terhadap putusan yang lebih menguntungkan, dan bahwa banding sangat jarang dilakukan bagi pihak yang menang melainkan banding secara faktanya diperuntukkan bagi pihak yang kalah atau para pihak yang merasa dirugikan di Pengadilan Negeri. Sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1975, menyatakan permohonan banding itu terbatas dalam putusan Pengadilan Negeri yang merugikan pihak yang menyatakan banding tersebut. Jadi pada hakikatnya bahwa keputusan Pengadilan Negeri tidak menguntungkan bagi pihak yang mengajukan banding. Permohonan banding harus diajukan dalam jangka waktu yang ditentukan, Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 20 Tahun 1947 yang menyatakan secara limitatif permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung mulai berikutnya hari pengumuan putusan kepada yang berkepentingan. Namun pengecualian terhadap pemohon banding yang tidak berdomisili dalam tempat Pengadilan Negeri tersebut bersidang, waktu itu dijadikan 30 hari.
Pihak yang merupakan pemohon banding atau pembanding dapat mengajukan memori banding yang berisikan alasan-alasan permohonan banding, dengan ataupun tidak dengan bukti-bukti baru terhadap panitera Pengadilan Negeri ataupun panitera Pengadilan Tinggi bersangkutan. Untuk pihak lawan atau termohon banding dapat menyampaikan tanggapan terhadap memori banding dengan mengajukan kontra memori banding dimana penyampaian memori banding dan kontra memori banding bukanlah suatu kewajiban pemohon banding dan termohon banding menurut Hukum Acara Perdata. Melainkan adalah hak, sehingga batas waktu untuk menyampaikannya tidak ada selama perkara belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.
Dengan tidak adanya kewajiban bagi pemohon banding dan termohon banding dalam menyampaikan memori banding dan kontra memori banding tersebut berkaitan dengan dasar dan sifat pemeriksaan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi, dengan mengulang seluruh bentuk pemeriksaan perkaranya, baik mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan hukumnya. Pengadilan Tinggi juga tidak memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan memori banding yang diajukan, sehingga apabila memori banding tersebut tidak dimasukan dalam pertimbangan oleh Pengadilan Tinggi, maka tidak mengakibatkan batalnya putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Pengaturan ini terdapat kelemahan karena dimungkinkan dapat menjadi salah satu penyebab mengapa putusan Pengadilan Tinggi hanya menguatkan begitu saja putusan Pengadilan Negeri, dengan cara mengambil alih pertimbangan hukum dalam perkara tersebut sebagai pertimbangan hukum sendiri, tanpa pertimbangan adanya memori banding yang berisikan keberatan-keberatan pemohon banding terhadap putusan Pengadilan Negeri dan tentunya putusan pengadilan Tinggi yang hanya menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan mengambil alih pertimbangan hukumnya sendiri itu, dirasakan kurang memuaskan dari pencari keadilan sebagai putusan yang tidak sesuai dengan harapan pemohon banding, sehingga prakteknya, pemohon banding tersebut menempuh upaya hukum lain, yaitu dengan mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung.
Banding pada Pengadilan Tinggi adalah tahapan di mana pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan dari Pengadilan Negeri mengajukan pemeriksaan perkaranya kembali pada Pengadilan Tinggi agar dapat diputus dan putusan tersebut sesuai dengan harapan dari pihak yang mengajukan banding tersebut. Upaya hukum banding adalah bentuk sebuah upaya hukum yang diajukan oleh para pihak yang merasa masih terdapat kekeliruan dari Hakim yang memeriksa perkara pada tingkat pengadilan pertama. Dasar hukum dari banding ini sendiri diatur melalui pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura) dan berdasarkan pasal 3 jo pasal 5 UU No. 1 tahun 1951 (UU-Darurat No. 1 tahun 1951), penerapan pasal 188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak lagi berlaku dan digantikan melalui UU No. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura. Adapun bentuk-bentuk putusan yang dapat diajukan banding adalah:

1.    Menurut ketentuan Pasal 130 HIR menyatakan: “putusan perdamaian tidak dapat dibanding, karena tanggung jawab dalam putusan tersebut tidak terdapat ditangan hakim, karena merupakan kesepakatan para pihak.”
2.   Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947: putusan-putusan perkara perdata, yang tidak ternyata bahwa besarnya harga gugat  ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihakpihak (partijen) yang berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
Secara garis umum, proses pemeriksaan perkara banding pada Pengadilan Tinggi adalah sebagai berikut:
  1. Permohonan banding diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dibacakan.
  2. Permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi dengan membuat surat keterangan resmi Pengadilan.
  3. Terhadap permohonan banding yang telah memenuhi prosedur dan waktu yang ditetapkan, wajib dibuatkan akta penyataan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon banding, serta tembusannya nantinya akan diberikan kepada termohon banding.
  4. Panitera wajib memberitahukan permohonan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain menggunakan relas panggilan dan relas pemberitahuan resmi dari Pengadilan.
  5. Wajib dibuatkan tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding dan wajib dicatat dan salinannya disampaikan kepada pihak yang lain, dengan membuat relas pemberitahuan/penyerahannya.
  6. Sebelum berkas perkara yang diajukan banding dikirim ke Pengadilan Tinggi, selama 7 hari pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara atau yang dikenal dengan tahapan Inzage.
  7. Dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi agar dapat diperiksa dengan membuat berita acara penerimaan berkas resmi.
  8. Terhadap perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu oleh Pemohon Banding, apabila dalam hal sudah dicabut tidak boleh diajukan permohonan banding lagi.

