UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN
PROF.
DR. H. YASWIRMAN., MA.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANADALAS
PADANG – SUMATERA BARAT
2018
Pendahuluan
Setiap warganegara
secara individu memiliki hak
dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh yang
lainnya. Karena
itu diperlukan sebuah aturan
yang menjadi dasar untuk menjalani aktivitas kehidupan agar tercipta
ketertiban dalam masyarakat.
Aturan yang mengikat masyarakat tersebut dikenal sebagai hukum yang lahir dalam
suatu Negara yang berdaulat dan mengikat setiap masyarakatnya yang berada di
dalam wilayah negara tersebut.
Hukum dalam negara yang berdaulat itu dipimpin oleh organ-organ negara yang memiliki
wewenang berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.[1]
Dalam kegiatan bermasyarakat, berpeluang terjadi gesekan-gesekan yang dapat mengakibatkan instabilitas dalam masyarakat. Gesekan-gesekan yang
bermula dari konflik tersebut
bisa
berubah menjadi sengketa, karena hak dari masyarakat tersebut
telah dilanggar oleh masyarakat
lainnya. Sehingga diperlukan suatu mekanisme hukum untuk memulihkan hubungan
tersebut dengan menggunakan sebuah lembaga yang memiliki landasan dan
kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan aturan hukum yang berlaku dan
mengikat bagi setiap individu dalam masyarakat. Dikarenakan agar dapat mencegah
terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).[2]
Hukum sebagai suatu mekanisme bertujuan memberikan
ketentraman dan kepastian hukum bagi semua lapisan masyarakat yang berada dalam
suatu negara. Adapun tujuan utama
dari hukum dibagi menjadi tiga tujuan yaitu :
1. Untuk
mewujudkan asas keadilan (gerectigheit).
Terkadang keadilan dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, terlebih kalau melihatnya dari perspektif pihak yang
dikalahkan dalam sengketa di persidangan, namun dalam teori keislaman, keadilan
dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang telah diturunkan
oleh Allah yang Maha Adil bagi umat manusia, berdasarkan nilai-nilai universal
dalam al-Qur’an dan Sunnah dan menjadi keyakinan umat Islam.
2. Untuk
mewujudkan asas kemanfaatan hukum
(doelmatigheid). Pada prinsipnya tujuan hukum itu adalah
terciptanya kemanfaatan atau
kebahagiaan masyarakat. Dalam konteks kemasyarakatan, kemanfaatan mendasar
terhadap yang mereka harapkan adalah ketika apa yang menjadi keyakinan mereka
mendapatkan jaminan dan kepastian dari peraturan undang-undang sehingga tetap
dapat terwujud dalam tataran kehidupan nyata. Dalam konteks Islam,
asas kemanfaatan ini identik dengan kemaslahatan.
3. Untuk
mewujudkan asas kepastian hukum (rechmatigheid).
Kepastian hukum adalah suatu kondisi yang timbul dikarenakan adanya penyatuan norma.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika sebuah peraturan dibuat dan
diundangkan secara tertulis karena mengatur secara jelas dan logis.
Maksudnya jelas dan logis, tidak
menimbulkan multi penafsiran. menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik antar norma yang
ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma,
reduksi norma atau distorsi norma.
Fungsi hukum tersebut berkaitan dengan hukum yang
diaplikasikan dan dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat,
yang subtansinya
berwujud penegakan hukum.
Pentingnya proses penegakan hukum ini agar tercipta masyarakat yang baik sesuai
dengan tujuan hukum ini sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman melalui teori sistem
hukumnya yang mengemukakan
bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga (3)
komponen, yaitu:[3]
- Legal substance (substansi hukum), mencakup seluruh aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, baik hukum material maupun hukum formal.
- Legal structure (struktur hukum), melingkupi pranata hukum, aparatur hukum dan sistem penegakan hukum. Struktur hukum erat kaitannya dengan sistem peradilan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
- Legal culture (budaya hukum), merupakan penekanan dari sisi budaya secara umum, kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan berpikir, yang mengarahkan kekuatan sosial dalam masyarakat.
Berdasarkan
dari teori sistem hukum Lawrence M. Friedmen tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ketiga komponen hukum itu harus dapat terwujud dengan baik dan dapat berjalan
bersama agar hukum yang di buat untuk menegakan keadilan dapat diwujudkan
secara efektif sehingga keadilan yang menjadi tujuan penegakan hukum dapat
dirasakan oleh masyarakat. Contohnya, legal structure atau struktur
hukum yang sudah baik ditambah dengan legal culture atau budaya hukum
yang baik dapat menimbulkan masalah ketika legal substance atau
substansi hukum tidak memberikan satu kesatuan kepastian hukum. Adanya norma
hukum atau ketentuan hukum yang saling bertolak-belakang mengakibatkan komponen
legal substance atau substansi hukum menjadi tidak baik dan pada
akhirnya hal tersebut berdampak pada suatu penegakan hukum yang kemungkinan
tidak dapat menunjukan sebuah rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
bagi pihak-pihak terkait.
Sistem
penegakan hukum dan penyelesaian sengketa tersebut di atas
apabila lebih diaplikasikan lagi, maka akan
berwujud menjadi sebuah
sistem peradilan. Pemahaman yang
dikemukakan seorang ahli
hukum Sudikno Mertokusumo menggambarkan bahwa sistem peradilan adalah pelaksanaan hukum
dalam hal konkrit mengenai adanya suatu tuntutan hak. Fungsi
tersebut dijalankan oleh suatu badan
yang independent dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh manapun
dengan cara memberikan putusan yang bersifat final dan mengikat.[4] Sehingga
terhadap pihak yang merasa hak-haknya dirugikan dapat mengajukan permasalahan
tersebut kepada pengadilan untuk memperoleh penyelesaian sesuai koridor hukum
yang berlaku, dengan mengajukan gugatan terhadap pihak yang merugikannya.
Hak untuk mengajukan tuntutan tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada yang merasa dirugikan. Hal tersebut merupakan ciri
dari asas hakim pada hukum perdata bersifat menunggu dalam hukum acara perdata
(iudex ne procedat ex officio).
Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permasalahannya kedalam bentuk gugatan
perdata. Pengajuan gugatan tersebut dapat secara tertulis atau secara lisan.
Gugatan secara lisan diperbolehkan terhadap mereka yang buta huruf. Tetapi pada
prakteknya, sekarang tidak lazim lagi ditemukan pengajuan gugatan yang
diajukan secara lisan.[5]
Adapun terhadap gugatan lisan maupun tertulis, keduanya harus membayar biaya
administrasi perkara pada saat mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan
pengadilan yang berwenang. Bagi masyarakat yang tidak memilki kemampuan untuk
membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo)
dengan mendapatkan izin untuk tidak dibebankan dari pembayaran biaya perkara,
dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat umum
setempat.[6]
Bentuk gugatan yang diajukan oleh penggugat adalah
dasar serta menjadi patokan pada pemeriksaan perkara tersebut oleh pengadilan. Jika gugatan tersebut tidak dilengkapi dengan syarat- syarat formil sebuah gugatan,
maka konsekuensinya gugatan tersebut kemungkinan besar akan dinyatakan tidak
dapat diterima NO (Niet Ont Van Kelijk
Ver Klaard). Persyaratan mengenai format gugatan tersebut pada Pasal 8 Ayat
(3) Rv (Reglement op de Burgelijke
Rechtsvordering) yang mewajibkan gugatan harus memuat identitas dari para
pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum/kausalitas yang
merupakan dasar serta alasan-alasan gugatan (middelen van den eis) atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi (posita), dan
petitum atau tuntutan. Walaupun pada HIR (Herzien
Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.1848 No.
16, S. 1941 No. 44 untuk daerah Jawa dan Madura) dan RBg (Rechtsglement Buitengewesten atau Reglemen daerah seberang: S.
1927 No. 227 untuk luar Jawa dan Madura) aturan mengenai syarat-syarat surat
gugatan tidak diatur, masyarakat bebas dalam menyusun surat gugatannya dengan
syarat memberikan gambaran tentang kejadian materil/ fakta hukum yang menjadi
dasar tuntutan tersebut, namun pada prakteknya cenderung tidak mengikuti
syarat-syarat yang di tentukan pada Pasal 8 Rv dalam penyusunan surat gugatannya. Dengan demikian, surat
gugatan yang diajukan ke pengadilan telah disusun dan dirumuskan secara
sistematis.
