Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
Bangun Guna Serah (Build
Operate and Transfer/BOT)
Merupakan
suatu perjanjian, sehingga memiliki kaitan dengan Buku III KUH Perdata tentang
Perikatan (van verbintenissen). Perikatan adalah hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seseorang atau
beberapa orang daripadanya (debitur atau para kreditur) mengikatkan dirinya
untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak
atas sikap yang demikian itu (R. Setiawan, 1978 : 2).
Menurut
ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber
dari
perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur
dalam titel II Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1352, dan titel V sampai dengan
titel XVIII Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1864 Buku III KUH Perdata, sedangkan
perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III Pasal 1352
sampai dengan Pasal 1380 Buku III KUH Perdata.
2154
Perikatan
yang bersumber dari undang-undang, menurut Pasal 1352
KUH
Perdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de
wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan
manusia (uit de wet door’s mensen toedoen). Kemudian perikatan yang
lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 KUH
Perdata dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige)
dan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige).
Perbuatan
yang sesuai dengan hukum contohnya pengurusan kepentingan orang lain secara
sukarela (zaakwaarnening), dan pembayaran yang tidak ada kewajiban
utangnya (onvershuldigde betaling).
Sumber
perikatan yang berasal dari perjanjian dan undang-undang
tersebut,
menurut Diephuis, Asser dan Suyling sebagaimana dikutip R.
Soetojo
Prawirohamidjojo dalam bukunya Hukum Perikatan mengatakan
bahwa
: “Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber
pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan
meskipun bersumber dari perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan
sebagai perikatan karena diakui oleh undangundang dan jika terjadi pelanggaran
dalam pelaksanaannya akan mendapat sanksi dari undang-undang (R. Soetojo
Prawirohamidjojo, 1979 : 20).
Meskipun
demikian, menurut penulis-penulis yang lebih muda seperti
Van
Brakel, Losecaat – Vermeer dan Hofmann – Opstal, kedua macam
perikatan
itu tetap ada perbedaannya. Pada perikatan yang bersumber dari undang-undang,
perikatan itu diciptakan secara langsung karena suatu keadaan tertentu,
perbuatan atau kejadian dan membebankan suatu kewajiban dengan tidak
menghiraukan kehendak orang yang harus memenuhinya, sedangkan pada perikatan
yang bersumber dari perjanjian, meskipun mendapat sanksi dari undang-undang,
tetapi keharusan untuk memenuhi kewajiban atas perjanjian tersebut barulah
tercipta setelah yang bersangkutan yang harus memenuhinya memberikan
persetujuan atau menghendakinya ( R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1979 : 20).
Jika
konsep Diephuis, Asser dan Suyling diimplementasikan pada
perjanjian
Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT), maka
perjanjian
BOT meskipun merupakan perikatan yang bersumber dari
perjanjian
antara para pemilik hak atas tanah dengan pihak investor, tetapi perjanjian
yang dilakukan oleh para pihak tersebut baru memiliki kekuatan sebagai perikatan,
jika memenuhi ketentuan yang telah ditentukan undangundang.
Undang-undang
dalam hal ini salah satunya sebagaimana diatur
dalam
Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa syarat sahnya
perjanjian
termasuk perjanjian BOT, jika memenuhi syarat (1) Sepakat
mereka
yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
(3) Memenuhi suatu hal tertentu; serta (4) Memiliki suatu sebab yang halal.
Jika
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320
KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat (1)
KUH
Perdata, perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and
Transfer/BOT) telah memiliki kekuatan hukum
yang sama dengan kekuatan undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata menyebutkan
bahwa
: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi
mereka yang membuatnya”. Namun demikian, meskipun perjanjian BOT merupakan
perikatan yang bersumber dari perjanjian, jika terjadi pelanggaran atas
perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) tersebut,
sanksinya tetap diberikan oleh undang-undang. Salah satu contohnya, yaitu bahwa
ketika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian Bangun Guna Serah (Build
Operate and Transfer/BOT), yang kemudian menyebabkan kerugian kepada pihak
lainnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUH Perdata, pihak tersebut
diwajibkan membayar ganti rugi.
Namun
demikian, sesuai dengan pendapat Van Brakel, Losecaat –
Vermeer
dan Hofmann – Opstal, meskipun pelanggaran terhadap pelaksanaan perjanjian
Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
itu
akan mendapatkan sanksi dari undang-undang, tetapi sanksi itu baru
dapat
dibebankan kepada pihak yang disebutkan ingkar janji,
jika
pihak tersebut sebelumnya telah memberikan persetujuan, sehingga tidak ada
tuntutan maupun sanksi tanpa ada persetujuan.
Berkaitan
dengan sumber perikatan sebagaimana telah disebutkan di
atas,
para ahli hukum perdata memiliki pendapat yang sama bahwa sumber
perikatan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yaitu
perjanjian
dan undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang
lain
adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis (hukum
kebiasaan),
dan keputusan hakim (yurisprudensi) (Mariam Darus
Badrulzaman,
1996 : 10).
Tanpa
mengabaikan peran penting dari sumber-sumber perikatan yang
lainnya,
dari sumber-sumber perikatan di atas, perjanjian merupakan salah
satu
sumber perikatan yang terpenting dalam mengembangkan hukum
perjanjian,
sebab sesuai dengan salah satu asas yang dianut dalam sistem hukum nasional
Indonesia, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka para pihak diberikan suatu
kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan yang bernama
yang tercantum dalam titel V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata maupun
perikatan yang tidak bernama.
Berdasarkan
asas kebebasan berkontrak yang disimpulkan dari Pasal
1338
ayat (1) KUH Perdata, maka lahir perjanjian Bangun Guna Serah
(Build
Operate and Transfer/BOT), yang dikenal sebagai perjanjian tidak
bernama
(onbenoemde overeenkomst), yaitu perjanjian yang tidak diatur
secara
khusus dalam undang-undang, tetapi tumbuh dan berkembang dalam
kegiatan
ekonomi Indonesia. Sebagai suatu perjanjian tidak bernama, sampai saat ini
belum ada pengertian dan pengaturan secara khusus mengenai pembangunan suatu
proyek milik pemerintah ataupun swata yang dibiayai melalui sistem Bangun Guna
Serah (Build Operate and Transfer/BOT).
Aturan
yang digunakan saat ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
dikenal
sebagai asas kebebasan berkontrak.
Namun
demikian, sebagai gambaran dapat dirujuk pendapat Neal
Bieker
dan Cassie Boggs, yang memberikan pengertian BOT, adalah :
“A
government or government entity enters into an agreement with a
private
sector company under which the company agrees to finance,
design
and build the facility at its own costs, and is given a concession,
usually
for a fixed period, to operate that facility and collect tolls or other
revenues
from its operation before transferring the facility back to the
government
at the end of the concession period. The intention is that the
company
is to receive sufficient revenues during the operational phase to
service
its debt incurred in designing and building the facility; to cover its
working
capital and maintennace cost; to repay its equity investors; and
hopefully,
also provide a reasonable profit its investors” (Bieker. Neil, Cessie
Boggs,
1997 : 1).
Menurut
Neal Bieker dan Cassie Boggs, bahwa bentuk kerjasama BOT
dapat
dilakukan jika pemerintah atau badan usaha milik pemerintah
mengadakan
suatu perjanjian dengan suatu perusahaan sektor swasta dimana
perusahaan
tersebut bersedia untuk membiayai, merancang, dan membangun
suatu
fasilitas atau proyek atas biaya sendiri, dan kepadanya diberikan hak
konsesi,
biasanya untuk suatu waktu yang telah ditentukan, hak untuk
2159
mengoperasikan
fasilitas atau proyek tersebut dan mengumpulkan atau
menyediakan
barang-barang bagi kepentingan fasilitas atau proyek atau
pendapatan
lain dari pengoperasian proyek sebelum fasilitas atau proyek
tersebut
diserahkan kembali kepada pemerintah diakhir masa konsesi.
Berdasarkan
uraian di atas, walaupun konsep BOT sebagai suatu
perjanjian
tidak diatur secara khusus oleh Buku III KUH Perdata tentang
Perikatan
(Van Verbintenissen), namun ketentuan Pasal 1338 yang dikenal
dengan
asas kebebasan berkontrak dapat dijadikan sebagai dasar berlakunya
BOT.
Selain
itu, mengingat objek BOT adalah tanah, maka kajian lain yang
tidak
dapat diabaikan adalah bagaimana pengaturan BOT dalam Undang-
Undang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Mengkaji
uraian di atas, meskipun objek BOT adalah tanah, tetapi UUPA
pun
sama seperti Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van
Verbintenissen)
tidak secara
tegas memberikan pengaturan tentang BOT
sendiri.
Berbeda
ketika seseorang mendapatkan pemanfaatan hak pengelolan
atas
tanah yang dikuasai negara di antaranya dilandasi atas hak milik, hak
guna
bangunan, atau hak pakai. Kemudian, jika seseorang menguasai tanah
negara
atau tanah milik pihak ketiga untuk mendirikan bangunan, yang
dikenal
dengan Hak Guna Bangunan (HGB) sebagaimana diatur dalam Pasal
2160
35
UUPA, atau hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah
yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain,
yang dikenal dengan Hak Pakai sebagaimana diatur dalam Pasal 41
UUPA,
serta hak untuk menjaminkan tanah pada pihak lain yang dikenal
dengan
Hak Tanggungan Atas Tanah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang
No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan
Benda-benda
yang Berkaitan dengan Tanah.
Namun
demikian, meskipun UUPA tidak mengatur secara tegas
tentang
BOT, apabila mengkaji ketentuan Pasal 20 UUPA maupun
Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang No. 39 Tahun
1999
Tentang Hak Asasi Manusia, dapat dijadikan landasan berlakunya
ketentuan
BOT, karena pemilikan atas tanah sebagai salah satu hak asasi
manusia,
dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya dalam berbagai aspek
kehidupan
baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial, termasuk dalam
hubungannya
dengan pembangunan melalui konsep BOT.
Selain
itu, ketentuan Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan
dapat
menjadi dasar berlakunya BOT, karena apabila seseorang menggunakan
tanah
yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain,
yang didasarkan pada Hak Pakai, maupun Hak Pengelolaan, lajimnya di
atas
tanah yang dimanfaatkan melalui konsep BOT tersebut, diletakkan Hak
Guna
Bangunan.
2161
Ketentuan
UUPA lain yang dapat dijadikan dasar pemberlakuan
konsep
BOT adalah Pasal 5 UUPA, yang menyebutkan bahwa :
“Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah
hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum
dalam undang-undang ini (maksudnya UUPA) dan dengan
peraturan
perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Ketentuan
pasal tersebut dikenal dengan asas pemisahan horisontal,
bahwa
seseorang dapat mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain,
yang
penerapannya dapat terlihat secara jelas pada ketentuan Pasal 20, Pasal
35,
Pasal 41 dan Hak Pengelolaan.
Berdasarkan
asas pemisahan horisontal pengembangan pembangunan
terutama
di pusat-pusat perkotaan, dimana tanah makin terasa semakin
sempit,
sedangkan pertumbuhan penduduk makin meningkat dengan pesat,
demikian
juga untuk keperluan pembangunan kawasan-kawasan, seperti
kawasan
industri, kawasan perdagangan, pembangunan gedung atau
bangunan
perkantoran, tidak selalu harus dilakukan melalui pembebasan atau
pencabutan
hak atas tanah seperti yang dilakukan sekarang ini, yang justru
merugikan
hak-hak masyarakat. Dengan penerapan asas pemisahan horisontal
ini,
masyarakat luas tidak akan dirugikan dengan gerak pembangunan yang
ada,
serta akan memecahkan atau mencegah timbulnya masalah seperti
“pengusuran/pembebasan
tanah” yang dipaksakan agar pemilikan tanah dan
2162
bangunan
di satu tangan, yang justru merugikan hak-hak masyarakat.
Kepemilikan
tanah dapat tetap ada pada pemilik tanah, sehingga untuk
keperluan
pembangunan perumahan atau suatu kawasan tidak selalu
dilakukan
melalui pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah
sebagaimana
dilakukan sekarang ini, yang justru sering menimbulkan suatu
masalah
atau sengketa tanah, dimana pemilik tanah tidak dapat menerima
untuk
melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya, karena tidak layaknya
pemberian
ganti ruginya.
Melalui
asas pemisahan horisontal yang diwujudkan dalam konsep
BOT
tersebut masyarakat tetap dapat menikmati hasil tanahnya, melalui
suatu
kemitraan usaha dengan pemilik modal. Demikian juga, para
pengusaha
yang membutuhkan lahan untuk kegiatan usahanya tidak perlu
memiliki
suatu hak atas tanah, tetapi cukup menyewa kepada pemilik hak atas
tanah.
Dengan demikian, masyarakat pemilik hak atas tanah akan dengan
sukarela
menyerahkan tanahnya, karena tidak akan dirugikan dan tidak akan
kehilangan
haknya bahkan masyarakat dapat secara bersama-sama turut serta
berpartisipasi
dalam pelaksanaan pembangunan nasional, serta dapat
memperoleh
keuntungan dari pertambahan nilai tanah yang terjadi karena
pembangunan
tersebut, bahkan melalui konsep BOT ini, jika masa BOT atau
konsesi
telah berakhir, pemilik hak atas tanah dapat memiliki bangunan
beserta
fasilitas-fasilitas yang mendukung bangunan tersebut.
2163
B.
Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian BOT Yang Tanahnya Tidak
Terdaftar
Dalam Sistem Pendaftaran Tanah.
Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, yang memiliki tujuan
mewujudkan
tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera,
aman,
tentram, dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi
warga
masyarakat.
Penegasan
bahwa negara hukum adalah cita hukum (rechts idée)
Indonesia
yang secara normatif diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang
Dasar 1945 amandemen ketiga, yang menyebutkan bahwa :
“Negara
Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan
belaka (Machtsstaat)”, dan “pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi
(hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
berbatas)”.
Istilah
negara hukum dalam bahasa asing adalah rechtsstaat dan the rule
of
law. Istilah rechtsstaat
mulai populer di Eropa sejak abad XIX. Istilah rule
of
law mulai
populer dengan diterbitkannya sebuah buku dari Albert Venn
Dicey
tahun 1885 dengan judul Introduction to the study of the law of the
constitution. Konsep rechtsstaat bertumpu
atas sistem hukum continental
yang
disebut civil law atau modern roman law, sedangkan konsep
2164
the
rule of law bertumpu
atas sistem hukum yang disebut common law
(Philipus
M. Hadjon, 1996 : 75-76).
Menurut
M.C. Burkens, syarat-syarat dasar rechtsstaat adalah sebagai
berikut
:
“1.
Asas legalitas, dimana setiap tindakan pemerintah harus
didasarkan
atas dasar peraturan perundang-undangan (wettelijke
grondslag),
dengan landasan
ini undang-undang dalam arti formal
dan
Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar
tindakan
pemerintah. Dalam hubungan ini pembentukan undangundang
merupakan
bagian penting negara hukum.
2.
Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan
negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3.
Hak-hak dasar (grondrechten), dimana hak-hak dasar ini
merupakan
sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan
sekaligus
membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang.
4.
Pengawasan pengadilan, sehingga bagi rakyat tersedia saluran
pengadilan
yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan
pemerintah
(rechtmatigheids toetsing) (Philipus M. Hadjon,
1996
: 76).
Lebih
lanjut, menurut Imannuel Kant dan F.J. Stahl, kriteria untuk
dapat
disebut negara hukum, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
“1.
Jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia;
2.
Terselenggaranya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
terselenggaranya
hak-hak tersebut di atas;
3.
Tiap tindakan pemerintah harus dilandasi undang-undang; dan
4.
Adanya peradilan administrasi” (Padmo Wahjono, 1989 : 151-
152).
Berlandaskan
pada konsep negara hukum tersebut, maka setelah
melalui
proses yang panjang, pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah
mengesahkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok
Agraria.
2165
Sebagaimana
dimuat dalam Penjelasan Umum UUPA, tujuan
diundangkannya
UUPA, yaitu :
1.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang
akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan
bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat
yang adil dan makmur (Urip Santoso, 2005 : 55-56).
2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam
hukum pertanahan. Oleh karena sebagian besar rakyat Indonesia
tunduk
pada hukum adat, maka pembentukan Hukum Agraria Nasional
didasarkan
pada hukum adat sebagaimana tercermin dalam Pasal 5
UUPA
(Urip Santoso, 2005 : 56).
3.
Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Upaya untuk mewujudkan
tujuan
ini, sesuai Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang menyebutkan bahwa :
“Untuk
menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan undang-undang”.
Adapun
yang dimaksud pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian
kegiatan
yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk
mengumpulkan,
mengolah, menyimpan, dan menyajikan data tertentu
2166
mengenai
bidang-bidang tanah tertentu atau tanah-tanah tertentu yang ada di
suatu
wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.
Menurut
Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1961 menyebutkan
bahwa
objek pendaftaran tanah, yaitu : (1) Bidang tanah yang dipunyai
dengan
Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak pakai; (2) Tanah Hak Pengelolaan;
(3)
Hak Milik dan Satuan Rumah Susun; (4) Hak tanggungan; dan (4) Tanah
Negara
Merujuk
pada Pasal 19 UUPA, yang dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah,
bahwa
pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian
hukum
dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang
tanah
yang telah terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai
pemegang hak yang bersangkutan dan bertujuan utuk menyediakan
informasi
berkenaan dengan hak-hak atas tanah yang telah terdaftar, serta
bertujuan
untuk tertibnya administrasi pertanahan.
Berbeda
dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai,
perjanjian
Bangun Guna Serah (BOT) meskipun objeknya tanah, tetapi bukan
merupakan
objek pendaftaran tanah.
Tidak
didaftarkannya tanah sebagai objek BOT memiliki dampak
lemahnya
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang
hak atas suatu bidang tanah yang menjadi objek BOT. Hal tersebut
2167
mengingat
BOT merupakan konsep yang tidak sederhana, karena selain
dilakukan
dalam 3 tahapan yaitu tahap pembangunan, tahap pengoperasian,
maupun
tahap penyerahan, juga risiko yang ditanggung para pihak tidak
sedikit
seperti risiko politik, ekonomi, wanprestasi, overmacht, serta jangka
waktu
pelaksanaannya yang membutuhkan waktu sekitar 30 (tiga puluh)
tahun
(Anita Kamilah, 2012 : 233 dan 246).
Sebagai
contoh, kasus yang dihadapi para pihak dalam perjanjian
kerjasama
antara PT. Tritunggal Lestari Makmur dengan Pemerintah
Provinsi
Jawa Barat untuk melakukan pembangunan gedung perkantoran,
gedung
konvensi, pusat perdagangan, dan hotel berikut fasilitas
pendukungnya
melalui Surat Perjanjian Kerjasama No. 593/59 Desen
tanggal
26 Mei 2003 tentang Pembangunan, Pengelolaan Dan Penyerahan
(Build
Operate and Transfer/BOT) Aset Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang
terletak
di Jalan Diponegoro No. 27 dan Jalan Surapati No. 6 Bandung. Di
dalam
perjanjian yang telah disepakati para pihak, tidak ada satupun klausul
yang
memberikan kewajiban untuk melakukan pendaftaran objek BOT.
Namun
demikian, sejak saat ditandatangani perjanjian antara
Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dengan PT. Tritunggal Lestari Makmur pada
tanggal
26 Mei 2003, PT. Tritunggal Lestari Makmur meskipun telah
memberikan
kontribusi awal sejumlah dana kepada Pemerintah Provinsi Jawa
2168
Barat,
tetapi PT. Tritunggal Lestari Makmur, belum dapat melakukan haknya
untuk
membangun objek BOT di atas tanah milik Pemerintah tersebut,
karena
adanya gugatan dari pihak ketiga (masyarakat) atas tanah yang
menjadi
objek BOT, sehingga pembangunan menjadi terhenti sama sekali,
yang
berdampak pada kerugian bagi investor.
Mengingat
kondisi demikian, untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan
terhadap kedudukan para pihak dalam perjanjian BOT, yaitu
pemilik
hak atas tanah maupun investor, juga pihak-pihak lainnya yang
terlibat
seperti pihak kontraktor, pihak penyewa, pihak bank, dan pihak
asuransi
untuk secermat dan seteliti mungkin dalam mencantumkan klausulklausul
perjanjian
BOT, sehingga hak-hak dan kewajiban para pihak
terlindungi.
Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, dan
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata,
menyebutkan
bahwa : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan sepakat
mereka
yang mengikatkan dirinya. Kemudian Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata
menyebutkan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” (R. Subekti,
1992
: 5).
Selanjutnya,
sesuai Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, semua
perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw). Subekti,
2169
menyebutkan
bahwa itikad baik yang disebut dalam bahasa Belanda dengan te
goeder
trouw, sebagai
suatu sendi yang terpenting di dalam hukum perjanjian
(R.
Subekti, 1992 : 41). Kemudian, sesuai asas Pacta Sunt Servanda berasal
dari
aturan lama dalam hukum Romawi/Latin yang merupakan acuan bahwa
terhadap
setiap perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya
untuk
melaksanakan kewajibannya dan menghormati hak pihak lain.
Apabila
mengindentifikasi secara seksama ciri-ciri proyek BOT, yang
pelaksanaannya
terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu tahap pembangunan
(Build),
tahap pengoperasian (Operate), dan tahap penyerahan (Transfer),
maka
aspek-aspek hukum perjanjian yang berkaitan dengan pemanfaatan
tanah
melalui konsep BOT, di dalamnya memiliki keterkaitan dengan
perjanjian-perjanjian
sebagaimana disebutkan di atas, yaitu :
a.
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan.
Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan diatur dalam Buku III KUH
Perdata
tentang Perikatan (van verbintenissen) Bab VII A, Pasal 1601 b
KUH
Perdata, yang menyebutkan bahwa Pemborongan Pekerjaan adalah :
“Perjanjian,
dengan mana pihak yang satu, si pemborong
mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak
yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima
suatu
harga yang ditentukan”.
Adanya
keterkaitan antara perjanjian Bangun Guna Serah (Build
Operate
and Trasnfer/BOT) dengan
perjanjian pemborongan pekerjaan
karena
lajimnya pihak investor yang memperoleh hak penuh untuk men2170
dirikan
proyek infrastruktur dari pihak pemilik hak atas tanah
(pemerintah/swasta)
ini, pada umumnya tidak mengerjakan sendiri
pekerjaan-pekerjaan
pembangunan proyek tersebut, tetapi dilakukan
dengan
penunjukkan pemborong/ kontraktor melalui perjanjian
pemborongan
pekerjaan dimana si pemborong mengikatkan diri pada
investor
untuk melakukan pekerjaan pembangunan proyek BOT dan
sekaligus
sebagai perencana untuk pengerjaan bagian-bagian utama proyek
dengan
menerima suatu imbalan tertentu.
Pihak
pemborong/kontraktor hanya memiliki hubungan hukum
dengan
pihak investor saja, sebagai pihak yang memberikan kuasa
kepadanya
untuk dan atas nama investor melakukan pekerjaan
pembangunan
proyek. Namun demikian, dalam suatu perjanjian BOT
yang
dilakukan antara pemilik hak atas tanah dengan pihak investor, dapat
dimuat
suatu klausul yang menyebutkan bahwa selama masa
pembangunan,
pihak pemilik hak atas tanah diberikan kewenangan
melakukan
pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan pemborong.
Oleh
karena itu, jika selama pengawasan dilakukan, ada pengerjaan
pembangunan
proyek yang tidak sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan,
maka pihak pemilik tanah dapat meminta
pertanggungjawaban
kepada pihak investor bukan kepada pihak
pemborong.
2171
b.
Perjanjian Kredit Perbankan.
Pembiayaan
proyek BOT sebagian besar lajimnya dibiayai melalui
modal
pihak swasta, namun jika dana yang disediakan pihak investor bagi
pelaksanaan
proyek BOT tersebut belum optimal, maka dibutuhkan
alternatif
pembiayaan lainnya yaitu dengan menggunakan pinjaman dari
pihak
ketiga atau pihak bank. Pihak pemberi pinjaman (project lender)
bertindak
sebagai kreditur dan pihak investor sebagai debitur. Project
lender
berkewajiban
untuk memberikan sejumlah uang untuk membiayai
proyek,
sedangkan pihak investor berkewajiban membayar kembali
pinjaman
sesuai dengan dokumen pembiayaan yang telah disepakati,
sehingga
berlaku ketentuan tentang pinjam-meminjam Pasal 1754-Pasal
1769
KUH Perdata, dan jika pihak pemberi pinjaman proyek berupa
suatu
bank maka berlaku ketentuan-ketentuan perkreditan yang diatur
dalam
peraturan perbankan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Tentang
Perbankan (Munir Fuady, 1997 : 8).
c.
Perjanjian Asuransi/Pertanggungan.
Keterlibatan
pihak asuransi dalam perjanjian BOT pun tidak dapat
diabaikan
begitu saja, mengingat waktu pelaksanaan perjanjian BOT
selama
30 (tiga puluh) tahun tersebut, perlu adanya jaminan kepastian
hokum
berkaitan dengan pihak yang akan melakukan penanggungan
2172
terhadap
klaim-klaim risiko yang terjadi pada objek BOT. Oleh karena
itu,
para pihak lajimnya menentukan dalam klausul perjanjian BOTnya
untuk
mewajibkan pihak investor mengasuransikan objek BOT, sehingga
terciptalah
hubungan hukum pertanggungan atau perjanjian asuransi.
Sesuai
ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
1992
Tentang Usaha Perasuransian, menyebutkan bahwa :
“Asuransi
atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
d.
Perjanjian Sewa Menyewa.
Kemudian,
sebagai kontra prestasi yang diberikan oleh pemilik hak
atas
tanah kepada investor yang telah mendanai pembangunan proyek
BOT
tersebut, maka pihak investor diberikan hak pemanfaatan objek
BOT,
selain untuk menutupi pendanaan yang telah dikeluarkan dalam
membiayai
objek BOT, juga sekaligus untuk memperoleh keuntungan dari
dan
dalam pengelolaan proyek, melalui perjanjian sewa menyewa. Dalam
perjanjian
sewa menyewa tersebut, pihak investor berkedudukan sebagai
pihak
yang menyewakan, dan pihak pengguna (user) sebagai pihak
penyewa.
2173
Pertanyaan
menarik berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa ini,
apakah
perjanjian sewa menyewa dalam konsep BOT termasuk dalam
pengaturan
hukum privat atau hukum tanah.
Di
dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van
Verbintenissen),
perjanjian sewa
menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai
dengan
Pasal 1600.
Menurut
ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata, disebutkan bahwa :
“Sewa
menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu
mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang
lainnya
kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu
dan
dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakang
itu disanggupi pembayarannya”.
Menjawab
pertanyaan di atas, dapat dikaji pada bunyi konsideran
UUPA
yang menyebutkan bahwa Buku ke II Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata, sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam
yang
terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hipotek
yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini.
Berdasarkan
pada uraian di atas, dapat dianalisis bahwa meskipun
KUH
Perdata mengatur perjanjian sewa menyewa, tetapi mengingat objek
BOT
adalah tanah, maka ketentuan sewa menyewa dalam Pasal 1548
sampai
dengan Pasal 1600 KUH Perdata tidak dapat diberlakukan pada
BOT,
karena ketentuan sewa menyewa atas tanah/bangunan sudah diatur
secara
khusus dalam Bab VII Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 UUPA.
2174
Adapun
bunyi Pasal 44 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut:
“Seseorang
atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila
ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan,
dengan mambayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa”.
Gambaran tersebut dalam konsep hukum dikenal dengan adagium
“Lex
specialis derogat lex generalis, bahwa apabila ketentuan khusus telah
mengaturnya
secara tersendiri, maka ketentuan umum dalam hal ini KUH
Perdata
dikesampingkan.”
Kemudian,
jika konsep BOT dianalisis dari Pembahasan sub A
maupun
sub B, objek BOT selain termasuk Private Rechtelijk juga Hukum
Administrasi
Negara. Private Rechtelijk, karena BOT merupakan hukum
yang
mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu
dengan
warga negara perseorangan yang lain, yang menimbulkan hak-hak dan
kewajiban
kepada para pihak, yang diatur secara umum dalam Buku III KUH
Perdata
Tentang Perikatan (Van
Verbitenissen).
Kemudian
konsep BOT yang objeknya tanah juga termasuk ke dalam
hukum
Publik, hal ini sesuai dengan pendapat Boedi Harsono, bahwa lingkup
hukum
di bidang agraria, tidak hanya hukum perdata (hukum
agraria/tanah
perdata), tetapi juga hukum publik di bidang administrasi
negara
(hukum agraria administratif).
2175
Pandangan
yang sama diberikan oleh Subekti dan Tjitrosudibio,
yang
memberikan arti yang luas pada hukum agraria, karena mencakup
seluruh
ketentuan, baik hukum perdata, hukum tata negara maupun
hukum
tata usaha negara, yang mengatur hubungan-hubungan antara
orang,
termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam
seluruh
wilayah negara dan mengatur pula wewenang yang bersumber
pada
hubungan-hubungan tersebut (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983
:
12).
Kemudian,
jika dianalisis dari macam-macam hak atas tanah, BOT
merupakan
hak derivatif di atas hak original, yang sifatnya sementara,
karena
BOT merupakan hak turunan dari hak yang ada sebelumnya, baik
itu
hak milik, hak pakai, maupun hak pengelolaan. Kemudian, sifatnya
sementara,
karena setelah masa BOT selesai, pemegang hak derivatif
dalam
hal ini dipegang oleh pihak ketiga (investor) sebagai pihak yang
mendanai
BOT, harus mengembalikan tanah kepada pemiliknya tanpa
pemilik
tanah mengeluarkan sejumlah uang tertentu.
2176
III.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
1.
Sebagai suatu perjanjian, konsep BOT tidak diatur secara khusus dalam
Buku
III KUH Perdata tentang Perikatan (Van Verbintenissen), namun
ketentuan
Pasal 1338 yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak
dapat
dijadikan sebagai dasar berlakunya BOT. Demikian juga, sebagai
perjanjian
yang objeknya tanah UUPA pun sama seperti Buku III KUH
Perdata
tentang Perikatan (Van Verbintenissen) tidak secara tegas
memberikan
pengaturan tentang BOT sendiri. Namun demikian,
meskipun
UUPA tidak mengatur secara tegas tentang BOT, apabila
mengkaji
ketentuan Pasal 20 UUPA tentang hak milik, dapat dijadikan
dasar
berlakunya ketentuan BOT, karena pemilikan atas tanah sebagai
salah
satu hak asasi manusia, dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya dalam
berbagai
aspek kehidupan baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial,
termasuk
dalam hubungannya dengan pembangunan melalui konsep
BOT.
Selain itu, ketentuan Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan
dapat
menjadi dasar berlakunya BOT, karena apabila seseorang
menggunakan
tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau
tanah
milik orang lain, yang didasarkan pada Hak Pakai, maupun Hak
Pengelolaan,
lajimnya di atas tanah yang dimanfaatkan melalui konsep
BOT
tersebut, diletakkan Hak Guna Bangunan.
2177
2.
Pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara
teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah,
menyimpan,
dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang tanah
tertentu
atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu
dengan
tujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang telah
terdaftar
agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang
hak yang bersangkutan. Selain itu, bertujuan utuk
menyediakan
informasi berkenaan dengan hak-hak atas tanah yang telah
terdaftar,
serta tertibnya administrasi pertanahan. Berbeda dengan Hak
Milik,
Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai, perjanjian Bangun Guna
Serah
(BOT) meskipun objeknya tanah, tetapi bukan merupakan objek
pendaftaran
tanah. Tidak didaftarkannya tanah sebagai objek BOT
memiliki
dampak lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan
hukum
kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang menjadi
objek
BOT. Hal tersebut mengingat BOT merupakan konsep yang tidak
sederhana,
karena selain dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan yaitu tahap
pembangunan,
tahap pengoperasian, maupun tahap penyerahan, juga
risiko
yang ditanggung para pihak tidak sedikit seperti risiko politik,
ekonomi,
wanprestasi, overmacht, serta jangka waktu pelaksanaannya
yang
membutuhkan waktu sekitar 30 (tiga puluh) tahun. Mengingat
2178
kondisi
demikian, untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
terhadap
kedudukan para pihak dalam perjanjian BOT, yaitu pemilik hak
atas
tanah maupun investor, juga pihak-pihak lainnya yang terlibat seperti
pihak
kontraktor, pihak penyewa, pihak bank, dan pihak asuransi untuk
secermat
dan seteliti mungkin dalam mencantumkan klausul-klausul
perjanjian
BOT, sehingga hak-hak dan kewajiban para pihak terlindungi.
B.
Saran
1.
Mengingat konsep Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
memiliki
peran yang cukup besar dalam mendukung pelaksanaan
pembangunan
nasional dalam menjembati keterbatasan penyediaan lahan
strategis
maupun keterbatasan dana/modal, maka untuk memberikan
kepastian
hukum terhadap ketersediaan lahan strategis tersebut dan
kepastian
hubungan hukum para pihak dalam perjanjian BOT, perlu
didukung
oleh kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang
sebagai
aturan yang secara khusus mengatur perjanjian Bangun Guna
Serah
(Build Operate and Transfer/BOT).
2.
Mengingat pemanfaatan tanah melalui konsep perjanjian Bangun Guna
Serah
(Build Operate and Transfer/BOT) ini merupakan perjanjian yang
tanahnya
tidak terdaftar dalam sistem pendaftaran tanah, serta memiliki
karakteristik
yang khas yang pelaksanaannya terdiri dari 3 (tiga) tahapan,
2179
mulai
tahap pembangunan, tahap pengoperasian dan tahap penyerahan,
maka
baik pemerintah maupun masyarakat sebelum melakukan perjanjian
BOT
disarankan memiliki pemahaman yang baik berkaitan dengan isi
perjanjian
BOT sehingga dapat melindungi hak-hak dan kewajiban para
pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
Aslan
Noor, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari
Ajaran
Hak Asasi Manusia,
Bandung, CV. Mandar Maju.
Arie
Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah Di
Bidang
Pertanahan,
Jakarta, PT. Raja Grafindo.
Anita
Kamilah, 2012, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum
Perjanjian,
Dan Hukum Publik), Bandung,
Keni Media.
Bagir
Manan, 1996, Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi
Perekonomian, Fakultas
Hukum UNILA, Lampung.
Budi
Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model
BOT
(Build Operate and Transfer), Yogyakarta, Genta Press.
Bieker.
Neil, 1997, Cessie Boggs, Foreign Investment in Privatised Infrastructure
Projects, Jakarta, Hadinoto, Hadiputranto
& Partners.
2180
Boedi
Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya,
Cetakan
kedelapan, (Edisi Revisi), Jakarta, Djambatan.
C.F.G.
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung,
Alumni.
Darji
Darmodiharjo dan Sidharta, 1996, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam
Sistem
Hukum
Indonesia,
Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
____________,
2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia,
Jakarta, PT.
Gramedia.
H.
Ali Achmad Chomzah, 2000, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I
(Pemberian
Hak Atas Tanah Negara) Dan Seri Hukum Pertanahan II (Sertifikat
dan
Permasalahannya),
Jakarta, Prestasi Pustaka.
Lili
Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung, Alumni.
Lili
Rasjidi dan Ira Thania, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Kedua,
Bandung,
Mandar
Maju.
____________,
2007, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cetakan Kesepuluh,
Bandung,
Citra Aditya Bakti.
Lili
Rasjidi dan Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cetakan
Ketiga,
Bandung,
Mandar Maju.
Locke.
John, 1960, Two Treaties of Civil Govermment, London, J.M. Dent &
Sons
Ltd.
2181
Mochtar
Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, PT.
Alumni.
____________,
1976, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional Suatu Uraian
Tentang
Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia,
Bandung,
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran.
Muchsin,
Iman Koeswahyono, dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Bandung, PT. Refika Aditama.
Munir
Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia.
Mariam
Darus Badrulzaman, 1996, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan,
Bandung,
Alumni.
Philipus
M. Hadjon, 1996, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, dalam Bagir Manan (Editor) Kedaulatan
Rakyat, Hak Asasi Manusia dan
Negara
Hukum, Jakarta,
Gaya Media Pratama.
R.
Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Jakarta, UI
Press.
R.
Setiawan, 1978, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta.
R.
Soetojo Prawirohamidjojo, 1979, Hukum Perikatan, Surabaya, Bina Ilmu.
Sjachran
Basah, 1986, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
Di Indonesia,
Bandung,
Alumni.
Urip
Santoso, 2005, Hukum Agraria Dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Prenada.
W.J.S.
Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
Komentar
Posting Komentar