Setelah putusan yang dikeluarkan oleh Hakim pada Pengadilan tingkat pertama dibacakan, maka para pihak yang merasa keberatan dengan putusan tersebut dapat mengajukan pernyataan banding yang mana bentuk-bentuk pernyataan banding dari pihak yang merasa dirugikan/dikalahkan tersebut dapat menyatakan pernyataan banding di kepaniteraan pengadilan baik secara lisan ataupun tertulis. Berdasarkan permohonan tersebut, panitera kemudian membuatkan pernyataan banding yang mana pernyataan banding tersebut merupakan sebuah akta otentik yang berfungsi sebagai alat bukti bahwa yang bersangkutan telah melakukan pernyataan banding terhadap putusan pengadilan negeri tingkat pertama tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan, aturan mengenai siapa-siapa saja pihak yang dapat mengajukan banding tidak diatur secara detail, tetapi lazimnya yang meminta banding adalah orang yang kalah, tetapi dapat juga pihak yang menang minta banding dengan nantinya terdapat dua kemungkinan putusan pengadilan setelah proses banding tersebut dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata yaitu :
1.    NO (Niet Ont Van Kelijk Ver Klaard) atau tidak dapat diterima dikarenakan menyangkut mengenai syarat-syarat formil hukum acara perdata.
2.    Ditolak dikarenakan secara hukum materil pokok perkara yang sudah diperiksa pada tahapan banding pada Pengadilan Tinggi tidak terdapat bukti dan dasar hukum yang kuat terhadap materi hukum yang diajukan Pembanding dalam permohonan banding tersebut.
Pemohon banding memiliki hak untuk menyertakan memori banding dalam melengkapi pernyataan bandingnya. Berbeda dengan pengajuan banding, pemohon kasasi wajib mengajukan dan menyertakan memori kasasi. Masa pengajuan permohonan banding ini adalah selama 14 (empat belas) hari terhitung sehari sesudah putusan diumumkan atau diberitahukan kepadanya. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat belas) hari tersebut terlewatkan, maka pengadilan yang berwenang menerima tersebut tidak boleh menolak. Akan tetapi wajib melanjutkan kepada pengadilan tinggi, dikarenakan yang berhak untuk menolak dan menerima permohonan banding adalah Pengadilan Tinggi.[12] Putusan majelis hakim dalam tingkatan banding dapat berupa:
  1. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
  2. Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri.
  3. Membatalkan putusan Pengadilan Negeri.
               Kemudian tahapan yang dilalui adalah inzage, yaitu adalah memeriksa berkas-berkas perkara yang telah diselesaikan di pengadilan dengan batas waktu 14 hari setelah pernyataan banding harus telah dilakukan. Setelah inzage dilakukan, masing-masing pihak, baik Pemohon banding ataupun Termohon Banding boleh memasukkan surat-surat keterangan dan bukti tambahan yang belum diajukan pada sidang tahap pertama sebelumnya. Surat-surat yang dimaksud adalah memori banding dan kontra memori banding. Mengenai memori banding sendiri, hal tersebut bukanlah merupakan suatu kewajiban tetapi merupakan hak dari Pemohon banding yang artinya hak tersebut bisa dipergunakan bisa tidak. Apabila tidak dipergunakan, maka tidak mempunyai akibat hukum. Sehingga tanpa memori banding, pengadilan tetap akan memeriksa dan mengadili perkaranya karena PN dan PT merupakan tahapan judex factie di mana bertugas memeriksa fakta hukum dalam perkara sedangkan Mahkamah Agung (MA) merupakan judex yuris yang memeriksa penerapan hukum oleh hakim.
              Banding merupakan pemeriksaan tahap akhir dalam hal judex facti sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung di mana judex facti menilai alat bukti pada persidangan tahap banding tersebut. Pemeriksaan banding sendiri disebut sebagai pemeriksaan ulangan, maka Pengadilan Tinggi mulai memeriksa gugatan, jawaban, replik, duplik, semua alat-alat bukti diperiksa kembali oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat banding. Adapun nantinya Pengadilan Tinggi akan memutus perkara banding setelah memeriksa seluruh judex factie dengan bentuk akhirnya adalah mengeluarkan putusan Pengadilan Tinggi. Adapun syarat-syarat sebuah putusan banding oleh Pengadilan Tinggi diatur dalam Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

1.   Harus ada kepala Putusan
Suatu putusan Hakim wajib mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2.   Nomor putusan.
Didalam sebuah putusan Hakim, harus memuat identitas dari pihak seperti nama, alamat, pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.
3.   Pertimbangan atau alasan-alasan hukum
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri menjadi dua bagian yaitu pertimbangan mengenai duduk perkara dan pertimbangan mengenai hukumnya. Pasal 184 HIR menjelaskan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan rinci, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir atau tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. Sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung No. 638 K / SIP / 1969 tanggal 22 Juli 1970 dan No. 492 / K / SIP / 1970 tanggal 16 Desember 1970 menjelaskan, Putusan yang kurang cukup terdapat pertimbangan dari hakim, umumnya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan  tersebut haruslah dibatalkan.

4.   Amar atau diktum putusan
Dalam amar putusan perkara perdata harus termuat suatu pernyataan hukum, penetapan mengenai hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan terhadap suatu prestasi tertentu. Dalam dictum tersebut juga wajib ditetapkan siapa yang berhak secara hukum, siapa yang benar ataupun mengenai pokok perselisihan.
5.   Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman biaya perkara dalam putusan diatur dalam pasal 184 ayat (1) H.I.R dan pasal 187 R.Bg., bahkan dalam 183 ayat (1) H.I.R. dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.

          Adapun proses banding mengenai perkara ekonomi syariah pada tingkat banding dalam prakteknya tercermin dari Putusan No. 46/Pdt.G/2012/PTA.Pdg tertanggal 04 Desember 2012 dimana pihak yang berperkara adalah antara Emidawati C. melawan PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pemerintah RI. C/Q Kementrian Keuangan RI. Di Jakarta C/Q Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dimana dalam perkara tersebut adalah mengenai pelelangan hak tanggungan sebagai jaminan dalam akad murabahah yang mana akad murabahah tersebut adalah produk dari hukum ekonomi syariah yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa tersebut berdasarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adapun dalam perkara ini, dapat disimpulkan bahwa hukum acara yang dijalankan adalah hukum acara perdata yang mana merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Tinggi Agama yang memeriksa perkara banding dalam sengketa ekonomi syariah tersebut.