Penyelesaian sengketa perkara perdata dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar
pengadilan (non litigasi). Penyelesaian perkara melalui pengadilan dilakukan
melalui proses pemeriksaan perkara menurut ketentuan hukum acara perdata. Pihak
penggugat mengharapkan adanya suatu putusan pengadilan terhadap perkara yang
diajukannya, apabila gugatannya dikabulkan oleh hakim dapat terpenuhi hak-hak
keperdataannya secara pasti. Selain itu, pihak penggugat mengharapkan putusan
hakim memenangkan perkaranya sesegera mungkin untuk dapat dimohonkan pelaksanaan eksekusinya,
dan dapat pula segera menikmati hasil-hasilnya dalam waktu yang relatif
singkat, tanpa harus terlebih dahulu menunggu berlama-lama sampai adanya
putusan yang in kracht van gewijsde (telah memperoleh kekuatan hukum tetap).
Terhadap suatu putusan yang diputuskan oleh majelis
hakim dalam sebuah perkara perdata dapat ditolak atau tidak diterima oleh para pihak yang bersengketa dalam
perkara tersebut, dikarenakan dalam beberapa situasi dalam sebuah keputusan
yang diputus oleh majelis hakim terdapat sebuah cacat yuridis. Hal
ini dikarenakan majelis
hakim dalam setiap perkara sejatinya tetap manusia biasa yang tidak luput
dari kekhilafan, sehingga keputusannya dalam suatu perkara yang
diputusnya seringkali terdapat kekeliruan-kekeliruan ataupun
kekurangan-kekurangan, yang berdampak bahwa pihak yang telah dinyatakan kalah umumnya enggan
menerima putusan tersebut karena menurutnya keputusan majelis hakim tersebut tidak sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku atau tidak mencerminkan rasa keadilan.
Sudikno Mertokusumo selaku ahli hukum dalam tulisannya
menyebutkan bahwa suatu putusan hakim, tidak luput dan kekeliruan atau
keikhlafan, bahkan dalam hal tertentu tidak mustahil bersifat memihak kepada
salah satu pihak. Sehingga demi kebenaran dan keadilan dalam setiap putusan
hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau keikhlafan
yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Dalam setiap putusan majelis hakim
pada umumnya dimungkinkan adanya sebuah upaya hukum, yaitu upaya atau alat
untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.[7]
Upaya hukum tersebut di atas merupakan sebuah upaya hukum yang dapat dipergunakan
oleh pihak yang sedang berperkara guna membantah putusan hakim yang menurutnya
dianggap tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku atau putusan tersebut
tidak mencerminkan kebenaran dan keadilan.
Pada umumnya pihak yang tidak merasa puas dengan sebuah
keputusan hakim akan mengajukan upaya hukum. Upaya hukum sering
diartikan sebagai suatu upaya yang diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas
terhadap suatu putusan pengadilan. Dengan mengajukan upaya hukum, pihak yang
merasa tidak puas berharap agar upaya hukum tersebut dapat menghasilkan upaya
hukum, baik putusan maupun penetapan yang intinya mengoreksi putusan atau
penetapan pengadilan yang ada.Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata
mendefinisikan upaya hukum sebagai upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan
hakim.[8] Secara teori, upaya hukum dapat dibagi
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:[9]
1.
Upaya hukum biasa antara lain perlawanan terhadap putusan
verstek, banding dan kasasi;
2.
Upaya hukum luar biasa antara lain perlawanan pihak
ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali.
1.
Upaya Hukum Biasa
Banding
Upaya hukum banding adalah suatu upaya hukum yang
diajukan oleh para pihak yang kurang puas terhadap putusan yang dijatuhkan oleh
hakim dalam perkara yang diputuskan oleh hakim tersebut.[10]
Upaya banding adalah bentuk pemeriksaan ulang yang diajukan terhadap pustusan
pada Pengadilan tingkat pertama atas permohonan pihak yang merasa tidak setuju dengan
putusan pada hakim tingkat pertama. Adapaun dasarnya diatur pada pasal 188 s.d.
194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah
di luar Jawa dan Madura).
Berdasarkan Pasal 3 jo Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 (UU-Darurat No. 1 Tahun 1951), penerapan pasal 188 s.d. 194 HIR
dinyatakan tidak lagi berlaku dan digantikan melalui UU No. 20/1947 tentang
Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.[11]
Apabila Penggugat atau Tergugat memiliki
perasaan tidak puas terhadap putusan hakim yang diputus pada Pengadilan Negeri,
maka secara hukum dapat mengajukan permohonan banding yang ditujukan pada
Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya termasuk wilayah Pengadilan Negeri yang
memutuskan perkara tersebut. Intinya permohonan banding adalah pemeriksaan
kambali yang diajukan pada Pengadilan yang lebih tinggi. Lembaga banding
sejatinya dibuat oleh pembuat Undang- undang (Wet Gever) dengan berpedman pada fakta hakim adalah manusia biasa,
tetap dimungkinkan adanya kesalahan dalam menjatuhkan suatu putusan perkara.
Sehingga terdapat kesempatan bagi yang kalah untuk melakukan permohonan banding
kepada Pengadian Tinggi setempat.
Pengajuan Permohonan banding dapat dilakukan oleh
salah satu pihak yang berperkara dan umumnya pihak yang kalah pada Pengadilan
Negeri yang mengajukan permohonan banding tersebut. Dengan putusan yaitu
gugatan dikabulkan sebagian dan selebihnya gugatan ditolak atau sudah diajukan
gugatan balasan, baik itu gugatan konvensi maupun gugatan balik (rekonvensi).
Dengan kata lain permohonan banding dapat diajukan oleh salah satu pihak dengan
tidak tertutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan.
Fakta yang dapat mengajukan permohonan banding ialah para pihak yang berperkara
sebagaimana tersebut pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 jo Pasal
199 R.Bg. jo Pasal 19 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Banding sebagai bentuk upaya hukum dalam memperoleh
perbaikan terhadap putusan yang lebih menguntungkan, dan bahwa banding sangat
jarang dilakukan bagi pihak yang menang melainkan banding secara faktanya
diperuntukkan bagi pihak yang kalah atau para pihak yang merasa dirugikan di
Pengadilan Negeri. Sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember 1975,
menyatakan permohonan banding itu terbatas dalam putusan Pengadilan Negeri yang
merugikan pihak yang menyatakan banding tersebut. Jadi pada hakikatnya bahwa
keputusan Pengadilan Negeri tidak menguntungkan bagi pihak yang mengajukan
banding. Permohonan banding harus diajukan dalam jangka waktu yang ditentukan,
Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 20 Tahun 1947 yang menyatakan secara
limitatif permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari
terhitung mulai berikutnya hari pengumuan putusan kepada yang berkepentingan.
Namun pengecualian terhadap pemohon banding yang tidak berdomisili dalam tempat
Pengadilan Negeri tersebut bersidang, waktu itu dijadikan 30 hari.
Pihak yang merupakan pemohon banding atau pembanding
dapat mengajukan memori banding yang berisikan alasan-alasan permohonan
banding, dengan ataupun tidak dengan bukti-bukti baru terhadap panitera
Pengadilan Negeri ataupun panitera Pengadilan Tinggi bersangkutan. Untuk pihak
lawan atau termohon banding dapat menyampaikan tanggapan terhadap memori
banding dengan mengajukan kontra memori banding dimana penyampaian memori
banding dan kontra memori banding bukanlah suatu kewajiban pemohon banding dan
termohon banding menurut Hukum Acara Perdata. Melainkan adalah hak, sehingga
batas waktu untuk menyampaikannya tidak ada selama perkara belum diputus oleh
Pengadilan Tinggi.
Dengan tidak adanya kewajiban bagi pemohon banding dan
termohon banding dalam menyampaikan memori banding dan kontra memori banding
tersebut berkaitan dengan dasar dan sifat pemeriksaan pada tingkat banding di
Pengadilan Tinggi, dengan mengulang seluruh bentuk pemeriksaan perkaranya, baik
mengenai fakta-faktanya maupun mengenai penerapan hukumnya. Pengadilan
Tinggi juga tidak memiliki
kewajiban untuk mempertimbangkan memori banding yang diajukan, sehingga apabila
memori banding tersebut tidak dimasukan dalam pertimbangan oleh Pengadilan
Tinggi, maka tidak mengakibatkan batalnya putusan Pengadilan Tinggi tersebut.
