NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BUILD OPERATE AND TRANSFER (BOT)[
NOTARIS DALAM PEMBUATAN
Notaris
dalam jabatannya sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris menyebutkan, bahwa Notaris adalah Pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
yang dimaksud dalam UU Jabatan Notaris tersebut. Jelas menyebutkan bahwa Notaris
adalah selaku pejabat umum, yang
berwenang membuat akta otentik disamping kewenangan lainnya. Sebab itu Notaris
ditempatkan sebagai seseorang pejabat dalam pembuatan akta otentik, karena
akta-akta yang dibuat tersebut menurut cara dan ketentuannya. Oleh karena itu,
setiap pembuatan akta harus mengikuti tata cara dan aturan yang berlaku.
Saat
ini, setiap pembuatan akta yang dibuat oleh seorang Notaris tidak dapat
terpisahkan pada pemikiran bahwa akta-akta tersebut merupakan bagian dari
golongan yang terdiri dari hukum keluarga dan
hukum perjanjian. Ada beberapa ketentuan sebagaimana tersebut :
a. Akta berhubungan dengan hukum keluarga
terdiri :
-
Akta
yang berhubungan dengan perkawinan.
-
Akta
yang berhubungan dengan perjanjian kawin.
-
Akta
yang sehubungan dengan anak.
-
Akta
yang sehubungan dengan warisan.
b.
Akta
berhubungan dengan perjanjian terdiri :
-
Akta
yang sehubungan dengan badan usaha.
-
Akta
sehubungan dengan sewa-menyewa.
-
Akta
sehubungan dengan pinjam-pakai.
-
Akta
sehubungan dengan hutang-piutang
-
Akta
sehubungan dengan peralihan hak.
-
Akta
sehubungan dengan perdamaian, bunga dan
penitipan.
-
Akta
sehubungan dengan para pihak dalam praktek.
-
Akta-akta
yang tidak bernama lainnya yang bukan bersumber dari undang-undang.
Karena
itu, tema diskusi kita saat ini membicarakan peran Notaris dalam pembuatan akta
perjanjian Build Operate and Transfer (BOT) atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Indonesia sebagai akta perjanjian Bangun Guna Serah.
B.O.T sendiri merupakan suatu perjanjian, sehingga memiliki kaitan dengan
Buku III BW tentang Perikatan (van verbintenissen) baik dari ketentuan Pasal 1233 s.d 1868 BW.
Namun jika merujuk dari beberapa ketentuan yang ada, pada Buku III sendiri
tidak memberikan secara jelas apa yang dimaksud dengan perikatan. Namun
ketentuan tersebut justru diawala dari ketentuan Pasal 1233 BW mengenai sumber
perikatan berupa kontrak atau perjanjian dan undang-undang. Dengan demikian,
kontrak atau perjanjian merupakan salah
satu dari dua unsur hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan
perikatan. Namun apabila diperhatikan pada praktiknya di masyarakat, perikatan
yang bersumber dari kontrak atau perjanjian begitu mendominasi jika
dibandingkan kontrak yang bersumber dari undang-undang.
Definisi
“perikatan” menurut doktrin (para ahli) adalah hubungan hukum dalam bidang
harta kekayaan di antara dua orang (atau lebih), dimana pihak yang satu
(debitor) wajib melakukan suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain (kreditor)
berhak atas prestasi.[2]
Memang tidak dapat dipungkiri masih saja kita membedakan antara istilah kontrak
dengan perjanjian. Agus Yudha Hernoko menyamakan pengertian kontak atau
perjanjian. Hal ini disebabkan antara kontrak atau persetujuan (overreenkomst)
mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract). Selain dalam
praktek kedua istilah tersebut juga dipergunakan dalam kontrak komersial misal pada perjanjian waralaba, perjanjian sewa guna
usaha, kontrak kerja sama, perjanjian kerja sama, kontrak kerja komersial. Oleh
karena itu, penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dapat dipergunakan
bersama-sama. Hal ini bukan menunjukan adanya inkonsistensi penggunaan istilah,
namun semata-mata untuk memudahkan pemahaman terhadap rangkaian kalimat yang
disusun pada perjanjian yang ada.