2. Kasasi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan peradilan, tergantung pada mereka untuk mempergunakan hak tersebut. Apabila mereka menerima putusan yang diputus Majelis Hakim pada tingkat banding, maka hak mengajukan kasasi tersebut tidak digunakan. Namun apabila pihak dalam perkara keberatan untuk menerima putusan yang dijatuhkan baik oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding (Judex Facti), maka pihak tersebut dapat mengajukan permohonan kasasi kepada Majelis Hakim pada Mahkamah Agung (Judex Juris). 
Istilah Judex Facti dan Judex Juris awalnya berasal dari istilah Latin. Judex Facti berarti Majelis Hakim yang memeriksa fakta hukum dalam perkara, dan Judex Juris berarti Majelis Hakim yang memeriksa penerapan hukum dalam perkara. pada sistem hukum Indonesia, Judex Facti dan Judex Juris adalah dua tingkatan pada sistem peradilan Indonesia berdasarkan mekanisme pengambilan keputusan dalam bentuk putusan hakim. Sistem peradilan Indonesia secara prinsip terdiri dari Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tingkat Banding, dan Pengadilan Tingkat Kasasi. Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tiμgkat Banding adalah Judex Facti yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari suatu perkara tersebut dan Pengadilan Tingkat Kasasi adalah Judex Juris yang memeriksa penerapan hukum dari suatu sengketa dengan tidak memeriksa fakta hukum dari perkara tersebut. Kedua istilah tersebut secara etimologis sering salah digunakan sebagai kutipan menjadi “Judex Factie” dan “Judex Jurist”.
Umumnya Pengadilan Tingkat Pertama berkedudukan pada ibukota kabupaten atau kota sedangkan Pengadilan Tingkat Banding umumnya berkedudukan hukum pada ibukota provinsi. Pengadilan Tingkat Kasasi adalah puncak dari pengadilan hanya ada di ibukota Negara Republik Indonesia. Dalam Pengadilan Tingkat Kasasi, Majelis Hakim tidak memeriksa fakta hukum dan bukti-bukti yang digunakan dalam perkara tetapi hanya memeriksa interpretasi, konstruksi, dan penerapan hukum dalam fakta yang sudah diperiksan oleh Judex Facti.
Seperti halnya pada upaya hukum banding, upaya hukum kasasi juga adalah hak bukan kewajiban dan pengajuan permohonan kasasi adalah sebuah upaya hukum biasa. Tujuan pengajuan permohonan kasasi adalah pertama sebagai koreksi terhadap kesalahan penerapan hukum pengadilan dibawahnya agar menciptakan dan membentuk hukum baru dan sebagai pengawasan agar terciptanya kesamaan dalam penerapan hukum. Ketentuan pada Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (sekarang sudah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004) menjelaskan mengenai pengertian tentang kasasi, yaitu:
  1. Pada sistem peradilan di Indonesia, terdapat peradilan tingkat kasasi yang kewenangan didapat oleh Undang- Undang terhadap Mahkamah Agung sebagai Peradilan Negara Tertinggi (Highest State Court) dalam seluruh Lingkungan Peradilan dibawahnya.
  2. Tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan pada seluruh lingkungan peradilan jika pengadilan yang membuat putusan atau penetapan tersebut:
1.      Tidak berwenang ataupun melampaui batas wewenang;
2.      Telah salah dalam penerapan dasar hukum pada putusan atau melanggar hukum yang berlaku;
3.      Telah lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang telah diwajibkan oleh undang-undang yang mengancam kelalaian tersebut dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Pernyataan yang dikemukakan dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung diatas serupa dengan pengertian yang terdapat di Kamus Istilah Hukum, Cassatie yang berarti pembatalan, pernyataan tidak berlakunya keputusan hakim  lebih rendah oleh Mahkamah Agung guna kepentingan peradilan. Hal tersebut dilakukan Mahkamah Agung apabila putusan itu melanggar bentuk-bantuk yang diwajibkan dengan ancaman batal, dikarenakan melanggar ketentuan hukum atau melampaui kekuasaan sebuah peradilan.[13] Kasasi sendiri adalah satu tindakan dari mahkamah agung selaku pengawas tertinggi terhadap putusan-putusan pengadilan lainnya.
Menurut Sudarsono, kasasi merupakan pembatalan ataupun pernyataan tidak sah oleh Mahkamah agung terhadap putusan hakim pada tingkatan peradilan di bawah dikarenakan putusan tersebut menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang.[14] Permohonan kasasi dimintakan kepada Mahkamah Agung apabila telah melakukan upaya hukum banding dan hanya dilakukan 1 (satu) kali terkecuali pada putusan peradilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak bisa dimohonkan banding (Pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang selanjutnya ditulis UU No.14 Tahun 1985 jo. pasal 45A Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985.
Dalam putusan yang diberikan oleh pengadilan yang selain daripada Mahkamah Agung yang apabila salah satu pihak tidak setuju terhadap putusan tersebut dikarenakan putusan tersebut bertentangan dari hukum ataupun hukum yang diterapkan tidak sesuai, dapat mengajukan kasasi. Dengan tujuan agar putusan tersebut dibatalkan ataupun dinyatakan tidak dapat diterima. pada Pasal 11 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan Mahkamah Agung memiliki kewenangan:
  1. Mengadili pada tahap kasasi pada putusan yang diberikan di tingkat terakhir oleh pengadilan pada seluruh lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
  2. Melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU.
  3. Kewenangan lain yang diberikan UU.