Pengaturan ini terdapat kelemahan karena dimungkinkan dapat menjadi salah satu
penyebab mengapa putusan Pengadilan Tinggi hanya menguatkan begitu saja putusan
Pengadilan Negeri, dengan cara mengambil alih pertimbangan hukum dalam perkara
tersebut sebagai pertimbangan hukum sendiri, tanpa pertimbangan adanya memori
banding yang berisikan keberatan-keberatan pemohon banding terhadap putusan
Pengadilan Negeri dan tentunya putusan pengadilan Tinggi yang hanya menguatkan
putusan Pengadilan Negeri dengan mengambil alih pertimbangan hukumnya sendiri
itu, dirasakan kurang memuaskan dari pencari keadilan sebagai putusan yang
tidak sesuai dengan harapan pemohon banding, sehingga prakteknya, pemohon
banding tersebut menempuh upaya hukum lain, yaitu dengan mengajukan permohonan
pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung.
Banding pada Pengadilan Tinggi adalah tahapan di mana pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap
putusan dari Pengadilan Negeri mengajukan pemeriksaan perkaranya kembali pada
Pengadilan Tinggi agar dapat diputus dan putusan tersebut sesuai dengan harapan
dari pihak yang mengajukan banding tersebut. Upaya hukum banding adalah bentuk
sebuah upaya hukum yang diajukan oleh para pihak yang merasa masih terdapat
kekeliruan dari Hakim yang memeriksa perkara pada tingkat pengadilan
pertama. Dasar hukum dari banding
ini sendiri diatur melalui pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan
Madura) dan pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura) dan
berdasarkan pasal 3 jo pasal 5 UU No. 1 tahun 1951 (UU-Darurat No. 1 tahun
1951), penerapan pasal 188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak lagi berlaku dan
digantikan melalui UU No. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura. Adapun bentuk-bentuk putusan yang dapat diajukan banding adalah:
1. Menurut ketentuan Pasal 130 HIR menyatakan: “putusan perdamaian tidak dapat dibanding, karena
tanggung jawab dalam putusan tersebut tidak terdapat ditangan hakim, karena
merupakan kesepakatan para pihak.”
2. Menurut
ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947: putusan-putusan perkara perdata, yang tidak ternyata
bahwa besarnya harga gugat ialah seratus
rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihakpihak (partijen) yang
berkepentingan dapat diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh
Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
Secara garis
umum, proses pemeriksaan perkara banding pada Pengadilan Tinggi adalah sebagai
berikut:
- Permohonan banding diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dibacakan.
- Permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi dengan membuat surat keterangan resmi Pengadilan.
- Terhadap permohonan banding yang telah memenuhi prosedur dan waktu yang ditetapkan, wajib dibuatkan akta penyataan banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon banding, serta tembusannya nantinya akan diberikan kepada termohon banding.
- Panitera wajib memberitahukan permohonan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain menggunakan relas panggilan dan relas pemberitahuan resmi dari Pengadilan.
- Wajib dibuatkan tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding dan wajib dicatat dan salinannya disampaikan kepada pihak yang lain, dengan membuat relas pemberitahuan/penyerahannya.
- Sebelum berkas perkara yang diajukan banding dikirim ke Pengadilan Tinggi, selama 7 hari pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara atau yang dikenal dengan tahapan Inzage.
- Dalam waktu 14 (empat betas) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas perkara banding harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi agar dapat diperiksa dengan membuat berita acara penerimaan berkas resmi.
- Terhadap perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu oleh Pemohon Banding, apabila dalam hal sudah dicabut tidak boleh diajukan permohonan banding lagi.
Setelah putusan yang dikeluarkan oleh Hakim pada Pengadilan tingkat
pertama dibacakan, maka para
pihak yang merasa keberatan dengan putusan tersebut dapat mengajukan pernyataan banding yang mana bentuk-bentuk
pernyataan banding dari pihak yang merasa dirugikan/dikalahkan tersebut dapat
menyatakan pernyataan banding di kepaniteraan pengadilan baik secara lisan
ataupun tertulis. Berdasarkan permohonan tersebut, panitera kemudian membuatkan
pernyataan banding yang mana pernyataan banding tersebut merupakan sebuah akta
otentik yang berfungsi sebagai alat bukti bahwa yang bersangkutan telah
melakukan pernyataan banding terhadap putusan pengadilan negeri tingkat pertama
tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan, aturan mengenai siapa-siapa saja
pihak yang dapat mengajukan banding tidak diatur secara detail, tetapi lazimnya
yang meminta banding adalah orang yang kalah, tetapi dapat juga pihak yang menang
minta banding dengan nantinya terdapat dua kemungkinan putusan pengadilan
setelah proses banding tersebut dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata
yaitu :
1. NO (Niet Ont Van Kelijk Ver Klaard)
atau tidak dapat diterima dikarenakan menyangkut mengenai syarat-syarat formil
hukum acara perdata.
2. Ditolak dikarenakan secara hukum materil pokok perkara yang sudah
diperiksa pada tahapan banding pada Pengadilan Tinggi tidak terdapat bukti dan
dasar hukum yang kuat terhadap materi hukum yang diajukan Pembanding dalam
permohonan banding tersebut.
Pemohon banding memiliki hak untuk menyertakan memori
banding dalam melengkapi pernyataan bandingnya. Berbeda dengan pengajuan banding, pemohon kasasi wajib mengajukan dan menyertakan
memori kasasi. Masa pengajuan permohonan banding ini adalah selama 14 (empat
belas) hari terhitung sehari
sesudah putusan diumumkan atau diberitahukan kepadanya. Selanjutnya dalam waktu
14 (empat belas) hari tersebut terlewatkan, maka pengadilan yang berwenang menerima tersebut
tidak boleh menolak. Akan tetapi wajib melanjutkan kepada pengadilan tinggi, dikarenakan yang
berhak untuk menolak dan menerima permohonan banding adalah Pengadilan Tinggi.[12]
Putusan
majelis hakim dalam tingkatan
banding dapat berupa:
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri.
- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri.
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri.
Kemudian tahapan yang dilalui adalah inzage, yaitu adalah memeriksa berkas-berkas perkara yang telah diselesaikan
di pengadilan dengan batas waktu 14 hari setelah pernyataan banding harus telah
dilakukan. Setelah inzage dilakukan,
masing-masing pihak, baik Pemohon banding ataupun Termohon Banding boleh memasukkan
surat-surat keterangan dan bukti tambahan yang belum diajukan pada sidang tahap
pertama sebelumnya. Surat-surat yang dimaksud adalah memori banding dan kontra memori banding. Mengenai memori banding sendiri,
hal tersebut bukanlah merupakan suatu kewajiban tetapi merupakan hak dari
Pemohon banding yang artinya hak tersebut bisa dipergunakan bisa tidak. Apabila tidak dipergunakan, maka tidak mempunyai akibat hukum. Sehingga tanpa memori
banding, pengadilan tetap akan memeriksa dan mengadili perkaranya karena PN dan
PT merupakan tahapan judex factie di
mana bertugas memeriksa fakta
hukum dalam perkara sedangkan Mahkamah Agung (MA) merupakan judex yuris yang memeriksa penerapan
hukum oleh hakim.
Banding
merupakan pemeriksaan tahap akhir dalam hal judex
facti sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung di mana judex facti
menilai alat bukti pada persidangan tahap banding tersebut. Pemeriksaan banding
sendiri disebut sebagai pemeriksaan ulangan, maka Pengadilan Tinggi mulai
memeriksa gugatan, jawaban, replik, duplik, semua alat-alat bukti diperiksa
kembali oleh Pengadilan Tinggi pada tingkat banding. Adapun nantinya Pengadilan
Tinggi akan memutus perkara banding setelah memeriksa seluruh judex factie dengan bentuk akhirnya
adalah mengeluarkan putusan Pengadilan Tinggi. Adapun syarat-syarat sebuah putusan banding oleh
Pengadilan Tinggi diatur dalam Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai berikut:
1.
Harus ada kepala Putusan
Suatu putusan Hakim
wajib mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” (Pasal 4 (1) Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dimana kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada
putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan
tersebut.
2.
Nomor putusan.
Didalam sebuah
putusan Hakim, harus memuat identitas dari pihak seperti nama, alamat,
pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan
kepada orang lain.
3.
Pertimbangan atau alasan-alasan
hukum
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri menjadi dua bagian
yaitu pertimbangan mengenai duduk perkara dan pertimbangan mengenai
hukumnya. Pasal 184 HIR menjelaskan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus
memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan rinci, alasan dan dasar putusan,
pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta
hadir atau tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.
Sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung No. 638 K / SIP / 1969 tanggal 22 Juli
1970 dan No. 492 / K / SIP / 1970 tanggal 16 Desember 1970 menjelaskan, Putusan
yang kurang cukup terdapat pertimbangan dari hakim, umumnya merupakan alasan
untuk kasasi dan putusan tersebut haruslah
dibatalkan.
4.
Amar atau diktum putusan
Dalam amar putusan
perkara perdata harus termuat suatu pernyataan hukum, penetapan mengenai hak,
lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan
terhadap suatu prestasi tertentu. Dalam dictum tersebut juga wajib ditetapkan
siapa yang berhak secara hukum, siapa yang benar ataupun mengenai pokok
perselisihan.
5.
Mencantumkan Biaya Perkara
Pencantuman biaya
perkara dalam putusan diatur dalam pasal 184 ayat (1) H.I.R dan pasal 187
R.Bg., bahkan dalam 183 ayat (1) H.I.R. dan pasal 194 R.Bg. dinyatakan bahwa
banyaknya biaya perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang berperkara.
Adapun
proses banding mengenai perkara ekonomi syariah pada tingkat banding dalam
prakteknya tercermin dari Putusan No. 46/Pdt.G/2012/PTA.Pdg tertanggal 04
Desember 2012 dimana pihak yang berperkara adalah antara Emidawati C. melawan
PT. Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pemerintah RI. C/Q Kementrian
Keuangan RI. Di Jakarta C/Q Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dimana dalam
perkara tersebut adalah mengenai pelelangan hak tanggungan sebagai jaminan
dalam akad murabahah yang mana akad murabahah tersebut adalah produk dari
hukum ekonomi syariah yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama dalam
mengadili sengketa tersebut berdasarkan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama adapun dalam perkara ini, dapat disimpulkan
bahwa hukum acara yang dijalankan adalah hukum acara perdata yang mana
merupakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Tinggi Agama yang memeriksa
perkara banding dalam sengketa ekonomi syariah tersebut.
2. Kasasi
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
ditegaskan bahwa Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi
semua lingkungan peradilan, tergantung pada mereka untuk mempergunakan hak
tersebut. Apabila mereka menerima putusan yang diputus Majelis Hakim pada
tingkat banding, maka hak mengajukan kasasi tersebut tidak digunakan. Namun
apabila pihak dalam perkara keberatan untuk menerima putusan yang dijatuhkan
baik oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan
Tingkat Banding (Judex Facti), maka pihak tersebut dapat mengajukan
permohonan kasasi kepada Majelis Hakim pada Mahkamah Agung (Judex
Juris).
Istilah Judex
Facti dan Judex Juris awalnya berasal dari istilah Latin. Judex
Facti berarti Majelis Hakim yang memeriksa fakta hukum dalam perkara, dan Judex
Juris berarti Majelis Hakim yang memeriksa penerapan hukum dalam perkara.
pada sistem hukum Indonesia, Judex Facti dan Judex Juris adalah
dua tingkatan pada sistem peradilan Indonesia berdasarkan mekanisme pengambilan
keputusan dalam bentuk putusan hakim. Sistem peradilan Indonesia secara prinsip
terdiri dari Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tingkat Banding, dan
Pengadilan Tingkat Kasasi. Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tiμgkat
Banding adalah Judex Facti yang berwenang memeriksa fakta dan bukti dari
suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari suatu perkara tersebut dan
Pengadilan Tingkat Kasasi adalah Judex Juris yang memeriksa penerapan
hukum dari suatu sengketa dengan tidak memeriksa fakta hukum dari perkara
tersebut. Kedua istilah tersebut secara etimologis sering salah digunakan
sebagai kutipan menjadi “Judex Factie” dan “Judex Jurist”.
Umumnya
Pengadilan Tingkat Pertama berkedudukan pada ibukota kabupaten atau kota
sedangkan Pengadilan Tingkat Banding umumnya berkedudukan hukum pada ibukota
provinsi. Pengadilan Tingkat Kasasi adalah puncak dari pengadilan hanya ada di
ibukota Negara Republik Indonesia. Dalam Pengadilan Tingkat Kasasi, Majelis
Hakim tidak memeriksa fakta hukum dan bukti-bukti yang digunakan dalam perkara tetapi hanya memeriksa interpretasi, konstruksi, dan penerapan hukum dalam
fakta yang sudah diperiksan oleh Judex Facti.
Seperti halnya pada upaya hukum banding, upaya hukum kasasi juga adalah hak
bukan kewajiban dan pengajuan permohonan kasasi adalah sebuah upaya hukum
biasa. Tujuan pengajuan permohonan kasasi adalah pertama sebagai koreksi
terhadap kesalahan penerapan hukum pengadilan dibawahnya agar menciptakan dan
membentuk hukum baru dan sebagai pengawasan agar terciptanya kesamaan dalam
penerapan hukum. Ketentuan pada Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (sekarang sudah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004)
menjelaskan mengenai pengertian tentang kasasi, yaitu:
- Pada sistem peradilan di Indonesia, terdapat peradilan tingkat kasasi yang kewenangan didapat oleh Undang- Undang terhadap Mahkamah Agung sebagai Peradilan Negara Tertinggi (Highest State Court) dalam seluruh Lingkungan Peradilan dibawahnya.
- Tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan pada seluruh lingkungan peradilan jika pengadilan yang membuat putusan atau penetapan tersebut:
1.
Tidak
berwenang ataupun melampaui batas wewenang;
2.
Telah
salah dalam penerapan dasar hukum pada putusan atau melanggar hukum yang
berlaku;
3.
Telah
lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang telah diwajibkan oleh undang-undang
yang mengancam kelalaian tersebut dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Pernyataan yang dikemukakan dalam Pasal 30 ayat (1) UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung diatas serupa dengan pengertian yang terdapat di Kamus Istilah Hukum, Cassatie yang berarti pembatalan, pernyataan tidak berlakunya keputusan
hakim lebih rendah oleh Mahkamah Agung
guna kepentingan peradilan. Hal tersebut dilakukan Mahkamah Agung apabila
putusan itu melanggar bentuk-bantuk yang diwajibkan dengan ancaman batal,
dikarenakan melanggar ketentuan hukum atau melampaui kekuasaan sebuah
peradilan.[13]
Kasasi sendiri adalah satu tindakan dari mahkamah agung selaku pengawas
tertinggi terhadap putusan-putusan pengadilan lainnya.
Menurut Sudarsono, kasasi merupakan pembatalan ataupun
pernyataan tidak sah oleh Mahkamah agung terhadap putusan hakim pada tingkatan
peradilan di bawah dikarenakan putusan tersebut menyalahi atau tidak sesuai
dengan undang-undang.[14]
Permohonan kasasi dimintakan
kepada Mahkamah Agung apabila telah melakukan upaya hukum banding dan hanya
dilakukan 1 (satu) kali terkecuali pada putusan peradilan tingkat pertama yang
oleh undang-undang tidak bisa dimohonkan banding (Pasal 43 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang selanjutnya ditulis
UU No.14 Tahun 1985 jo. pasal 45A Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985.
Dalam putusan yang diberikan oleh pengadilan yang selain
daripada Mahkamah Agung yang apabila salah satu pihak tidak setuju terhadap
putusan tersebut dikarenakan putusan tersebut bertentangan dari hukum ataupun
hukum yang diterapkan tidak sesuai, dapat mengajukan kasasi. Dengan tujuan agar
putusan tersebut dibatalkan ataupun dinyatakan tidak dapat diterima. pada Pasal
11 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan
Mahkamah Agung memiliki kewenangan:
- Mengadili pada tahap kasasi pada putusan yang diberikan di tingkat terakhir oleh pengadilan pada seluruh lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
- Melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU.
- Kewenangan lain yang diberikan UU.