Pasal 1313 BW
memberikan rumusan tentang “kontrak” atau perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang dan lain
atau lebih. Dari beberapa ketentuan tersebut dapat ditarik beberapa pengertian
perjanjian dari beberapa tokoh.
Subekti
memberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa tertentu dimana seorang
berjanji pada lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
suatu hal. Setiawan mendefinisikan perjanjian adalah perbuatan hukum dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dari beberapa definsi tersebut
terdapat 4 unsur pada perikatan, yaitu :
a.
Hubungan
hukum artinya perikatan yang dimaksud adalah bentuk hubungan hukum yang
menimbulkan akibat hukum.
b.
Bersifat pada
harta kekayaan artinya sesuai dengan tempat pengaturan perikatan di buku III BW
yang termasuk di dalam sistem Hukum Harta Kekayaan, maka hubungan yang terjalin antar para pihak
tersebut berorientasi pada harta kekayaan.
c.
Para pihak,
artinya dalam hubungan hukum tersebut melibatkan pihak-pihak sebagai subjek
hukum
d.
Prestasi,
artinya hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban-kewajiban (prestasi)
kepada para pihak (prestasi-kontra prestasi), yang pada kondisi tertentu dapat dipaksakan
pemenuhannya, bahkan apabila diperlukan menggunakan alat negara.[3]
A. Skema
Kerjasama Pemerintah Swasta
Kembali pada ketentuan Perjanjian B.O.T atau dengan istilah lain Perjanjian
Bangun Guna Serah (BGS) merupakan bagian skema Kerja sama Pemerintah Swasta
(KPS). Pada dasarnya pemanfaatan dana sektor swata melalui skema KPS dalam
rangka pembangunan infrastruktur tidak
hanya dilatarbelakangi faktor terbatasnya pendanaan saja, melainkan juga faktor
terbatasnya sumber daya manusia dan terbatasnya tekonologi yang dimiliki
pemerintah, dengan pertimbangan bahwa konsep KPS dapat memberikan peluang bagi
pemerintah untuk memanfaatkan kemampuan manajemen, keahlian dan modal besar
yang dimiliki pihak swasta dalam rangka meningkatkan pembangunan infrastruktur.
Keterlibatan sektor swasta dalam rangka penyediaan
insfrastruktur dalam skema KPS dibingkai dalam suatu hubungan kontraktual atau
kesepakatan kontraktual yang berjangka panjang, yakni hubungan kerja sama yang
dilakukan pemerintah dengan sektor
swasta untuk memelihara, membangun, mengoperasikan sarana dan prasarana dalam
rangka memberikan pelayanan publik (public service) kepada masyarakat,
dimana dalam kontrak kerjasama tersebut masing-masing pihak memberikan keterampilan
dan aset dalam memenuhi kebutuhan fasilitas umum. Keterlibatan pemerintah pada
transkasi komersial dengan sektor swasta tersebut merupakan suatu bentuk
tindakan pemerintah yang wajar dilakukan sebagai subyek hukum yang mewakili dua
institusi sekaligus, yakni jabatan pemerintah dan badan hukum pemerintahan.
Dalam hal ini, pemerintah melakukan perbuatan hukum keperdataan sepertinya
halnya natuurlijke person dan rechtspersoon, karena pemerintah
juga memiliki kedudukan sebagai badan hukum publik (publiekrecht).[4]
Konsep KPS sendiri mulai dipromosikan di Indonesia
sebagai alternatif pembiayaan bagi pemerintah sejak terjadinya krisis moneter
yang mengakibatkan larinya modal ke luar negeri (capital flight) pada
tahun 1998, dan kemudian mendasari terbitnya Keputusan Presiden Nomor 7 tahun
1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan
dan/atau Pengelolaan Infrastruktur.Ketentuan Kepres Nomor 7 tahun 1998 tersebut
istilah yuridis digunakan untuk menunjuk konsep KPS adalah Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha atau yang disingkat KPBU.
Jika kita telisik pada ketentuannya kontrak
KPS atau dikenal juga sebagai kontrak
non pengadaan (non procurement contract) telah diatur peraturan
perundang-undangan sektoral yang sporadik, yang mana secara garis besarnya
kontrak KPS dapat dibagi menjadi dua bagian yakini kontrak KPS terkait dengan
pemanfaatan/pengeloaan barang milik negara/daerah dan kontrak KPS yang tidak
terkait dengan pemanfaatan/pengeloaan barang milik negara/daerah.
Namun jika melihat ketentuan Peraturan Presiden
Nomor 38 Tahun 2015 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur, khususnya pada ketentuan Pasal 10 mengatur bahwa
proses pengadaan tanah dalam rangka penyelenggaraan KPS dapat berasal dari dana
APBN/APBD maupun dari dana BUMN/BUMD dan inverstor. Ketentuan tersebut secara
tidak langsung menunjukan bahwa pelaksanaan KPS pada dasarnya dapat
diselenggarakan atas tanah yang sejak awal telah terinventaris sebagai aset
milik negara/daerah maupun atas tanah yang baru diperoleh pemerintah dalam
rangka pelaksanaan KPS itu sendiri melalui proses pengadaan. Selain itu,
pelaksanaan KPS juga dapat diselenggarakan atas tanah yang tidak
terinventarisir sebagai barang milik negara/daerah, melainkan merupakan barang
milik BUMN/BUMND atau pihak investor, dimana terdapat kontrak KPS yang
diselenggarakan dengan aset negara/daerah, secara khusus tunduk pad ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Sedangkan PKS yang diselenggarakan tanpa melibatkan aset milik
negara/daerah, tetap tunduk pada ketentuan Perpres Nomor 38 tahun 2015. Namun
jika dihubungkan dengan ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, menyebutkan hal yang berhubungan
dengan KPS tidak diperuntukan dengan BUMD karena BUMD tidak memiliki kewenangan
untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana yang
diatur pada UU Nomor 2 Tahun 2012.
Namun berdasarkan Perpres Nomor 38 Tahun 2015,
terdapat perbedaan penggunaan istilah “swasta” dalam KPS dan “badan usaha”
dalam kerjasama pemerintah dengan badan usaha yang menimbulkan konsekuensi
hukum yang berbeda. Dimana tidak setiap “pihak swasta” dalam kerjasama dengan pemerintah
dalam penyediaan infrastruktur. Menurut ketentuan Pasal 39 ayat 2 PP Nomor 27
Tahun 2014 dan Pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 38 Tahun 2015, badan usaha yang
dapat melakukan kerja sama dengan Pemerintah dalam penyediaan insfrastruktur
adalah perseroan terbatas, BUMN, BUMD dan/atau Koperasi. Sedangkan, secara
umum, pihak swasta dalam skema KPS dapat juga meliputi yayasan, firma, cv,
lembaga swadaya masyarakat dan bentuk badan usaha lainnya.[5]
B. Konsep
Perjanjian Build, Operate And Transfer
Salah satu bentuk kontrak KPS yaitu Build,
Operate, Transfer (BOT). Perjanjian BOT bagian dari alternatif pembiayaan
pembangunan proyek-proyek insfrastruktur yang dapat menjembatani kesulitan
pembiayaan pembangunan baik karena keterbatasan tanah atau lahan yang strategis
maupun dana dengan mengundang pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan
proyek pemerintah dengan sistem Bagun Guna Serah (Build Operate and
Transfer).[6]
Mengingat BOT itu merupakan skema atau konsep yang
umum sifatnya, maka konsep BOT tidak hanya dapat digunakan untuk proyek
pemerintah saja, melainkan dapat juga digunakan untuk proyek swasta, artiya
pihak yang terlibat antara badan hukum swasta dengan individu, individu dengan
individu atau badan hukum swasta dengan badan hukum swasta, demikian juga badan
usaha swasta dengan badan usaha swasta. Sebab itu dalam pengertiannya secara
sederhana disebutkan bahwa BOT adalah
bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah
dengan investor, dimana investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan selama
masa perjanjian dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang
hak atas tanah setelah masa BOT atau Bangun Guna Seraha (BGS) berakhir. Namun pengertian
tersebut akan menjadi jelas sebagaimana pada ketentuan Pasal 1 ayat 2 dari PP
Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyebutkan bahwa Bangun Guan Serah adalah
pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara
mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitas setelah berakhirnya jangka waktu.
Merujuk
pada definsi sederhana tersebut bahwa perjanjian BOT memiliki unsur sebagai
berikut :[7]
-
Adanya
para pihak, yaitu pihak investor yang menyediakan dana untuk membangun fisik
proyek tersebut, dan pihak pemilik tanah/lahan yaitu pihak masyarakat/pemerintah/swasta
yang memiliki lahan strategis. Demikian juga pihak pemerintah sebagai pemilik
hak eksklusif atau pemegang hak
pengelolaan atau juga pemegang hak ulayat.
-
Adanya
objek yang diperjanjikan dalam perjanjian BOT, yaitu lahan atau berserta
bangunanya.
-
Adanya
pihak investor yang dalam jangka waktu tertentu diberi hak kelola atas bangunan
yang dibangun untuk mengambil manfaat ekonominya dengan pola bagi hasil,
royalti, atau kompensasi dengan harapan modal yang telah diinvestasikan dapat
kembali atau bahkan menguntungkan, dan
-
Setelah waktu kelola tersebut berakhir,
investor mengambil bangunan beserta fasilitas-fasilitas
yang melekat pada bangunan tersebut kepada pemilik lahan atau pemerintah
sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan.
Menelaah
unsur-unsur dari perjanjian BOT di atas, baik dilihat dari kehendak para pihak
untuk melakukan perjanjian BOT, maka segala isi-isi perjanjian BOT, maupun
pelaksanaan perjanjian BOT, harus dilandasi asas keseimbangan pada perjanjian
tersebut, dengan menerapkan asas-asas pada hukum kontrak yang hidup dalam
kesadaran hukum adat Indonesia, seperti penerapan semangat gotong royong,
kekeluargaan, patut, pantas dan harmonisasi pada perjanjian yang ada, maupun
penerapan pada asas-asas hukum kontrak moderen seperti asas konsensual, asas
kebebasan berkontrak, asas pacta sunt
servanda dan juga pada asas keseimbangan bagi para pihak terhadap penerapan
hak dan kewajiban.[8]
Berdasarkan
pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1338 BW ayat
(1), melahirkan perjanjian BOT yang dikenal sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) yaitu
perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang, namun tumbuh
dan berkembang dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. BOT sebagai perjanjain
tidak bernama, yang tidak memiliki
pengaturan secara khusus yang membahas tentang perjanjian BOT itu sendiri.
Namun demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 BW, menyebutkan bahwa semua
perjanjian baik yang mempunyai nama khusus, maupun tidak mempunyai nama khusus,
tunduk pada peraturan-peraturan umum yanga termuat pada bab-bab dalam buku III BW
tentang perikatan, khususnya titel I BW tentang perikatan-perikatan pada
umumnya yang diatur pada Pasal 1233 BW sampai Pasal 1312 BW, kemudian titel II
tentang Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian yang diatur pada Pasal 1313
BW sampai Pasal 1351 BW, titel IV tentang Hapusnya Perikatan yaitu Pasal 1382
BW sanpai Pasal 1456 BW yang semuanya disebut sebagai ketentuan umum perikatan
atau perjanjian, dimana aturan-aturannya dapat dijadikan pedoman bukan hanya
mengatur perjanjian bernama atau khusus sebagaimana diatur pada titel V sampai
titel XVII.[9]
Oleh
karena itu, untuk memberikan kepastian hukum dalam mengatur hubungan hukum para
pihak baik pemilik hak atas tanah maupun pihak investor pada perjanjian BOT
harus menempatkan nilai-nilai keseimbangan pada perjanjian BOT berdasarkan
sistematisasi perjanjian BOT/ Bangun Guna Serah berupa :[10]
-
Istilah
perjanjian BOT ;
-
Asas-asas
perjanjian BOT ;
-
Para
pihak dalam perjanjian BOT ;
-
Lingkup
pekerjaan;
-
Pelaksanaan
Pembangunan
-
Pengoperasian
bangunan
-
Jangka
waktu perjanjian BOT
-
Jaminan
investor
-
Kewajiban
Investor
-
Hak
investor
-
Jaminan
pemilik lahan
-
Pengembalian
aset
-
Keadaan
memaksa (overmacht), dan
-
Penyelesaian
sengketa.
Namun
berdasarkan Pasal 32 Perpres Nomor 38 Tahun 2015 disebutkan bahwa perjanjian
KPBU (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha) paling kurang memuat ketentuan mengenai
:
-
Lingkup
pekerjaan
-
Jangka
waktu
-
Jaminan
pelaksanaan
-
Tarif
dan mekanisme penyesuaiannya
-
Hak
dan kewajiban termasuk alokasi resiko
-
Standar
kinerja pelayanan.
-
Pengalihan
saham sebelum KPBU beroperasi secara komersial.
-
Sanksi
dalam hal para pihak tidak memenuhi ketentuan perjanjian.
-
Pemutusan
atau pengakhiran perjanjian.
-
Status
kepemilikan asset.
-
Mekanisme
penyelesaian sengketa yang diatur secara berjenjang, yaitu musyawarah mufakat,
mediasi, dan arbitrase/pengadilan
-
Mekanisme
pengawasan kinerja Badan Usaha pelaksana dalam melaksanakan pengadaan.
-
Mekanisme
perubahan pekerjaan dan/atau layanan.
-
Mekanisme hak pengambilan asset insfrastruktur dan
pemberi pinjaman,
-
Penggunaan
dan kepemilikan asset insfrastuktur dan/atau pengelolaan kepada PJPK.
-
Pengembalian
asset insfrastruktur dan/atau pengelolaannya kepada PJPK
-
Keadaan
memaksa.
-
Pernyataan
dan jaminan para pihak bahwa perjanjian KPBU sah dan mengikat para pihak dan
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
-
Penggunaan
bahasa dan perjanjian yaitu Bahasa Indonesia atau apabila diperlukan dapat
dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (sebagai terjemahan
resmi/official traslation), serta menggunakan Bahasa Indonesia dalam
perselisihan di wilayah hukum Indonesia; dan
-
Hukum
yang berlaku, yaitu hukum Indonesia.
Karena
itu, kontrak KPBU yang baik dibentuk berdasarkan tujuan kepentingan nasional
dari kehendak pemerintah dan investor, maka diperlukan itikad baik pada
pemerintah dan investor untuk menegosiasikan kontrak KPBU dengan dasar
kepentingan Nasional. Dengan kata lain, kebebasan berkontrak yang diusung
sebagai prinsip pokok dalam hukum kontrak, tidak lagi menjadi prinsip yang
utama dalam pembentukan kontrak KPBU, melainkan perlu adanya reeksaminasi
terhadap prinsip tersebut dengan penyesuaian terhadap kepentingan nasional (national interest). Dengan demikian,
untuk dapat membentuk kontrak KPS yang berkelanjutan sesuai dengan asas
kemitraan jangka panjang, maka perlu adanya kepastian bahwa kontrak KPS
tersebut disusun dan dibentuk berdasarkan prinsip itikad baik (reasonableness and fairness) pemerintah
dan swasta demi menciptakan hubungan harmonis dalam kontrak KPBU yang dapat
memberikan manfaat bagi pemerintah, investor dan rakyat Indonesia.
C. Perancangan
Model Kontrak Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha
Kontrak atau perjanjian sebagai
suatu bingkai transaksi bisnis dalam masyarakat dilakukan melalui beberapa
tahapan. Suatu hubungan bisnis merupakan sarana dalam pertukaran kepentingan
para pihak. Perbedaan kontrak publik dan kontrak privat terletak pada subyek
kontrak dan juga dimensi hukum yang mengaturnya. Kontrak adalah suatu proses
dimana pada kontrak privat dan kontrak publik sama-sama melalui beberapa
tahapan, yaitu dimulai dari tahapan pra kontrak, pembentukan kontrak dan
penandatangan kontrak serta pelaksanaan
kontrak dan pasca kontrak yang disepakati.[11]
1. Pada tahap Pra Kontrak yaitu tahap
dilakukannya oleh para pihak sebelum kontrak terbentuk. Para pihak bernegosiasi
mengenai kepentingan masing-masing untuk kemudian melakukan pertukaran hak dan
kewajiban dalam suatu bingkai hubungan kontraktual.
2. Pada tahapan Pembentukan Kontrak
yaitu tahapan lahirnya hubungan kontraktual di antara para pihak.
3. Pada tahapan Pelaksanaan Kontrak
yaitu tahapan dari pelaksanaan (performance) pertukaran hak dan kewajiban
menurut yang telah disepakati oleh para pihak. Tahapan ini disebut dengan
istilah post contractual phase.
Dari tahapan pelaksanaan kontrak,
dapat dibedakan jenis kontrak yaitu executed
dan executory contract. Executed Contract adalah suatu kontrak
yang langsung dapat dilaksanakan dan tahap pelaksanaan tidak membutuhkan jangka
waktu tertentu. Seketika kontrak tersebut terbentuk, pada saat itu pula kontrak
tersebut dapat diselesaikan pelaksanaan atau disebut dengan “done deal”. Sedangkan pada executory contract merupakan suatu
kontrak yang tahap pelaksanaanya membutuhkan jangka waktu tertentu. Pada saat
kontrak tersebut terbentuk, kewajiban para pihak belum langsung dipenuhi.
Contohnya pada executory contract terlihap
pada kontrak konstruksi, waralaba dan sewa menyewa.[12]
Berbagai prinsip pada tahapan
kontrak tersebut tidak lain untuk membentuk suatu system pelaksanaan proses
kontrak yang teratur, efisien, proporsional bagi para pihak dengan menekankan
pada prinsip kebebasan berkontrak, prinsip pacta
sun servanda, prinsip kesederajatan, prinsip privity of contract, prinsip konsesualisme, dan prinsip itikad
baik. Sebab itu seorang contract drafter
harus memahami latar belakang kontrak tersebut dibuat oleh para pihak. Dengan
memahami latar belakang akan dapat dirancang suatu kontrak yang dapat melandasi
hubungan para pihak dalam kontrak. Untuk itu juga dibutuhkan untuk mengenali dan memahami para pihak,
objek transaksi untuk selanjutnya menuangkan dalam garis besar transaksi dan
merumuskan pokok-pokok kontrak.
Beberapa aspek penting dalam
tahapan persiapan kontrak adalah pemahaman mengenai dasar hukum suatu kontrak
yang dirancang. Dasar hukum ini menjadi acuan bagi seorang contract drafter
dalam membuat suatu kontrak. Berikutnya, penguasaan bahasa hukum yang baik juga
menjadi aspek penting dalam perancangan kontrak. Selanjutnya juga harus
memiliki kemampuan bernegosiasi untuk menentukan hak dan kewajiban yang
nantinya akan dituangkan dalam bingkai kontrak. Pada tahan negosiasi ini sebelum
memasuki pembentukan perjanjian, para pihak dapat menuangkan poin-poin
kepentingannya dalam suatu perjanjian pendahukuan atau juga dikenal dengan
istilah Memorandum of Understanding (MoU)
atau Letter of Intent (LoI).
Proses perancangan terdiri dari
beberapa tahap yaitu penelitian, penyusunan kerangka kontrak dan penormaan
kontrak. Proses penelitian dilakukan untuk meyakinkan bahwa konrak yang
dirancang tersebut nantinya akan memenuhi syarat keabsahan perjanjian dan dapat
dilaksanakan. Proses penelitian ini dapat dengan menelusuri literatur,
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan lainnya. Denan melakukan
penelitian seorang contract drafter akan memiliki pemahaman yang cukup mengenai
kontrak yang dimaksud.
Sedangkan pedoman untuk menyusun
kerangka kontrak adalah [13]:
-
Sistematis,
lengkap dan jelas
-
One clause one concept artinya pada setiap klausula yang
dibuat dalam kontrak memiliki satu konsep. Artinya kontrak dapat dipahami
dengan baik oleh para pihak maupun pihak ketiga.
-
Judul
pada setiap klausula, maksudnya pemberian judul pada setiap klausula akan
memudahkan dalam menelusuri kontrak yang dimaksud.
-
Menerapkan
prinsip 3 P (Predict, Provide, Protect).
Bahwa seorang drafter harus dapat memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi dalam pelaksanaan kontrak, sehingga kemudian dapat mengantisipasi
dengan menyediakan klausula-klausula yang mengatur apabila kemungkian tersebut
terjadi. Klausula yang dibuat tersebut juga ditujukan untuk melindungi
kepentingan para pihak.
-
Klausula
penunjang dibagian akhir, artinya harus menekankan penggunaan bahasa hukum yang
dapat dimengertu oleh para pihak, sehingga tidak menimbulkan interprestasi yang
lain pada kontrak yang dibuat. Apabila dipandang perlu diadakannya
revisi/perbaika, maka seorang drafter akan melakukan proses kaji ulang dalam
rangka penyempurnaan.
Bahan Bacaan
Ahmad Fikri Assegaf, Penjelasan Hukum Tentang Klausula Baku,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2014.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional dalam
Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta, Yogyakarta, 2008.
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2011.
Irawan Soerodjo, Hukum Perjanjian dan Pertanahan Perjanjian
Build Operate And Transfer (BOT) Atas Tanah, LekBang Pressindo, Yogyakarta,
2017.
Munir Fuady, Hukum Kontrak, Citra Adiya Bakti, Bandung, 2007.
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam
Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum
Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2012
Y. Sogar Simamora, Faizal
Kurniawan, Erni Agustin, Rizky Amalia, Aspek
Kontraktual Dalam Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha, Intelegensia Media,
Malang, 2018
Daftar Riwatar Hidup
Nama : Bambang Syamsuzar Oyong
Alamat Kantor : Jl. Ahmad Yani KM. 6,
No. 560, RT. 01, Ruko Ahmad Yani
Kota
Banjarmasin
Pekerjaan : Notaris – PPAT Kota Banjarmasin
Pendidikan
-
Sarjana
S1, Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yoyakarta, Lulus Tahun 1995
-
Sepesialis
1 Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Lulus Tahun 1999.
-
Sarjana
S2, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
Lulus Tahun 2011
-
Sarjana
S3, Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya,
lulus Tahun 2018
Organisasi
-
Wakil
Ketua Pengwil INI Kalimantan Selatan 2008 -2012
-
Anggota
Dewan Kehormatan Notaris Wilayah Kalimantan Selatan 2016-2019
-
Angota
Majelis Kehormatan Notaris Kalimantan Selatan 2016-2019
-
Ketua
Pengurus Wilayah IPPAT Kalimantan Selatan 2015-2018
-
Ketua
Majelis Kehormatan IPPAT Kalimantan Selatan 2018-2021
-
Anggota
Mejelis Pembinaan, Pengawasan PPAT Kalimantan Selatan 2019 -2022
Pekejaan Pendidik
-
Dosen
Tidak Tetap Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Antasari Banjarmasin,
dari Tahun 2005 s.d 2011
-
Dosen
Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Ahmad Yani Banjarmasin, dari Tahun
2011-2012
-
Dosen
Tidak Tetap Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat dari tahun 2008 sampai saat ini.
.
[1]
Bambang Syamsuzar Oyong,
Notaris PPAT Kota Banjarmasin, Judul disampaikan pada Acara Seminar Teknik
Pembuatan Akta-Akta Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer
BOT)), Pada Acara Peresmian laboratorium Magister Kenotariatan Universitas
Diponegoro Semarang, 8 Februari 2019 .
[2]
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Profesional dalam
Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, h. 17
[4] Y. Sogar Simamora, Dkk, Aspek Kontraktual Dalam Kerjasama Pemerintah
Dan Badan Usaha, Inteligensia Media,
Malang, 2018, h. 4
[5] Ibid, h. 14
[6]
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And
Transfer (BOT)), Membangun Tanpa Harus memiliki Tanah (Perspektif Hukum
Agraria, dan Hukum Perjanjian Hukum Publik, Keni Media, Bandung, 2012, h. 6
[7]
Ibid, h. 7
[8] Ibid, h. 8-9
[9]
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, h. 17
[10]
Anita Kamilah, Op.Cit, h. 135
[11]
Y. Sogar Simamora Dkk, Op.Cit, h. 83
[12]
Y. Sogar Simamora Dkk, Op.Cit, h. 83
Komentar
Posting Komentar