Proses pengajuan kasasi dapat diajukan baik secara lisan atau secara tertulis melalui panitera pengadilan di tingkat pertama yang telah memutus suatu perkara dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada pemohon kasasi dengan cara membayarkan biaya perkara yang telah resmi oleh pengadilan (Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari ternyata pihak yang dikalahkan pada perkara tingkat banding belum mengajukan permohonan kasasi, maka pihak yang dikalahkan tersebut dianggap telah menerima putusan pengadilan tingkat banding dan tidak mengadakan upaya hukum lain. Kemudian terhadap risalah kasasi, harus memuat keberatan-keberatan ataupun alasan kasasi yang berkaitan dengan pokok perkara sebagaimana tersebut pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Maret1972 No. 1282 K/Sip/1971). Mengenai pernyataan keberatan terhadap putusan pengadilan negeri kemudian pengadilan tinggi yang tidak menyebutkan keberatan-keberatan secara terperinci adalah tidak diperbolehkan, dikarenakan keberatan- keberatan tersebut tidak secara sungguh-sungguh diajukan dan dapat dikesampingkan begitu saja sebagaimana tersebut pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1972 No. 1322 K/Sip/1971.
Pada tingkat kasasi, majelis hakim tidak memeriksa mengenai duduk perkara atau fakta namun tentang penerapan hukum, sehingga mengenai terbukti atau tidak peristiwa tidak akan diperiksa oleh majelis hakim kasasi. Standar mengenai hasil pembuktian tidak bisa dijadikan pertimbangan pada pemeriksaan tingkat kasasi karena Mahkamah Agung terikat pada peristiwa yang telah diputuskan dalam tingkat terakhir pemeriksaan judex facti. Sehingga pada tingkat kasasi peristiwa hukumnya tidak diperiksa kembali. Dengan demikian, kasasi tidak dapat dikategorikan sebagai peradilan tingkat tiga (judex facti), namun sebagai peradilan tingkat kasasi. Pemeriksaan kasasi mencakupi seluruh putusan hakim tentang penerapan hukum, baik pada bagian putusan yang merugikan dan juga menguntungkan pemohon kasasi.
Mengenai proses kasasi terhadap sengketa ekonomi syariah sendiri sama halnya dengan sengketa ekonomi syariah pada tahapan banding pada Pengadilan Tinggi Agama, perkara tetap diadili oleh Mahkamah Agung dengan produk yang dikeluarkan tetap putusan mahkamah agung dan juga hukum acara yang digunakan juga sama dengan pemeriksaan perkara ekonomi syariah pada tingkat banding yaitu dengan menggunakan hukum acara perdata seperti contoh kasus pada putusan mahkamah agung nomor Nomor 528 K/Ag/2015 tertanggal 26 Juni 2015 antara PT. TRUST FINANCE INDONESIA, Tbk. Unit Syariah melawan Hj. EUIS KOMARIAH dimana sengketa ini adalah mengenai Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh PT. Trust Finance Indonesia, Tbk. Unit Syariah yang mana dalam putusan kasasi tersebut ditolah oleh Majelis Hakim, perkara perbuatan melawan hukum tersebut secara umum biasanya diadili pada Peradilan Umum bukanlah Peradilan Agama, namun dikarenakan kekhususan kewenangan mengadili Pengadilan Agama terhadap perkara ekonomi syariah dengan dibuktikan pada contoh kasus diatas dimana ditolaknya gugatan Hj. Euis Komariah pada kasasi adalah karena pokok perkara yang tidak terpenuhi unsur perbuatan melawan hukun, namun mengenai permasalahan kewenangan mengadili sama sekali tidak menjadi permasalahan bagi pengadilan Agama dalam memutus perkara ini.
Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan Mengadili.
Sengketa tentang kewenangan mengadili diatur dalam pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Bentuk sengketa kewenangan mengadili menurut pasal 33 ayat (1) adalah:
1.    Sengketa kewenangan absolut:
a.    Sengketa mengadili antara satu lingkungan peradilan dengan lingkungan peradaban lain, seperti seperti sengketa mengadili antara lingkungan peradilan umum dengan peradilan umum atau peradilan militer;
b.    Sengketa kewenangan mengadili pengadilan tingkat banding antara lingkungan yang berbeda
2.    Sengketa kewenangan absolut
a.    Sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat pertama yang terdapat dalam satu lingkungan peradilan yang sama (antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dengan Pengadilan Agama);
b.    Sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat banding yang terdapat dalam lingkungan peradilan yang sama
Pedoman dalam menentukan ciri atau patokan sengketa kewenangan mengadili dapat dirujuk pada Putusan Mahkamah Agung No. 04/SKM/Perd/1984[15], antara lain:
1.    Apabila dalam waktu yang bersamaan beberapa pengadilan menerima gugatan yang pokok perkaranya, para pihaknya, obyek dan peristiwa hukumnya sama;
2.    Masing-masing Pengadilan Negeri atau pengadilan yang menerima gugatan berpendapat, berwenang mengadili perkara tersebut, maka disitu timbullah sengketa kewenangan mengadili:
3.    Jika yang menerima gugatan tersebut terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama atau Pengadilan Tata Usaha Negara, maka itu adalah sengketa mengadili secara absolut. Sedangkan jika yang menerima gugatan terdiri dari beberapa Pengadilan Negeri dalam satu lingkungan peradilan, maka itu adalah sengketa kewenangan mengadili secara relatif.
4.    Jika perkara-perkara yang diajukan kepada beberapa pengadilan memiliki dasar gugatan berbeda meskipun pihak yang berperkara dan obyek yang disengketakan sama maka disini tidak terkendung sengketa kewenangan mengadili.
Lembaga yang berwenang untuk memutus sengketa kewenangan mengadili yang terjadi di lingkungan peradilan adalah Mahkamah Agung karena Mahkamah Agung berkedudukan dan berfungsi sebagai:
1.     Peradilan tingkat pertama dan terakhir
2.     Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agug bersifat final dan mengikat baiak kepada para pihak yang berperkara maupun kepada badan peradilan yang bersangkutan
3.     Memberikan penegasan tentang ada atau tidaknya sengketa kewenangan mengadili.