Proses pengajuan kasasi dapat diajukan baik secara
lisan atau secara tertulis melalui panitera pengadilan di tingkat pertama yang
telah memutus suatu perkara dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
putusan diberitahukan kepada pemohon kasasi dengan cara membayarkan biaya
perkara yang telah resmi oleh pengadilan (Pasal 46 ayat (3) dan (4) UU No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas)
hari ternyata pihak yang dikalahkan pada perkara tingkat banding belum
mengajukan permohonan kasasi, maka pihak yang dikalahkan tersebut dianggap
telah menerima putusan pengadilan tingkat banding dan tidak mengadakan upaya
hukum lain. Kemudian terhadap risalah kasasi, harus memuat keberatan-keberatan
ataupun alasan kasasi yang berkaitan dengan pokok perkara sebagaimana tersebut
pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Maret1972 No. 1282 K/Sip/1971). Mengenai
pernyataan keberatan terhadap putusan pengadilan negeri kemudian pengadilan
tinggi yang tidak menyebutkan keberatan-keberatan secara terperinci adalah
tidak diperbolehkan, dikarenakan keberatan- keberatan tersebut tidak secara
sungguh-sungguh diajukan dan dapat dikesampingkan begitu saja sebagaimana
tersebut pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Maret 1972 No. 1322 K/Sip/1971.
Pada tingkat kasasi, majelis hakim tidak memeriksa
mengenai duduk perkara atau fakta namun tentang penerapan hukum, sehingga
mengenai terbukti atau tidak peristiwa tidak akan diperiksa oleh majelis hakim
kasasi. Standar mengenai hasil pembuktian tidak bisa dijadikan pertimbangan
pada pemeriksaan tingkat kasasi karena Mahkamah Agung terikat pada peristiwa
yang telah diputuskan dalam tingkat terakhir pemeriksaan judex facti. Sehingga
pada tingkat kasasi peristiwa hukumnya tidak diperiksa kembali. Dengan
demikian, kasasi tidak dapat dikategorikan sebagai peradilan tingkat tiga
(judex facti), namun sebagai peradilan tingkat kasasi. Pemeriksaan kasasi
mencakupi seluruh putusan hakim tentang penerapan hukum, baik pada bagian
putusan yang merugikan dan juga menguntungkan pemohon kasasi.
Mengenai proses kasasi
terhadap sengketa ekonomi syariah sendiri sama halnya dengan sengketa ekonomi
syariah pada tahapan banding pada Pengadilan Tinggi Agama, perkara tetap
diadili oleh Mahkamah Agung dengan produk yang dikeluarkan tetap putusan
mahkamah agung dan juga hukum acara yang digunakan juga sama dengan pemeriksaan
perkara ekonomi syariah pada tingkat banding yaitu dengan menggunakan hukum
acara perdata seperti contoh kasus pada putusan mahkamah agung nomor Nomor 528
K/Ag/2015 tertanggal 26 Juni 2015 antara PT. TRUST FINANCE INDONESIA, Tbk. Unit
Syariah melawan Hj. EUIS KOMARIAH dimana sengketa ini adalah mengenai Perbuatan
Melawan Hukum yang dilakukan oleh PT. Trust Finance Indonesia, Tbk. Unit
Syariah yang mana dalam putusan kasasi tersebut ditolah oleh Majelis Hakim,
perkara perbuatan melawan hukum tersebut secara umum biasanya diadili pada
Peradilan Umum bukanlah Peradilan Agama, namun dikarenakan kekhususan
kewenangan mengadili Pengadilan Agama terhadap perkara ekonomi syariah dengan
dibuktikan pada contoh kasus diatas dimana ditolaknya gugatan Hj. Euis Komariah
pada kasasi adalah karena pokok perkara yang tidak terpenuhi unsur perbuatan
melawan hukun, namun mengenai permasalahan kewenangan mengadili sama sekali
tidak menjadi permasalahan bagi pengadilan Agama dalam memutus perkara ini.
Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan
Mengadili.
Sengketa tentang kewenangan mengadili diatur dalam pasal
33 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2004. Bentuk sengketa kewenangan mengadili menurut
pasal 33 ayat (1) adalah:
1. Sengketa kewenangan absolut:
a. Sengketa mengadili antara satu lingkungan peradilan
dengan lingkungan peradaban lain, seperti seperti sengketa mengadili antara
lingkungan peradilan umum dengan peradilan umum atau peradilan militer;
b. Sengketa kewenangan mengadili pengadilan tingkat banding
antara lingkungan yang berbeda
2. Sengketa kewenangan absolut
a. Sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat
pertama yang terdapat dalam satu lingkungan peradilan yang sama (antara
Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dengan
Pengadilan Agama);
b. Sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan tingkat
banding yang terdapat dalam lingkungan peradilan yang sama
Pedoman
dalam menentukan ciri atau patokan sengketa kewenangan mengadili dapat dirujuk
pada Putusan Mahkamah Agung No. 04/SKM/Perd/1984[15],
antara lain:
1. Apabila dalam waktu yang bersamaan beberapa pengadilan
menerima gugatan yang pokok perkaranya, para pihaknya, obyek dan peristiwa
hukumnya sama;
2. Masing-masing Pengadilan Negeri atau pengadilan yang
menerima gugatan berpendapat, berwenang mengadili perkara tersebut, maka disitu
timbullah sengketa kewenangan mengadili:
3. Jika yang menerima gugatan tersebut terdiri dari
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama atau Pengadilan Tata Usaha Negara, maka itu
adalah sengketa mengadili secara absolut. Sedangkan jika yang menerima gugatan
terdiri dari beberapa Pengadilan Negeri dalam satu lingkungan peradilan, maka
itu adalah sengketa kewenangan mengadili secara relatif.
4. Jika perkara-perkara yang diajukan kepada beberapa
pengadilan memiliki dasar gugatan berbeda meskipun pihak yang berperkara dan
obyek yang disengketakan sama maka disini tidak terkendung sengketa kewenangan
mengadili.
Lembaga yang berwenang untuk memutus sengketa kewenangan
mengadili yang terjadi di lingkungan peradilan adalah Mahkamah Agung karena
Mahkamah Agung berkedudukan dan berfungsi sebagai:
1. Peradilan tingkat pertama dan terakhir
2. Putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agug bersifat final
dan mengikat baiak kepada para pihak yang berperkara maupun kepada badan
peradilan yang bersangkutan
3. Memberikan penegasan tentang ada atau tidaknya sengketa
kewenangan mengadili.
Phka yang berhak untuk mengajukan
sengketa kewenangan mengadili adalah pihak yang berperkara, baik secara pribadi
maupun melalui kuasa atau pengadilan yang terlibat. Untuk pihak yang
berperkara, prosedur yang harus ditempuh adalah:
1. Mengajukan permohonan
Berisi dan menjelaskan fakta tentang adanya beberapa
perkara, obyek, dasar gugatan dan peristiwa hukum yang sama telah diajukan
beberapa pengadilan dan masing-masing pengadilan berpendapat bahwa mereka
berwenang mengadili.
2. Permohonan diajukan langsung ke Mahkamah Agung
Hal ini dapat diajukan secara langsung ke Mahkamah Agung
atau melalui salah satu pengadilan yang terlibat.
Sedangkan untuk sengketa kewenangan yang diajukan oleh
pengadilan yang terlibat, secara moral salah satu pengadilan yang terlibat
tersebut harus bersifat proaktif dalam mengajukan masalah tersebut ke Mahkamah
Agung. Samabil menunggu putusan dari Mahkamah Agung, maka proses pemeriksaan
perrkara harus dihentikan oleh masing-masing pengadilan yang terlibat untuk
menghindari penjatuhan putusan yang saling bertentangan. Hal ini sesuai dengan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 1996 antara lain menegaskan
apabila pihak yang berperkara atau ketua pengadilan sesuai dengan jabatannya
mengajukan sengketa kewenangan mengadili kepada Mahkamah Agung, maka:
- Pengadilan harus menunda pemeriksaan perkara tersebut;
- Penundaan tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan;
- Mengirimkan salinan penetapan penundaan kepada pengadilan
yang mengadili perkara yang sama;
- Pengadilan yang menerima salinan penetapan harus menunda
pemeriksaan sampai ada putusan dari Mahkamah Agung tentang hal tersebut.
Sebagai salah satu ilustrasi dapat dikemukakan salah satu
contoh sengketa mengadili sengketa ekonomi syariah. Menurut Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (Pasal 49), kewenangan dalam
memeriksa sengketa di bidang ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama. Ditambah oleh Pasal 50 (2) UU ini, yang
subyek hukumnya orang-orang yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan
Agama. Kompetensi tersebut kemudian dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Bank Syari’ah (Pasal 55 (1) dan kemudian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-X/2012 tertanggal 29 Agustus 2013. Kewenangan Pengadilan Agama
yang diperluas tersebut, adalah tantangan bagi aparatur Peradilan Agama
khususnya hakim. Hakim diwajibkan mengerti seluruh perkara yang ditanganinya.
Berdasarkan asas ius curia novit,
hakim dianggap tahu akan hukum,oleh karena itu hakim tidak boleh menolak
perkara dengan alasan tidak jelas atau tidak adanya hukum.
Kemudian hakim harus
selalu memahami dan memperbanyak referensi hukumnya dikarenakan adanya asas yang berlaku yaitu apa yang telah diputus oleh hakim wajib
dianggap benar (res judikati pro veriate
habetur). Berkaitan dengan hal tersebut, hakim
pada Pengadilan Agama diwajibkan agar memahami aspek hukum dari ekonomi
syari’ah. Dengan dikeluarkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
mengenai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah adalah pedoman hakim dalam
menyelesaikan perkara hukum ekonomi syari’ah. Peraturan tersebut berisikan materi secara lengkap
tentang Ekonomi Syari’ah dengan bagian 4 (empat) buku.
Buku pertama mengenai
Subyek Hukum dan Amwal, Buku II
Tentang Akad dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sedangkan Buku III
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah berisikan 4 (empat) Bab yang menjelaskan
mengenai Zakat dan Hibah dan kemudian yang terakhir yaitu Buku IV Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah menjelaskan mengenai Akuntansi Syari’ah. Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah tersebut adalah kumpulan aturan lengkap hukum ekonomi syari’ah
yang menjadi kewenangan dari Pengadilan Agama. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
tergambar sebagian besar hukum fikih
muamalah yang ada pada kitab-kitab para ulama. Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah tersebut adalah bekal hakim pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara ekonomi syari’ah.
Dualisme pemahaman
mengenai kewenangan mengadili ekonomi syariah antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Umum sejatinya telah terjawab
melalui aturan-aturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung ataupun dalam peraturan
perundang-undangan. Seperti contohnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5
Tahun 2016 Tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syari’ah. Dalam ketentuan pada Pasal
1 ayat 1 Perma Nomor 5 Tahun 2016 tersebut dijelaskan mengenai sertifikasi Hakim Ekonomi Syari’ah yaitu sertifikasi hakim
yang lulus administrasi, kemampuan, integritas dan dilanjutkan dengan pelatihan
menjadi hakim ekonomi syari’ah. Kemudian pada pasal 2 dijelaskan Hakim Ekonomi
syari’ah adalah hakim pada peradilan agama yang
bersertifikasi dan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Dalam Pasal 2 tersebut juga dijelaskan bahwa perkara ekonomi syari’ah
merupakan kewenangan dari hakim ekonomi syari’ah yang bersertifikat yang
dikeluarkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pasal 3 kemudian
berbunyi sertifikasi hakim ekonomi syari’ah memiliki tujuan agar meningkatkan
efektifitas penanganan perkara ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah dan merupakan bagian dari upaya penegakan hukum ekonomi syari’ah guna
memenuhi rasa keadilan. Berdasarkan pasal 20 Perma Nomor 5 Tahun 2016, susunan
majelis hakim yang menangani perkara ekonomi syari’ah adalah berdasarkan
Perkara ekonomi syari’ah pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat
banding di lingkungan peradilan agama/mahkamah syar’iyah diadili oleh majelis
hakim yang ketua majelis dan/atau salah seorang anggotanya adalah hakim ekonomi
syari’ah.
Mengenai pengembangan
kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah berdampak pada konvergensi kewenangan yang dimiliki
pada Peradilan Umum. Sebelum berlakunya Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama tersebut, perkara ekonomi syariah masuk kedalam kategori perkara perdata
yang penanganan perkaranya merupakan wewenang Peradilan Umum. Praktiknya
sendiri, sering terjadi ketidakjelasan atau ketidakpastian dalam penentuan
kewenangan yang jelas dan terang mengenai kompetensi absolut, yang mana hingga
saat ini adalah antara Peradilan Umum dengan Peradilan Agama mengenai hal
perdata. Klasifikasi kewenangan peradilan Agama tentang penentuan jenis
sengketa adalah sengketa ekonomi syariah dengan melihat akad/perjanjian yang
disepakati para pihak. Apabila kesepakatan para pihak tersebut termasuk pada
jenis akad/perjanjian dengan menggunakan prinsip syariah, maka sengketa tersebut
masuk kategori sengketa ekonomi syariah.[16]
Permasalahan yang
acapkali terlihat adalah pada saat sengketa tersebut termasuk bentuk sengketa
mengenai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum lahir berdasarkan
undang-undang dikarenakan akibat perbuatan manusia yang secara melawan hukum
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.[17]
Hal tersebut menimbulkan permasalahan mengenai apakah sengketa tersebut adalah
sengketa yang dapat diadili pada Peradilan Agama, ataukah hanyalah sengketa
yang timbul yang disebabkan disepakatinya penandatanganan akad. Kemudian
mengenai perbuatan melawan hukum yang merupakan perikatan yang timbul dari
undang-undang dan bukanlah perikatan yang lahir dari akad/perjanjian, juga
termasuk kewenangan Peradilan Agama dan termasuk sengketa ekonomi syariah.
Permasalahan yang muncul adalah mengenai
ketidakjelasan perbuatan melawan hukum yang muncul dari ekonomi syariah adalah
bagian sengketa ekonomi syariah yang merupakan kompetensi Peradilan Agama
ataupun termasuk sengketa keperdataan biasa yang menjadi kompetansi dari
Peradilan Umum. Prinsipnya suatu gugatan wajib didaftarkan kepada pengadilan
pada lingkup peradilan yang memiliki kompetensi untuk mengenai hal tersebut.
Apabila suatu gugatan yang di daftarkan bukanlah kewenangan mengadili suatu
pengadilan tersebut yang berpotensi akan menyebabkan gugatan menjadi cacat. Apabila hal tersebut terjadi,
pengadilan yang menerima perkara tersebut akan mengambil kesimpulan “tidak
berwenang mengadili” tanpa terlebih dahulu memeriksa substansi perkara. Hal ini
dapat menimbulkan terjadi suatu perkara perbuatan melawan hukum yang
penggugatnya secara substansi gugatan bisa dinyatakan menang, namun apabila
salah mengenai penentuan kompetensi pengadilan yang memiliki kewenangan, maka
secara formil, gugatan tidak dapat diadili oleh pengadilan tersebut, sehingga
konsekuensinya penggugat wajib mengganti pendaftaran gugatannya kepada
kompetensi peradilan yang berbeda.
Kewenangan Pengadilan Agama mengenai perkara
ekonomi syariah khususnya gugatan perbuatan melawan hukum, praktiknya telah
dilakukan sepenuhnya pada Pengadilan Agama dikarenakan regulasi hukum yang
telah ada telah memberikan adanya kepastian hukum mengenai kompetensi
kewenangan mengadili dari Pengadilan Agama, seperti dicontohkan dalam putusan Nomor:
0411/Pdt.G/2013/PA.Clg antara Imal Fathullah, SH.,melawan PT. Bank Tabungan
Negara (Persero) Tbk., Kantor Cabang Syariah Cilegon, mengenai adanya perbuatan
melawan hukum yang dilakukan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., Kantor
Cabang Syariah Cilegon terhadap produk ekonomi syariah yang dilakukan antara
para pihak, terhadap perkara tersebut hakim dalam pertimbangannya menguji
mengenai ada tidaknya perbuatan melawan hukum sehingga mengenai syarat formil gugatan
mengenai kompetensi Pengadilan Agama sudah jelas yaitu merupakan kewenangan
dari Pengadilan Agama.
Upaya Hukum Luar Biasa:
Peninjauan Kembali
Tugas pokok yang dimiliki oleh pengadilan umum pada
pengadilan pertama adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan pihak yang bersengketa. Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan yang serupa, namun jauh lebih besar sebagaimana berdasarkan Pasal
18 ayat (2) Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 serta
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
Mahkamah Agung diberikan tugas berdasarkan Undang-undang untuk mengadili
pada tingkat kasasi dan mengadili perkara pada tahapan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Hal ini sejalan
dengan pendapat Sudikno
Mertokusumo, bahwa
“peninjauan kembali merupakan upaya
hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi
terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan”.[18]
Tambahan kemudian menurut ahli hukum lainnya yaitu Soedirjo, peninjauan kembali
adalah suatu upaya hukum yang digunakan guna mendapatkan penarikan kembali atau
perubahan terhadap putusan hakim yang secara upaya hukum biasa tidak dapat
digugat lagi dan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,
para pencari keadilan dimungkinkan mengajukan peninjauan kembali terhadap
putusan tersebut.[19]
Berdasarkan sejarahnya, terdapat konsep yang mirip
dengan upaya hukum peninjauan kembali saat masa kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda di Indonesia (1848-1940) di mana konsep tersebut adalah memeriksa kembali suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang pada saat tersebut
dikenal dengan istilah herziening van arresten en vonnissen.[20]
Adapun lembaga herziening berfungsi untuk melaksanakan proses pemeriksaan yang diatur
dalam Reglement op de Strafverordering, title 18, yang terdapat pada
pasal 365 hingga pasal 360, hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam Wetboek van Strafvordering title 18 pasal 457 hingga
pasal 481.[21]
Lembaga herziening sendiri diartikan sebagai upaya hukum yang mengatur
mengenai cara dalam mengajukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan
berkekuatan hukum yang tetap.[22]
Sedangkan menurut J.C.T. Simorangkir, herziening adalah peninjauan
kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.[23]
Konsep tersebut kemudian terdapat dalam acara perdata yang dikenal kemudian
sebagai request civiel. Pengaturan mengenai pelaksanaan semula diatur
dalam pasal 385 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvordering (RV) yang
mengatur hukum acara yang disebut request civiel atau rekest civiel yang merupakan sama dengan peninjauan
kembali. ini adalah permohonan mengulangi pemeriksaan perkara dengan
menggunakan alasan luar biasa. Adapun saat itu, alasan agar dapat melakukan
upaya hukum request civiel adalah :
- Putusan didasarkan kepada penipuan atau tipu muslihat dari pihak lawan;
- Apabila diputus mengenai hal yang tidak dituntut;
- Apabila diputus melebihi yang dituntut;
- Apabila terdapat kelalaian memberi putusan tentang sebagian dari tuntutan;
- Apabila terdapat dua putusan yang saling bertentangan;
- Apabila putusan dijatuhkan didasarkan pada surat yang diakui kemudian palsu;
- Apabila ditemukan novum berupa surat-surat yang bersifat menentukan;
Mengenai
pengertian tentang Reglement op de Strafverordering dan Reglement op de Burgerlijk
Rechtsvordering adalah peraturang perundang-undang yang hanya diberlakukan
terhadap golongan Eropa dan Timur Asing yang saat itu menetap di Jawa dan
Madura. Namun terhadap pribumi hukum yang berlaku adalah Het Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg.)
yang tidak terdapat aturan mengenai herziening atau request civiel sehingga
pada dasarnya tidak terdapat sebuah payung hukum bagi kalangan pribumi bangsa
Indonesia dalam melakukan herziening atau request civiel pada
saat itu. Adanya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969
tanggal 19 Juli 1969, diperbolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap bagi masyarakat umum.
Namun dengan adanya SEMA tersebut, mengakibatkan tertunda berlakunya Peraturan
Mahkamah Agung dengan alasan masih diperlukan peraturan lanjutan mengenai biaya
perkara yang memerlukan izin dari Menteri Keuangan.
Mengenai upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, umumnya dilakukan terhadap putusan-putusan yang
telah berkekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat diubah kembali dengan tidak
tersedia upaya hukum biasa lainnya. Upaya hukum Peninjauan Kembali
diperbolehkan terhadap hal-hal tertentu yang disebutkan pada Undang-undang.
Peninjauan Kembali secara prinsi tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Dasar
hukumnya sendiri diatur dalam Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung bukan hanya memiliki kewenangan memeriksa serta memutus
permohonan kasasi saja, namun juga memiliki kewenangan memeriksa serta memutus
permohonan peninjauan kembali.
Pengertian mengenai peninjauan kembali atau request civil adalah sebuah upaya hukum
yang dilakukan oleh pihak yang merasa dikalahkan dalam suatu perkara dengan
keputusan dari pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.[24]
Dalam putusan yang dijatuhkan pada tingkatan kasasi dan putusan yang diputus
diluar hadirnya tergugat (verstek),
dan terhadap perkara yang tidak memiliki upaya hukum dalam mengajukan
perlawanan, dapat dimohonkan dilakukan peninjauan kembali terhadap permohonan
pihak yang menjadi salah satu pihak pada perkara yang telah diputus sebagaimana tersebut pada Pasal 385 RV).
Untuk itu request civil yang diatur dalam Pasal 385-401 Reglement of de
Rechtsvordering (RV) yang mana hal tersebut adalah peninjauan kembali suatu putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali
dimungkinkan dicabut selama belum adanya putusan hakim Peninjauan Kembali,
namun apabila sudah dicabut maka permohonan tersebut tidak dapat diajukan
kembali sebagaimana ketentuan dalam Pasal 66 ayat 1 hingga 3 UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung juga menyebutkan:
Peninjauan
kembali putusan perkara perdata yang telah berkekuatan hukum tetap dapat
diajukan hanya didasarkan pada alasan sebagai berikut:
1) Jika putusan berdasarkan pada suatu kebohongan atau
tipu muslihat dari pihak yang diketahui sesudah perkara diputuskan atau
berdasarkan pada bukti-bukti yang oleh hakim dinyatakan palsu.
2) Jika setelah perkara diputus, terdapat bukti surat
yang menentukan yang pada saat perkara diperiksa belum ditemukan dan digunakan
pada saat tersebut.
3) Jika putusan yang dikabulkan adalah petitum yang tidak
dituntut ataupun lebih daripada yang dituntut.
4) Jika mengenai sesuatu bagian dari petitum belumlah
diputuskan tanpa adanya pertimbangan mengenai sebabnya.
5) Jika antara pihak-pihak yang sama mengenai objek sama
atau terhadap dasar yang sama dan pengadilan yang sama baik tingkat
pengadilannya yang telah diputuskan hal bertentangan satu dengan yang lain.
6) Jika terhadap suatu putusan adanya suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Permohonan peninjauan kembali berdasarkan
alasan diatas, dapat diajukan oleh pihak yang terkait ataupun ahli waris dan
juga dapat diajukan oleh kuasa hukum dengan kuasa khusus untuk hal tersebut
secara tertulis dan menyebutkan alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan
sebagai dasar permohonan peninjauan kembali dengan jangka waktu maksimal
180 (seratus delapan puluh) hari. Pengajuan peninjauan kembali tersebut dapat
juga diajukan secara lisan maupun tulisan. apabila pemohon tidak bisa menulis,
kemudian pemohon tersebut menjelaskan permohonan secara lisan didepan ketua
pengadilan yang berhak memutus perkara pada tingkat pertama ataupun hakim yang
diberi kewenangan oleh ketua pengadilan dengan membuat catatan tentang
permohonan peninjauan kembali sebagaimana ketentuan ini diatur pada Pasal 68 UU
No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No.
5 Tahun 2004 yang diubah kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009.
Dalam
syarat Peninjauan Kembali (PK) pada perkara perdata, salah satu syarat materiil
adalah adanya bukti baru ataupun keadaan yang baru atau dikenal Novum. Alasan
materiil tersebut sama pengertiannya dengan sebuah “keadaan baru”. Ditemukannya
novum atau istilahnya “surat-surat bukti yang bersifat menentukan” dalam
perkara perdata diatur dalam Pasal 67 huruf b UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung yang diubah pertama kali dengan UU No. 5 Tahun 2004 yang diubah
kedua kalinya dengan UU No. 3 Tahun 2009. Novum dalam perkara perdata secara
tegas disebut sebagai sebuah alat bukti surat dimana novum tersebut melekat
pada alat bukti surat. Intinya adalah
substansi novum tersebut haruslah keadaan baru yang pada perkara selebum
peninjauan kembali belum terungkap pada persidangan. Novum adalah sebuah fakta
hukum dan sebuah fakta harus terdapat dalam suatu alat bukti.
Sebuah
fakta hukum dapat disebut dengan novum bila sesuai dengan syarat- syarat:
1) Sebuah bukti surat yang substansinya memuat suatu
fakta yang sudah ada / yang telah terjadi pada saat tingkat pertama sebelum
perkara tingkat awal tersebut diputus oleh pengadilan.
2) Fakta dalam surat tersebut belum pernah digunakan dan
diperiksa pada persidangan tingkat awal tersebut diputus oleh pengadilan.
3) Apabila fakta tersebut digunakan dan diperiksa pada
pengadilan sebelum Peninjauan Kembali, maka putusan pengadilan tersebut
kemungkinan berbeda dengan putusan pengadilan yang telah diputuskan sebelumnya.
Catatan
Akhir
Uraian tentang upaya hukum ini selain merujuk kepada
ketentuan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, tetapi sebagian besar masih
merujuk kepada ketentuan hukum warisan kolonial, seperti HIR dan RBg. Sama
halnya dengan yang masih berlaku untuk Pengadilan Militer. Meminimalisir upaya
hukum ini tentu dengan memperkuat posisi pengadilan tingkat bawah, khususnya
pengadilan pertama. Jika beracara perdata mengacu kepada kebenaran formil, maka
sudah waktunya kebenaran materil harus menjadi pertimbangan.
Sebagai contoh dalam pembuktian, bahwa alat bukti yang
diajukan itu harus mampu meyakinkan hakim akan kebenarannya. Jika tidak, maka
hakim akan memutus sebaliknya atau mengembalikan kepada pihak yang memiliki
alat bukti untuk mengajukan alat bukti baru. Filsafat “meyakinkan” hakim ini
cenderung tidak terukur dengan norma-norma tertulis, karena lebih dilihat dari
aspek rasa, yakni rasa keadilan. Demikian juga kasus putusan verstek dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama kurang sesuai dengan hukum materiil
dalam hukum Islam, soalnya tanpa kata talak oleh suami, perkawinan bubar dan
berkekuatan hukum tetap. Juga soal pembatalan perkawinan yang ditemukan dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sementara untuk warganegara non muslim
dikenal pembatalan perceraian yang merujuk kepada UU Kewarganeraan.
Kasus yang sering terjadi dan paradoks juga adalah
perkara sengketa adat, di mana sejak masa lalu sebelum hukum acara perdata ini
diberlakukan, semua sengketa adat diselesaikan secara musyawarah mufakat di
Peradilan Adat, tidak ada banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Setelah HIR
dan RBg diberlakukan, semua sengketa adat menjadi sengketa perdata adat dan
hukum acara yang dipakai untuk menyelesaikannya adalah hukum acara warisan
kolonial yang mengenyampingkan musyawarah. Pengaruhnya sampai saat ini sengketa
adat ini banyak yang tidak merasakan keadilan pada tingkat pengadilan pertama,
lalu banding, bahkan banyak nyang mengajukan kasasi.
Tentunya kajian putusan ini bukan sekedar cara pandang
norma dan kepastian hukum. Tetapi lebih mengarah kepada keadilan. Kuncinya ada
pada konsideran putusan, yakni “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini bermakna bahwa putusan
itu harus berdasarkan kepada Keadilan Tuhan. Makanya hakim dijuluki sebagai
mewakili Tuhan dalam tugasnya yang akan menjatuhkan putusan terakhir terhadap
perkara yang disidangkannya. Tegar dalam pendirian, tidak didasari oleh
kebencian sehingga yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Alam
HR Muslim Rasulullah bersabda: Hakim itu satu di surga dan dua di neraka. Yang
satu itu adalah tahu tentang kebenaran dan memutuskan beradasarkan kebenaran
tersebut. Yang dua itu, satu di antaranya tahu tentang kebenaran tetapi
memutuskan sebaliknya, sedangkan yang satu lagi tidak tahu tentang kebenaran
dan memutus berdasarkan kebodohannya itu. Kiranya pertemuan ini menjadi titik
awal agar terciptanya Hukum Acara Perdata yang sesuai dengan budaya bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sugeng
dan Sujayadi, 2009, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi
Perkara Perdata, Surabaya, Kencana.
Lawrence
M. Friedman, 1975, The Legal Sistem; A Social Science Prespective, New
York, Russel Sage Foundation.
Sudikno
Mertakusuno, 1988, Hukum Acara Perdata di
Indonesia, Yogyakarta,
Liberty
Riduan
Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Wahyu Affandi, 1981, Berbagai
Masalah Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni.
R. Soeroso, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses
Persidangan, Jakarta, Sinar Grafika.
Soedirjo, 1986, Peninjuan
Kembali Dalam Perkara Pidana Arti dan Makna, Jakarta, Akademika Pressindo.
Hendrastanto Yudowidagdo, 1987, Kapita Selekta Hukum Acara
Pidana Di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara.
Hadari Djenawi
Tahir, 1982, Bab
Tentang Herziening Di Dalam KUHAP, Bandung, Alumni.
J.T.C.
Simorangkir, 1983, Kamus Hukum,
Jakarta, Aksara Baru.
Sophar Maru
Hutagalung, 2010, “Praktik Peradilan Perdata, Teknis menangani
perkara di pengadilan”, Jakarta, Sinar Grafika.
Riduan
Syahrani, 1994, “Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum”, Jakarta, Sinar Grafika.
H.
Zainuddin Mappong, 2010, Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan
Dan Cara Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam Perkara Perdata),
Malang, Tunggal Mandiri Publishing
M. Yahya
Harahap, 2004, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Sinar
Grafika.
Mardani, 2011, Hukum Ekonomi
Syariah di Indonesia, Bandung, Refika Aditama.
Gunawan
Widjaja dan Kartini Muljadi, 2005, Perikatan yang Lahir
dari Undang-Undang, Jakarta, Raja Grafindo.
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik,
Jakarta, Sinar Grafika.
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Undang-undang No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
[1] Bambang
Sugeng dan Sujayadi, Hukum acara perdata
& Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Surabaya: Kencana. 2009), Hlm. 1
[2] Ibid, Hlm. 3
[3] Lawrence M. Friedman, The Legal Sistem; A Social
Science Prespective, (New York : Russel Sage Foundation, 1975), Hlm.
12–16.
[4] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), Hlm. 5.
[5] Riduan
Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara
Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), Hlm. 25.
[6] Ibid. Hlm. 12.
[7] Ibid, Hlm. 234.
[8] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek.
Bandung:Mandar Maju,hal. 1
[10] Sophar
Maru Hutagalung, “Praktik Peradilan
Perdata, Teknis menangani perkara dipengadilan”, (Jakarta : Sinar Grafika,
cetakan pertama, 2010), Hlm. 99.
[11] Riduan
Syahrani, “Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Umum”, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hlm. 94.
[12] H.
Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta
Merta (Proses Gugatan Dan Cara Membuat Putusan Serta Pelaksanaan Eksekusi Dalam
Perkara Perdata), (Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010), Hlm. 43.
[13] M. Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hlm. 21.
[15] Tanggal 16-09-1986, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang
Penting, MA RI, Jakarta, 1992,hlm.15 dalam M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 210.
[16] Mardani, Hukum
Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011),
Hlm.110-111.
[17] Gunawan
Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, (Jakarta:
Raja Grafindo, 2005), Hlm. 81.
[18] R.
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Cet.
1, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), Hlm. 92.
[19] Soedirjo,
Peninjuan Kembali Dalam Perkara Pidana Arti dan Makna, (Jakarta :
Akademika Pressindo, 1986), Hlm. 11.
[20]
Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana Di Indonesia,
(Jakarta : Bina Aksara, 1987), Hlm. 234.
[21] Soedirjo,
op.cit., Hlm. 14.
[22] Hadari
Djenawi Tahir, Bab Tentang Herziening Di Dalam KUHAP, (Bandung: Alumni,
1982), Hlm. 8.
[23] J.C.T.
Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), Hlm.
76.
[24] Sarwono, Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hlm. 53.
Komentar
Posting Komentar