Phka yang berhak untuk mengajukan sengketa kewenangan mengadili adalah pihak yang berperkara, baik secara pribadi maupun melalui kuasa atau pengadilan yang terlibat. Untuk pihak yang berperkara, prosedur yang harus ditempuh adalah:
1.    Mengajukan permohonan
Berisi dan menjelaskan fakta tentang adanya beberapa perkara, obyek, dasar gugatan dan peristiwa hukum yang sama telah diajukan beberapa pengadilan dan masing-masing pengadilan berpendapat bahwa mereka berwenang mengadili.


2.    Permohonan diajukan langsung ke Mahkamah Agung
Hal ini dapat diajukan secara langsung ke Mahkamah Agung atau melalui salah satu pengadilan yang terlibat.
Sedangkan untuk sengketa kewenangan yang diajukan oleh pengadilan yang terlibat, secara moral salah satu pengadilan yang terlibat tersebut harus bersifat proaktif dalam mengajukan masalah tersebut ke Mahkamah Agung. Samabil menunggu putusan dari Mahkamah Agung, maka proses pemeriksaan perrkara harus dihentikan oleh masing-masing pengadilan yang terlibat untuk menghindari penjatuhan putusan yang saling bertentangan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 1996 antara lain menegaskan apabila pihak yang berperkara atau ketua pengadilan sesuai dengan jabatannya mengajukan sengketa kewenangan mengadili kepada Mahkamah Agung, maka:
-       Pengadilan harus menunda pemeriksaan perkara tersebut;
-       Penundaan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan;
-       Mengirimkan salinan penetapan penundaan kepada pengadilan yang mengadili perkara yang sama;
-       Pengadilan yang menerima salinan penetapan harus menunda pemeriksaan sampai ada putusan dari Mahkamah Agung tentang hal tersebut.
Sebagai salah satu ilustrasi dapat dikemukakan salah satu contoh sengketa mengadili sengketa ekonomi syariah. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Pasal 49), kewenangan dalam memeriksa sengketa di bidang ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama. Ditambah oleh Pasal 50 (2) UU ini, yang subyek hukumnya orang-orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Kompetensi tersebut kemudian dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syari’ah (Pasal 55 (1) dan kemudian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tertanggal 29 Agustus 2013. Kewenangan Pengadilan Agama yang diperluas tersebut, adalah tantangan bagi aparatur Peradilan Agama khususnya hakim. Hakim diwajibkan mengerti seluruh perkara yang ditanganinya. Berdasarkan asas ius curia novit, hakim dianggap tahu akan hukum,oleh karena itu hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak jelas atau tidak adanya hukum.
Kemudian hakim harus selalu memahami dan memperbanyak referensi hukumnya dikarenakan adanya asas yang berlaku yaitu apa yang telah diputus oleh hakim wajib dianggap benar (res judikati pro veriate habetur). Berkaitan dengan hal tersebut, hakim pada Pengadilan Agama diwajibkan agar memahami aspek hukum dari ekonomi syari’ah. Dengan dikeluarkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 mengenai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah pedoman hakim dalam menyelesaikan perkara hukum ekonomi syari’ah. Peraturan tersebut berisikan materi secara lengkap tentang Ekonomi Syari’ah dengan bagian 4 (empat) buku.
Buku pertama mengenai Subyek Hukum dan Amwal, Buku II Tentang Akad dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sedangkan Buku III Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah berisikan 4 (empat) Bab yang menjelaskan mengenai Zakat dan Hibah dan kemudian yang terakhir yaitu Buku IV Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah menjelaskan mengenai Akuntansi Syari’ah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut adalah kumpulan aturan lengkap hukum ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tergambar sebagian besar hukum fikih muamalah yang ada pada kitab-kitab para ulama. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah tersebut adalah bekal hakim pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah.
Dualisme pemahaman mengenai kewenangan mengadili ekonomi syariah antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Umum sejatinya telah terjawab melalui aturan-aturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung ataupun dalam peraturan perundang-undangan. Seperti contohnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syari’ah. Dalam ketentuan pada Pasal 1 ayat 1 Perma Nomor 5 Tahun 2016 tersebut dijelaskan mengenai sertifikasi Hakim Ekonomi Syari’ah yaitu sertifikasi hakim yang lulus administrasi, kemampuan, integritas dan dilanjutkan dengan pelatihan menjadi hakim ekonomi syari’ah. Kemudian pada pasal 2 dijelaskan Hakim Ekonomi syari’ah adalah hakim pada peradilan agama yang  bersertifikasi dan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dalam Pasal 2 tersebut juga dijelaskan bahwa perkara ekonomi syari’ah merupakan kewenangan dari hakim ekonomi syari’ah yang bersertifikat yang dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pasal 3 kemudian berbunyi sertifikasi hakim ekonomi syari’ah memiliki tujuan agar meningkatkan efektifitas penanganan perkara ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan merupakan bagian dari upaya penegakan hukum ekonomi syari’ah guna memenuhi rasa keadilan. Berdasarkan pasal 20 Perma Nomor 5 Tahun 2016, susunan majelis hakim yang menangani perkara ekonomi syari’ah adalah berdasarkan Perkara ekonomi syari’ah pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan agama/mahkamah syar’iyah diadili oleh majelis hakim yang ketua majelis dan/atau salah seorang anggotanya adalah hakim ekonomi syari’ah.
Mengenai pengembangan kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah berdampak pada konvergensi kewenangan yang dimiliki pada Peradilan Umum. Sebelum berlakunya Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut, perkara ekonomi syariah masuk kedalam kategori perkara perdata yang penanganan perkaranya merupakan wewenang Peradilan Umum. Praktiknya sendiri, sering terjadi ketidakjelasan atau ketidakpastian dalam penentuan kewenangan yang jelas dan terang mengenai kompetensi absolut, yang mana hingga saat ini adalah antara Peradilan Umum dengan Peradilan Agama mengenai hal perdata. Klasifikasi kewenangan peradilan Agama tentang penentuan jenis sengketa adalah sengketa ekonomi syariah dengan melihat akad/perjanjian yang disepakati para pihak. Apabila kesepakatan para pihak tersebut termasuk pada jenis akad/perjanjian dengan menggunakan prinsip syariah, maka sengketa tersebut masuk kategori sengketa ekonomi syariah.[16]
Permasalahan yang acapkali terlihat adalah pada saat sengketa tersebut termasuk bentuk sengketa mengenai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum lahir berdasarkan undang-undang dikarenakan akibat perbuatan manusia yang secara melawan hukum yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.[17] Hal tersebut menimbulkan permasalahan mengenai apakah sengketa tersebut adalah sengketa yang dapat diadili pada Peradilan Agama, ataukah hanyalah sengketa yang timbul yang disebabkan disepakatinya penandatanganan akad. Kemudian mengenai perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan yang timbul dari undang-undang dan bukanlah perikatan yang lahir dari akad/perjanjian, juga termasuk kewenangan Peradilan Agama dan termasuk sengketa ekonomi syariah.
Permasalahan yang muncul adalah mengenai ketidakjelasan perbuatan melawan hukum yang muncul dari ekonomi syariah adalah bagian sengketa ekonomi syariah yang merupakan kompetensi Peradilan Agama ataupun termasuk sengketa keperdataan biasa yang menjadi kompetansi dari Peradilan Umum. Prinsipnya suatu gugatan wajib didaftarkan kepada pengadilan pada lingkup peradilan yang memiliki kompetensi untuk mengenai hal tersebut. Apabila suatu gugatan yang di daftarkan bukanlah kewenangan mengadili suatu pengadilan tersebut yang berpotensi akan menyebabkan gugatan menjadi cacat. Apabila hal tersebut terjadi, pengadilan yang menerima perkara tersebut akan mengambil kesimpulan “tidak berwenang mengadili” tanpa terlebih dahulu memeriksa substansi perkara. Hal ini dapat menimbulkan terjadi suatu perkara perbuatan melawan hukum yang penggugatnya secara substansi gugatan bisa dinyatakan menang, namun apabila salah mengenai penentuan kompetensi pengadilan yang memiliki kewenangan, maka secara formil, gugatan tidak dapat diadili oleh pengadilan tersebut, sehingga konsekuensinya penggugat wajib mengganti pendaftaran gugatannya kepada kompetensi peradilan yang berbeda.
Kewenangan Pengadilan Agama mengenai perkara ekonomi syariah khususnya gugatan perbuatan melawan hukum, praktiknya telah dilakukan sepenuhnya pada Pengadilan Agama dikarenakan regulasi hukum yang telah ada telah memberikan adanya kepastian hukum mengenai kompetensi kewenangan mengadili dari Pengadilan Agama, seperti dicontohkan dalam putusan Nomor: 0411/Pdt.G/2013/PA.Clg antara Imal Fathullah, SH.,melawan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., Kantor Cabang Syariah Cilegon, mengenai adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., Kantor Cabang Syariah Cilegon terhadap produk ekonomi syariah yang dilakukan antara para pihak, terhadap perkara tersebut hakim dalam pertimbangannya menguji mengenai ada tidaknya perbuatan melawan hukum sehingga mengenai syarat formil gugatan mengenai kompetensi Pengadilan Agama sudah jelas yaitu merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama.
Upaya Hukum Luar Biasa:

Peninjauan Kembali
Tugas pokok yang dimiliki oleh pengadilan umum pada pengadilan pertama adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan pihak yang bersengketa. Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan yang serupa, namun jauh lebih besar sebagaimana berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 serta Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,  Mahkamah Agung diberikan tugas berdasarkan Undang-undang untuk mengadili pada tingkat kasasi dan mengadili perkara pada tahapan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa “peninjauan kembali merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan”.[18] Tambahan kemudian menurut ahli hukum lainnya yaitu Soedirjo, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang digunakan guna mendapatkan penarikan kembali atau perubahan terhadap putusan hakim yang secara upaya hukum biasa tidak dapat digugat lagi dan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, para pencari keadilan dimungkinkan mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan tersebut.[19]
Berdasarkan sejarahnya, terdapat konsep yang mirip dengan upaya hukum peninjauan kembali saat masa kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia (1848-1940) di mana konsep tersebut adalah memeriksa kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang pada saat tersebut dikenal dengan istilah herziening van arresten en vonnissen.[20] Adapun lembaga herziening berfungsi untuk melaksanakan proses pemeriksaan yang diatur dalam Reglement op de Strafverordering, title 18, yang terdapat pada pasal 365 hingga pasal 360, hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Wetboek van Strafvordering title 18 pasal 457 hingga pasal 481.[21] Lembaga herziening sendiri diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur mengenai cara dalam mengajukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan berkekuatan hukum yang tetap.[22] Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir, herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.[23] Konsep tersebut kemudian terdapat dalam acara perdata yang dikenal kemudian sebagai request civiel. Pengaturan mengenai pelaksanaan semula diatur dalam pasal 385 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvordering (RV) yang mengatur hukum acara yang disebut request civiel atau rekest civiel yang merupakan sama dengan peninjauan kembali. ini adalah permohonan mengulangi pemeriksaan perkara dengan menggunakan alasan luar biasa. Adapun saat itu, alasan agar dapat melakukan upaya hukum request civiel adalah :
  1. Putusan didasarkan kepada penipuan atau tipu muslihat dari pihak lawan;
  2. Apabila diputus mengenai hal yang tidak dituntut;
  3. Apabila diputus melebihi yang dituntut;
  4. Apabila terdapat kelalaian memberi putusan tentang sebagian dari tuntutan;
  5. Apabila terdapat dua putusan yang saling bertentangan;
  6. Apabila putusan dijatuhkan didasarkan pada surat yang diakui kemudian palsu;
  7. Apabila ditemukan novum berupa surat-surat yang bersifat menentukan;
Mengenai pengertian tentang Reglement op de Strafverordering dan Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering adalah peraturang perundang-undang yang hanya diberlakukan terhadap golongan Eropa dan Timur Asing yang saat itu menetap di Jawa dan Madura. Namun terhadap pribumi hukum yang berlaku adalah Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg.) yang tidak terdapat aturan mengenai herziening atau request civiel sehingga pada dasarnya tidak terdapat sebuah payung hukum bagi kalangan pribumi bangsa Indonesia dalam melakukan herziening atau request civiel pada saat itu. Adanya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969, diperbolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap bagi masyarakat umum. Namun dengan adanya SEMA tersebut, mengakibatkan tertunda berlakunya Peraturan Mahkamah Agung dengan alasan masih diperlukan peraturan lanjutan mengenai biaya perkara yang memerlukan izin dari Menteri Keuangan.
Mengenai upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, umumnya dilakukan terhadap putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat diubah kembali dengan tidak tersedia upaya hukum biasa lainnya. Upaya hukum Peninjauan Kembali diperbolehkan terhadap hal-hal tertentu yang disebutkan pada Undang-undang. Peninjauan Kembali secara prinsi tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Dasar hukumnya sendiri diatur dalam Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung bukan hanya memiliki kewenangan memeriksa serta memutus permohonan kasasi saja, namun juga memiliki kewenangan memeriksa serta memutus permohonan peninjauan kembali.
Pengertian mengenai peninjauan kembali atau request civil adalah sebuah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dikalahkan dalam suatu perkara dengan keputusan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[24] Dalam putusan yang dijatuhkan pada tingkatan kasasi dan putusan yang diputus diluar hadirnya tergugat (verstek), dan terhadap perkara yang tidak memiliki upaya hukum dalam mengajukan perlawanan, dapat dimohonkan dilakukan peninjauan kembali terhadap permohonan pihak yang menjadi salah satu pihak pada perkara yang telah diputus  sebagaimana tersebut pada Pasal 385 RV). Untuk itu request civil yang diatur dalam Pasal 385-401 Reglement of de Rechtsvordering (RV) yang mana hal tersebut adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dimungkinkan dicabut selama belum adanya putusan hakim Peninjauan Kembali, namun apabila sudah dicabut maka permohonan tersebut tidak dapat diajukan kembali sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat 1 hingga 3 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juga menyebutkan:
Peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya didasarkan pada alasan sebagai berikut:
1)    Jika putusan berdasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak yang diketahui sesudah perkara diputuskan atau berdasarkan pada bukti-bukti yang oleh hakim dinyatakan palsu.
2)    Jika setelah perkara diputus, terdapat bukti surat yang menentukan yang pada saat perkara diperiksa belum ditemukan dan digunakan pada saat tersebut.
3)    Jika putusan yang dikabulkan adalah petitum yang tidak dituntut ataupun lebih daripada yang dituntut.
4)    Jika mengenai sesuatu bagian dari petitum belumlah diputuskan tanpa adanya pertimbangan mengenai sebabnya.
5)    Jika antara pihak-pihak yang sama mengenai objek sama atau terhadap dasar yang sama dan pengadilan yang sama baik tingkat pengadilannya yang telah diputuskan hal bertentangan satu dengan yang lain.
6)    Jika terhadap suatu putusan adanya suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
 Permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan diatas, dapat diajukan oleh pihak yang terkait ataupun ahli waris dan juga dapat diajukan oleh kuasa hukum dengan kuasa khusus untuk hal tersebut secara tertulis dan menyebutkan alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan sebagai dasar permohonan peninjauan kembali dengan jangka waktu maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari. Pengajuan peninjauan kembali tersebut dapat juga diajukan secara lisan maupun tulisan. apabila pemohon tidak bisa menulis, kemudian pemohon tersebut menjelaskan permohonan secara lisan didepan ketua pengadilan yang berhak memutus perkara pada tingkat pertama ataupun hakim yang diberi kewenangan oleh ketua pengadilan dengan membuat catatan tentang permohonan peninjauan kembali sebagaimana ketentuan ini diatur pada Pasal 68 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009.
Dalam syarat Peninjauan Kembali (PK) pada perkara perdata, salah satu syarat materiil adalah adanya bukti baru ataupun keadaan yang baru atau dikenal Novum. Alasan materiil tersebut sama pengertiannya dengan sebuah “keadaan baru”. Ditemukannya novum atau istilahnya “surat-surat bukti yang bersifat menentukan” dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 67 huruf b UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009. Novum dalam perkara perdata secara tegas disebut sebagai sebuah alat bukti surat dimana novum tersebut melekat pada alat bukti surat.  Intinya adalah substansi novum tersebut haruslah keadaan baru yang pada perkara selebum peninjauan kembali belum terungkap pada persidangan. Novum adalah sebuah fakta hukum dan sebuah fakta harus terdapat dalam suatu alat bukti.
Sebuah fakta hukum dapat disebut dengan novum bila sesuai dengan syarat- syarat:
1)    Sebuah bukti surat yang substansinya memuat suatu fakta yang sudah ada / yang telah terjadi pada saat tingkat pertama sebelum perkara tingkat awal tersebut diputus oleh pengadilan.
2)    Fakta dalam surat tersebut belum pernah digunakan dan diperiksa pada persidangan tingkat awal tersebut diputus oleh pengadilan.
3)    Apabila fakta tersebut digunakan dan diperiksa pada pengadilan sebelum Peninjauan Kembali, maka putusan pengadilan tersebut kemungkinan berbeda dengan putusan pengadilan yang telah diputuskan sebelumnya.
Catatan Akhir
Uraian tentang upaya hukum ini selain merujuk kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, tetapi sebagian besar masih merujuk kepada ketentuan hukum warisan kolonial, seperti HIR dan RBg. Sama halnya dengan yang masih berlaku untuk Pengadilan Militer. Meminimalisir upaya hukum ini tentu dengan memperkuat posisi pengadilan tingkat bawah, khususnya pengadilan pertama. Jika beracara perdata mengacu kepada kebenaran formil, maka sudah waktunya kebenaran materil harus menjadi pertimbangan.
Sebagai contoh dalam pembuktian, bahwa alat bukti yang diajukan itu harus mampu meyakinkan hakim akan kebenarannya. Jika tidak, maka hakim akan memutus sebaliknya atau mengembalikan kepada pihak yang memiliki alat bukti untuk mengajukan alat bukti baru. Filsafat “meyakinkan” hakim ini cenderung tidak terukur dengan norma-norma tertulis, karena lebih dilihat dari aspek rasa, yakni rasa keadilan. Demikian juga kasus putusan verstek dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama kurang sesuai dengan hukum materiil dalam hukum Islam, soalnya tanpa kata talak oleh suami, perkawinan bubar dan berkekuatan hukum tetap. Juga soal pembatalan perkawinan yang ditemukan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sementara untuk warganegara non muslim dikenal pembatalan perceraian yang merujuk kepada UU Kewarganeraan.
Kasus yang sering terjadi dan paradoks juga adalah perkara sengketa adat, di mana sejak masa lalu sebelum hukum acara perdata ini diberlakukan, semua sengketa adat diselesaikan secara musyawarah mufakat di Peradilan Adat, tidak ada banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Setelah HIR dan RBg diberlakukan, semua sengketa adat menjadi sengketa perdata adat dan hukum acara yang dipakai untuk menyelesaikannya adalah hukum acara warisan kolonial yang mengenyampingkan musyawarah. Pengaruhnya sampai saat ini sengketa adat ini banyak yang tidak merasakan keadilan pada tingkat pengadilan pertama, lalu banding, bahkan banyak nyang mengajukan kasasi.
Tentunya kajian putusan ini bukan sekedar cara pandang norma dan kepastian hukum. Tetapi lebih mengarah kepada keadilan. Kuncinya ada pada konsideran putusan, yakni “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini bermakna bahwa putusan itu harus berdasarkan kepada Keadilan Tuhan. Makanya hakim dijuluki sebagai mewakili Tuhan dalam tugasnya yang akan menjatuhkan putusan terakhir terhadap perkara yang disidangkannya. Tegar dalam pendirian, tidak didasari oleh kebencian sehingga yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Alam HR Muslim Rasulullah bersabda: Hakim itu satu di surga dan dua di neraka. Yang satu itu adalah tahu tentang kebenaran dan memutuskan beradasarkan kebenaran tersebut. Yang dua itu, satu di antaranya tahu tentang kebenaran tetapi memutuskan sebaliknya, sedangkan yang satu lagi tidak tahu tentang kebenaran dan memutus berdasarkan kebodohannya itu. Kiranya pertemuan ini menjadi titik awal agar terciptanya Hukum Acara Perdata yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.       








DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sugeng dan Sujayadi, 2009, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi Perkara Perdata, Surabaya, Kencana.

Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal Sistem; A Social Science Prespective, New York, Russel Sage Foundation.

Sudikno Mertakusuno, 1988, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta, Liberty

Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Wahyu Affandi, 1981, Berbagai Masalah Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni.

R. Soeroso, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Jakarta, Sinar Grafika.

Soedirjo, 1986, Peninjuan Kembali Dalam Perkara Pidana Arti dan Makna, Jakarta, Akademika Pressindo.

Hendrastanto Yudowidagdo, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara.

Hadari Djenawi Tahir, 1982, Bab Tentang Herziening Di Dalam KUHAP, Bandung, Alumni.
J.T.C. Simorangkir, 1983, Kamus Hukum, Jakarta, Aksara Baru.
 
Sophar Maru Hutagalung, 2010, “Praktik Peradilan Perdata, Teknis menangani perkara di pengadilan”, Jakarta, Sinar Grafika.

Riduan Syahrani, 1994, “Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum”, Jakarta, Sinar Grafika.

H. Zainuddin Mappong, 2010, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata), Malang, Tunggal Mandiri Publishing

M. Yahya Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar Grafika.

Mardani, 2011, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung, Refika Aditama. 

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, 2005, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Jakarta, Raja Grafindo.
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik, Jakarta, Sinar Grafika.
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Undang-undang No.  21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah




[1] Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum acara perdata & Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Surabaya: Kencana. 2009), Hlm. 1
[2] Ibid, Hlm. 3
[3] Lawrence M. Friedman, The Legal Sistem; A Social Science Prespective, (New York : Russel Sage Foundation, 1975), Hlm. 12–16. 
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), Hlm. 5.  
[5] Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), Hlm. 25.
[6] Ibid. Hlm. 12.
[7] Ibid, Hlm. 234.  
[8] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung:Mandar Maju,hal. 1
[9]  Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, op.cit, hal. 142
[10] Sophar Maru Hutagalung, “Praktik Peradilan Perdata, Teknis menangani perkara dipengadilan”, (Jakarta : Sinar Grafika, cetakan pertama, 2010), Hlm. 99.
[11] Riduan Syahrani, “Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum”, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hlm. 94.
[12] H. Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata), (Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010), Hlm. 43.

[13] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hlm. 21.
[14] H. Zainuddin Mappong, Op Cit, Hlm. 49.
[15] Tanggal 16-09-1986, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang Penting, MA RI, Jakarta, 1992,hlm.15 dalam M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 210.
[16] Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), Hlm.110-111. 
[17] Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), Hlm. 81.  
[18] R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Cet. 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hlm. 92. 
[19] Soedirjo, Peninjuan Kembali Dalam Perkara Pidana Arti dan Makna, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1986), Hlm. 11. 
[20] Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), Hlm. 234. 
[21] Soedirjo, op.cit., Hlm. 14. 
[22] Hadari Djenawi Tahir, Bab Tentang Herziening Di Dalam KUHAP, (Bandung: Alumni, 1982), Hlm. 8. 
[23] J.C.T. Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), Hlm. 76. 
[24] Sarwono, Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hlm. 53.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS