Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)


Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)

Merupakan suatu perjanjian, sehingga memiliki kaitan dengan Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (van verbintenissen). Perikatan adalah hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seseorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para kreditur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu (R. Setiawan, 1978 : 2).

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, perikatan bersumber
dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1352, dan titel V sampai dengan titel XVIII Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1864 Buku III KUH Perdata, sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380 Buku III KUH Perdata.
2154

Perikatan yang bersumber dari undang-undang, menurut Pasal 1352
KUH Perdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit de wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit de wet door’s mensen toedoen). Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 KUH Perdata dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) dan perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatige).
Perbuatan yang sesuai dengan hukum contohnya pengurusan kepentingan orang lain secara sukarela (zaakwaarnening), dan pembayaran yang tidak ada kewajiban utangnya (onvershuldigde betaling).
Sumber perikatan yang berasal dari perjanjian dan undang-undang
tersebut, menurut Diephuis, Asser dan Suyling sebagaimana dikutip R.
Soetojo Prawirohamidjojo dalam bukunya Hukum Perikatan mengatakan
bahwa : “Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber dari perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undangundang dan jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya akan mendapat sanksi dari undang-undang (R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1979 : 20).
Meskipun demikian, menurut penulis-penulis yang lebih muda seperti
Van Brakel, Losecaat – Vermeer dan Hofmann – Opstal, kedua macam
perikatan itu tetap ada perbedaannya. Pada perikatan yang bersumber dari undang-undang, perikatan itu diciptakan secara langsung karena suatu keadaan tertentu, perbuatan atau kejadian dan membebankan suatu kewajiban dengan tidak menghiraukan kehendak orang yang harus memenuhinya, sedangkan pada perikatan yang bersumber dari perjanjian, meskipun mendapat sanksi dari undang-undang, tetapi keharusan untuk memenuhi kewajiban atas perjanjian tersebut barulah tercipta setelah yang bersangkutan yang harus memenuhinya memberikan persetujuan atau menghendakinya ( R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1979 : 20).

Jika konsep Diephuis, Asser dan Suyling diimplementasikan pada
perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT), maka
perjanjian BOT meskipun merupakan perikatan yang bersumber dari
perjanjian antara para pemilik hak atas tanah dengan pihak investor, tetapi perjanjian yang dilakukan oleh para pihak tersebut baru memiliki kekuatan sebagai perikatan, jika memenuhi ketentuan yang telah ditentukan undangundang.
Undang-undang dalam hal ini salah satunya sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa syarat sahnya
perjanjian termasuk perjanjian BOT, jika memenuhi syarat (1) Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; (3) Memenuhi suatu hal tertentu; serta (4) Memiliki suatu sebab yang halal.


Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and
Transfer/BOT) telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan
bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Namun demikian, meskipun perjanjian BOT merupakan perikatan yang bersumber dari perjanjian, jika terjadi pelanggaran atas perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) tersebut, sanksinya tetap diberikan oleh undang-undang. Salah satu contohnya, yaitu bahwa ketika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT), yang kemudian menyebabkan kerugian kepada pihak lainnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUH Perdata, pihak tersebut diwajibkan membayar ganti rugi.

Namun demikian, sesuai dengan pendapat Van Brakel, Losecaat –
Vermeer dan Hofmann – Opstal, meskipun pelanggaran terhadap pelaksanaan perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
itu akan mendapatkan sanksi dari undang-undang, tetapi sanksi itu baru
dapat dibebankan kepada pihak yang disebutkan ingkar janji,

jika pihak tersebut sebelumnya telah memberikan persetujuan, sehingga tidak ada tuntutan maupun sanksi tanpa ada persetujuan.
Berkaitan dengan sumber perikatan sebagaimana telah disebutkan di
atas, para ahli hukum perdata memiliki pendapat yang sama bahwa sumber
perikatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yaitu
perjanjian dan undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang
lain adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis (hukum
kebiasaan), dan keputusan hakim (yurisprudensi) (Mariam Darus
Badrulzaman, 1996 : 10).
Tanpa mengabaikan peran penting dari sumber-sumber perikatan yang
lainnya, dari sumber-sumber perikatan di atas, perjanjian merupakan salah
satu sumber perikatan yang terpenting dalam mengembangkan hukum
perjanjian, sebab sesuai dengan salah satu asas yang dianut dalam sistem hukum nasional Indonesia, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka para pihak diberikan suatu kebebasan untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan yang bernama yang tercantum dalam titel V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata maupun perikatan yang tidak bernama.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang disimpulkan dari Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, maka lahir perjanjian Bangun Guna Serah
(Build Operate and Transfer/BOT), yang dikenal sebagai perjanjian tidak
bernama (onbenoemde overeenkomst), yaitu perjanjian yang tidak diatur
secara khusus dalam undang-undang, tetapi tumbuh dan berkembang dalam
kegiatan ekonomi Indonesia. Sebagai suatu perjanjian tidak bernama, sampai saat ini belum ada pengertian dan pengaturan secara khusus mengenai pembangunan suatu proyek milik pemerintah ataupun swata yang dibiayai melalui sistem Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT).
Aturan yang digunakan saat ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang
dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak.
Namun demikian, sebagai gambaran dapat dirujuk pendapat Neal
Bieker dan Cassie Boggs, yang memberikan pengertian BOT, adalah :
“A government or government entity enters into an agreement with a
private sector company under which the company agrees to finance,
design and build the facility at its own costs, and is given a concession,
usually for a fixed period, to operate that facility and collect tolls or other
revenues from its operation before transferring the facility back to the
government at the end of the concession period. The intention is that the
company is to receive sufficient revenues during the operational phase to
service its debt incurred in designing and building the facility; to cover its
working capital and maintennace cost; to repay its equity investors; and
hopefully, also provide a reasonable profit its investors” (Bieker. Neil, Cessie
Boggs, 1997 : 1).
Menurut Neal Bieker dan Cassie Boggs, bahwa bentuk kerjasama BOT
dapat dilakukan jika pemerintah atau badan usaha milik pemerintah
mengadakan suatu perjanjian dengan suatu perusahaan sektor swasta dimana
perusahaan tersebut bersedia untuk membiayai, merancang, dan membangun
suatu fasilitas atau proyek atas biaya sendiri, dan kepadanya diberikan hak
konsesi, biasanya untuk suatu waktu yang telah ditentukan, hak untuk
2159
mengoperasikan fasilitas atau proyek tersebut dan mengumpulkan atau
menyediakan barang-barang bagi kepentingan fasilitas atau proyek atau
pendapatan lain dari pengoperasian proyek sebelum fasilitas atau proyek
tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah diakhir masa konsesi.
Berdasarkan uraian di atas, walaupun konsep BOT sebagai suatu
perjanjian tidak diatur secara khusus oleh Buku III KUH Perdata tentang
Perikatan (Van Verbintenissen), namun ketentuan Pasal 1338 yang dikenal
dengan asas kebebasan berkontrak dapat dijadikan sebagai dasar berlakunya
BOT.
Selain itu, mengingat objek BOT adalah tanah, maka kajian lain yang
tidak dapat diabaikan adalah bagaimana pengaturan BOT dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Mengkaji uraian di atas, meskipun objek BOT adalah tanah, tetapi UUPA
pun sama seperti Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van
Verbintenissen) tidak secara tegas memberikan pengaturan tentang BOT
sendiri.
Berbeda ketika seseorang mendapatkan pemanfaatan hak pengelolan
atas tanah yang dikuasai negara di antaranya dilandasi atas hak milik, hak
guna bangunan, atau hak pakai. Kemudian, jika seseorang menguasai tanah
negara atau tanah milik pihak ketiga untuk mendirikan bangunan, yang
dikenal dengan Hak Guna Bangunan (HGB) sebagaimana diatur dalam Pasal
2160
35 UUPA, atau hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain, yang dikenal dengan Hak Pakai sebagaimana diatur dalam Pasal 41
UUPA, serta hak untuk menjaminkan tanah pada pihak lain yang dikenal
dengan Hak Tanggungan Atas Tanah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Namun demikian, meskipun UUPA tidak mengatur secara tegas
tentang BOT, apabila mengkaji ketentuan Pasal 20 UUPA maupun
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dapat dijadikan landasan berlakunya
ketentuan BOT, karena pemilikan atas tanah sebagai salah satu hak asasi
manusia, dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya dalam berbagai aspek
kehidupan baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial, termasuk dalam
hubungannya dengan pembangunan melalui konsep BOT.
Selain itu, ketentuan Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan
dapat menjadi dasar berlakunya BOT, karena apabila seseorang menggunakan
tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain, yang didasarkan pada Hak Pakai, maupun Hak Pengelolaan, lajimnya di
atas tanah yang dimanfaatkan melalui konsep BOT tersebut, diletakkan Hak
Guna Bangunan.
2161
Ketentuan UUPA lain yang dapat dijadikan dasar pemberlakuan
konsep BOT adalah Pasal 5 UUPA, yang menyebutkan bahwa :
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam undang-undang ini (maksudnya UUPA) dan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Ketentuan pasal tersebut dikenal dengan asas pemisahan horisontal,
bahwa seseorang dapat mendirikan bangunan di atas tanah milik orang lain,
yang penerapannya dapat terlihat secara jelas pada ketentuan Pasal 20, Pasal
35, Pasal 41 dan Hak Pengelolaan.
Berdasarkan asas pemisahan horisontal pengembangan pembangunan
terutama di pusat-pusat perkotaan, dimana tanah makin terasa semakin
sempit, sedangkan pertumbuhan penduduk makin meningkat dengan pesat,
demikian juga untuk keperluan pembangunan kawasan-kawasan, seperti
kawasan industri, kawasan perdagangan, pembangunan gedung atau
bangunan perkantoran, tidak selalu harus dilakukan melalui pembebasan atau
pencabutan hak atas tanah seperti yang dilakukan sekarang ini, yang justru
merugikan hak-hak masyarakat. Dengan penerapan asas pemisahan horisontal
ini, masyarakat luas tidak akan dirugikan dengan gerak pembangunan yang
ada, serta akan memecahkan atau mencegah timbulnya masalah seperti
“pengusuran/pembebasan tanah” yang dipaksakan agar pemilikan tanah dan
2162
bangunan di satu tangan, yang justru merugikan hak-hak masyarakat.
Kepemilikan tanah dapat tetap ada pada pemilik tanah, sehingga untuk
keperluan pembangunan perumahan atau suatu kawasan tidak selalu
dilakukan melalui pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah
sebagaimana dilakukan sekarang ini, yang justru sering menimbulkan suatu
masalah atau sengketa tanah, dimana pemilik tanah tidak dapat menerima
untuk melepaskan hak atas tanah yang dimilikinya, karena tidak layaknya
pemberian ganti ruginya.
Melalui asas pemisahan horisontal yang diwujudkan dalam konsep
BOT tersebut masyarakat tetap dapat menikmati hasil tanahnya, melalui
suatu kemitraan usaha dengan pemilik modal. Demikian juga, para
pengusaha yang membutuhkan lahan untuk kegiatan usahanya tidak perlu
memiliki suatu hak atas tanah, tetapi cukup menyewa kepada pemilik hak atas
tanah. Dengan demikian, masyarakat pemilik hak atas tanah akan dengan
sukarela menyerahkan tanahnya, karena tidak akan dirugikan dan tidak akan
kehilangan haknya bahkan masyarakat dapat secara bersama-sama turut serta
berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan nasional, serta dapat
memperoleh keuntungan dari pertambahan nilai tanah yang terjadi karena
pembangunan tersebut, bahkan melalui konsep BOT ini, jika masa BOT atau
konsesi telah berakhir, pemilik hak atas tanah dapat memiliki bangunan
beserta fasilitas-fasilitas yang mendukung bangunan tersebut.
2163
B. Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Perjanjian BOT Yang Tanahnya Tidak
Terdaftar Dalam Sistem Pendaftaran Tanah.
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang memiliki tujuan
mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera,
aman, tentram, dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi
warga masyarakat.
Penegasan bahwa negara hukum adalah cita hukum (rechts idée)
Indonesia yang secara normatif diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 amandemen ketiga, yang menyebutkan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat)”, dan “pemerintahan berdasar atas sistem
konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
berbatas)”.
Istilah negara hukum dalam bahasa asing adalah rechtsstaat dan the rule
of law. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX. Istilah rule
of law mulai populer dengan diterbitkannya sebuah buku dari Albert Venn
Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the study of the law of the
constitution. Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum continental
yang disebut civil law atau modern roman law, sedangkan konsep
2164
the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law
(Philipus M. Hadjon, 1996 : 75-76).
Menurut M.C. Burkens, syarat-syarat dasar rechtsstaat adalah sebagai
berikut :
“1. Asas legalitas, dimana setiap tindakan pemerintah harus
didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan (wettelijke
grondslag), dengan landasan ini undang-undang dalam arti formal
dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar
tindakan pemerintah. Dalam hubungan ini pembentukan undangundang
merupakan bagian penting negara hukum.
2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), dimana hak-hak dasar ini
merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan
sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang.
4. Pengawasan pengadilan, sehingga bagi rakyat tersedia saluran
pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan
pemerintah (rechtmatigheids toetsing) (Philipus M. Hadjon,
1996 : 76).
Lebih lanjut, menurut Imannuel Kant dan F.J. Stahl, kriteria untuk
dapat disebut negara hukum, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
“1. Jaminan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. Terselenggaranya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk
terselenggaranya hak-hak tersebut di atas;
3. Tiap tindakan pemerintah harus dilandasi undang-undang; dan
4. Adanya peradilan administrasi” (Padmo Wahjono, 1989 : 151-
152).
Berlandaskan pada konsep negara hukum tersebut, maka setelah
melalui proses yang panjang, pada tanggal 24 September 1960, Pemerintah
mengesahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria.
2165
Sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum UUPA, tujuan
diundangkannya UUPA, yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan
keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur (Urip Santoso, 2005 : 55-56).
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan. Oleh karena sebagian besar rakyat Indonesia
tunduk pada hukum adat, maka pembentukan Hukum Agraria Nasional
didasarkan pada hukum adat sebagaimana tercermin dalam Pasal 5
UUPA (Urip Santoso, 2005 : 56).
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Upaya untuk mewujudkan
tujuan ini, sesuai Pasal 19 ayat (1) UUPA, yang menyebutkan bahwa :
“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan undang-undang”.
Adapun yang dimaksud pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk
mengumpulkan, mengolah, menyimpan, dan menyajikan data tertentu
2166
mengenai bidang-bidang tanah tertentu atau tanah-tanah tertentu yang ada di
suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.
Menurut Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1961 menyebutkan
bahwa objek pendaftaran tanah, yaitu : (1) Bidang tanah yang dipunyai
dengan Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak pakai; (2) Tanah Hak Pengelolaan;
(3) Hak Milik dan Satuan Rumah Susun; (4) Hak tanggungan; dan (4) Tanah
Negara
Merujuk pada Pasal 19 UUPA, yang dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah,
bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang
tanah yang telah terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan dan bertujuan utuk menyediakan
informasi berkenaan dengan hak-hak atas tanah yang telah terdaftar, serta
bertujuan untuk tertibnya administrasi pertanahan.
Berbeda dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai,
perjanjian Bangun Guna Serah (BOT) meskipun objeknya tanah, tetapi bukan
merupakan objek pendaftaran tanah.
Tidak didaftarkannya tanah sebagai objek BOT memiliki dampak
lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah yang menjadi objek BOT. Hal tersebut
2167
mengingat BOT merupakan konsep yang tidak sederhana, karena selain
dilakukan dalam 3 tahapan yaitu tahap pembangunan, tahap pengoperasian,
maupun tahap penyerahan, juga risiko yang ditanggung para pihak tidak
sedikit seperti risiko politik, ekonomi, wanprestasi, overmacht, serta jangka
waktu pelaksanaannya yang membutuhkan waktu sekitar 30 (tiga puluh)
tahun (Anita Kamilah, 2012 : 233 dan 246).
Sebagai contoh, kasus yang dihadapi para pihak dalam perjanjian
kerjasama antara PT. Tritunggal Lestari Makmur dengan Pemerintah
Provinsi Jawa Barat untuk melakukan pembangunan gedung perkantoran,
gedung konvensi, pusat perdagangan, dan hotel berikut fasilitas
pendukungnya melalui Surat Perjanjian Kerjasama No. 593/59 Desen
tanggal 26 Mei 2003 tentang Pembangunan, Pengelolaan Dan Penyerahan
(Build Operate and Transfer/BOT) Aset Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang
terletak di Jalan Diponegoro No. 27 dan Jalan Surapati No. 6 Bandung. Di
dalam perjanjian yang telah disepakati para pihak, tidak ada satupun klausul
yang memberikan kewajiban untuk melakukan pendaftaran objek BOT.
Namun demikian, sejak saat ditandatangani perjanjian antara
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan PT. Tritunggal Lestari Makmur pada
tanggal 26 Mei 2003, PT. Tritunggal Lestari Makmur meskipun telah
memberikan kontribusi awal sejumlah dana kepada Pemerintah Provinsi Jawa
2168
Barat, tetapi PT. Tritunggal Lestari Makmur, belum dapat melakukan haknya
untuk membangun objek BOT di atas tanah milik Pemerintah tersebut,
karena adanya gugatan dari pihak ketiga (masyarakat) atas tanah yang
menjadi objek BOT, sehingga pembangunan menjadi terhenti sama sekali,
yang berdampak pada kerugian bagi investor.
Mengingat kondisi demikian, untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan terhadap kedudukan para pihak dalam perjanjian BOT, yaitu
pemilik hak atas tanah maupun investor, juga pihak-pihak lainnya yang
terlibat seperti pihak kontraktor, pihak penyewa, pihak bank, dan pihak
asuransi untuk secermat dan seteliti mungkin dalam mencantumkan klausulklausul
perjanjian BOT, sehingga hak-hak dan kewajiban para pihak
terlindungi.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, dan
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata,
menyebutkan bahwa : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya. Kemudian Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata menyebutkan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” (R. Subekti,
1992 : 5).
Selanjutnya, sesuai Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, semua
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (te goeder trouw). Subekti,
2169
menyebutkan bahwa itikad baik yang disebut dalam bahasa Belanda dengan te
goeder trouw, sebagai suatu sendi yang terpenting di dalam hukum perjanjian
(R. Subekti, 1992 : 41). Kemudian, sesuai asas Pacta Sunt Servanda berasal
dari aturan lama dalam hukum Romawi/Latin yang merupakan acuan bahwa
terhadap setiap perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya
untuk melaksanakan kewajibannya dan menghormati hak pihak lain.
Apabila mengindentifikasi secara seksama ciri-ciri proyek BOT, yang
pelaksanaannya terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu tahap pembangunan
(Build), tahap pengoperasian (Operate), dan tahap penyerahan (Transfer),
maka aspek-aspek hukum perjanjian yang berkaitan dengan pemanfaatan
tanah melalui konsep BOT, di dalamnya memiliki keterkaitan dengan
perjanjian-perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, yaitu :
a. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan.
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan diatur dalam Buku III KUH
Perdata tentang Perikatan (van verbintenissen) Bab VII A, Pasal 1601 b
KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa Pemborongan Pekerjaan adalah :
“Perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi
pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima
suatu harga yang ditentukan”.
Adanya keterkaitan antara perjanjian Bangun Guna Serah (Build
Operate and Trasnfer/BOT) dengan perjanjian pemborongan pekerjaan
karena lajimnya pihak investor yang memperoleh hak penuh untuk men2170
dirikan proyek infrastruktur dari pihak pemilik hak atas tanah
(pemerintah/swasta) ini, pada umumnya tidak mengerjakan sendiri
pekerjaan-pekerjaan pembangunan proyek tersebut, tetapi dilakukan
dengan penunjukkan pemborong/ kontraktor melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan dimana si pemborong mengikatkan diri pada
investor untuk melakukan pekerjaan pembangunan proyek BOT dan
sekaligus sebagai perencana untuk pengerjaan bagian-bagian utama proyek
dengan menerima suatu imbalan tertentu.
Pihak pemborong/kontraktor hanya memiliki hubungan hukum
dengan pihak investor saja, sebagai pihak yang memberikan kuasa
kepadanya untuk dan atas nama investor melakukan pekerjaan
pembangunan proyek. Namun demikian, dalam suatu perjanjian BOT
yang dilakukan antara pemilik hak atas tanah dengan pihak investor, dapat
dimuat suatu klausul yang menyebutkan bahwa selama masa
pembangunan, pihak pemilik hak atas tanah diberikan kewenangan
melakukan pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan pemborong.
Oleh karena itu, jika selama pengawasan dilakukan, ada pengerjaan
pembangunan proyek yang tidak sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan, maka pihak pemilik tanah dapat meminta
pertanggungjawaban kepada pihak investor bukan kepada pihak
pemborong.
2171
b. Perjanjian Kredit Perbankan.
Pembiayaan proyek BOT sebagian besar lajimnya dibiayai melalui
modal pihak swasta, namun jika dana yang disediakan pihak investor bagi
pelaksanaan proyek BOT tersebut belum optimal, maka dibutuhkan
alternatif pembiayaan lainnya yaitu dengan menggunakan pinjaman dari
pihak ketiga atau pihak bank. Pihak pemberi pinjaman (project lender)
bertindak sebagai kreditur dan pihak investor sebagai debitur. Project
lender berkewajiban untuk memberikan sejumlah uang untuk membiayai
proyek, sedangkan pihak investor berkewajiban membayar kembali
pinjaman sesuai dengan dokumen pembiayaan yang telah disepakati,
sehingga berlaku ketentuan tentang pinjam-meminjam Pasal 1754-Pasal
1769 KUH Perdata, dan jika pihak pemberi pinjaman proyek berupa
suatu bank maka berlaku ketentuan-ketentuan perkreditan yang diatur
dalam peraturan perbankan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan (Munir Fuady, 1997 : 8).
c. Perjanjian Asuransi/Pertanggungan.
Keterlibatan pihak asuransi dalam perjanjian BOT pun tidak dapat
diabaikan begitu saja, mengingat waktu pelaksanaan perjanjian BOT
selama 30 (tiga puluh) tahun tersebut, perlu adanya jaminan kepastian
hokum berkaitan dengan pihak yang akan melakukan penanggungan
2172
terhadap klaim-klaim risiko yang terjadi pada objek BOT. Oleh karena
itu, para pihak lajimnya menentukan dalam klausul perjanjian BOTnya
untuk mewajibkan pihak investor mengasuransikan objek BOT, sehingga
terciptalah hubungan hukum pertanggungan atau perjanjian asuransi.
Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian, menyebutkan bahwa :
“Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
d. Perjanjian Sewa Menyewa.
Kemudian, sebagai kontra prestasi yang diberikan oleh pemilik hak
atas tanah kepada investor yang telah mendanai pembangunan proyek
BOT tersebut, maka pihak investor diberikan hak pemanfaatan objek
BOT, selain untuk menutupi pendanaan yang telah dikeluarkan dalam
membiayai objek BOT, juga sekaligus untuk memperoleh keuntungan dari
dan dalam pengelolaan proyek, melalui perjanjian sewa menyewa. Dalam
perjanjian sewa menyewa tersebut, pihak investor berkedudukan sebagai
pihak yang menyewakan, dan pihak pengguna (user) sebagai pihak
penyewa.
2173
Pertanyaan menarik berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa ini,
apakah perjanjian sewa menyewa dalam konsep BOT termasuk dalam
pengaturan hukum privat atau hukum tanah.
Di dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van
Verbintenissen), perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548 sampai
dengan Pasal 1600.
Menurut ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata, disebutkan bahwa :
“Sewa menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang
lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu
dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakang itu disanggupi pembayarannya”.
Menjawab pertanyaan di atas, dapat dikaji pada bunyi konsideran
UUPA yang menyebutkan bahwa Buku ke II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dianalisis bahwa meskipun
KUH Perdata mengatur perjanjian sewa menyewa, tetapi mengingat objek
BOT adalah tanah, maka ketentuan sewa menyewa dalam Pasal 1548
sampai dengan Pasal 1600 KUH Perdata tidak dapat diberlakukan pada
BOT, karena ketentuan sewa menyewa atas tanah/bangunan sudah diatur
secara khusus dalam Bab VII Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 UUPA.
2174
Adapun bunyi Pasal 44 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut:
“Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan, dengan mambayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa”. Gambaran tersebut dalam konsep hukum dikenal dengan adagium
“Lex specialis derogat lex generalis, bahwa apabila ketentuan khusus telah
mengaturnya secara tersendiri, maka ketentuan umum dalam hal ini KUH
Perdata dikesampingkan.”
Kemudian, jika konsep BOT dianalisis dari Pembahasan sub A
maupun sub B, objek BOT selain termasuk Private Rechtelijk juga Hukum
Administrasi Negara. Private Rechtelijk, karena BOT merupakan hukum
yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu
dengan warga negara perseorangan yang lain, yang menimbulkan hak-hak dan
kewajiban kepada para pihak, yang diatur secara umum dalam Buku III KUH
Perdata Tentang Perikatan (Van Verbitenissen).
Kemudian konsep BOT yang objeknya tanah juga termasuk ke dalam
hukum Publik, hal ini sesuai dengan pendapat Boedi Harsono, bahwa lingkup
hukum di bidang agraria, tidak hanya hukum perdata (hukum
agraria/tanah perdata), tetapi juga hukum publik di bidang administrasi
negara (hukum agraria administratif).
2175
Pandangan yang sama diberikan oleh Subekti dan Tjitrosudibio,
yang memberikan arti yang luas pada hukum agraria, karena mencakup
seluruh ketentuan, baik hukum perdata, hukum tata negara maupun
hukum tata usaha negara, yang mengatur hubungan-hubungan antara
orang, termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam
seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang yang bersumber
pada hubungan-hubungan tersebut (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983
: 12).
Kemudian, jika dianalisis dari macam-macam hak atas tanah, BOT
merupakan hak derivatif di atas hak original, yang sifatnya sementara,
karena BOT merupakan hak turunan dari hak yang ada sebelumnya, baik
itu hak milik, hak pakai, maupun hak pengelolaan. Kemudian, sifatnya
sementara, karena setelah masa BOT selesai, pemegang hak derivatif
dalam hal ini dipegang oleh pihak ketiga (investor) sebagai pihak yang
mendanai BOT, harus mengembalikan tanah kepada pemiliknya tanpa
pemilik tanah mengeluarkan sejumlah uang tertentu.
2176
III. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Sebagai suatu perjanjian, konsep BOT tidak diatur secara khusus dalam
Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van Verbintenissen), namun
ketentuan Pasal 1338 yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak
dapat dijadikan sebagai dasar berlakunya BOT. Demikian juga, sebagai
perjanjian yang objeknya tanah UUPA pun sama seperti Buku III KUH
Perdata tentang Perikatan (Van Verbintenissen) tidak secara tegas
memberikan pengaturan tentang BOT sendiri. Namun demikian,
meskipun UUPA tidak mengatur secara tegas tentang BOT, apabila
mengkaji ketentuan Pasal 20 UUPA tentang hak milik, dapat dijadikan
dasar berlakunya ketentuan BOT, karena pemilikan atas tanah sebagai
salah satu hak asasi manusia, dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya dalam
berbagai aspek kehidupan baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial,
termasuk dalam hubungannya dengan pembangunan melalui konsep
BOT. Selain itu, ketentuan Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan
dapat menjadi dasar berlakunya BOT, karena apabila seseorang
menggunakan tanah yang langsung dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang didasarkan pada Hak Pakai, maupun Hak
Pengelolaan, lajimnya di atas tanah yang dimanfaatkan melalui konsep
BOT tersebut, diletakkan Hak Guna Bangunan.
2177
2. Pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah,
menyimpan, dan menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang tanah
tertentu atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu
dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang telah
terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Selain itu, bertujuan utuk
menyediakan informasi berkenaan dengan hak-hak atas tanah yang telah
terdaftar, serta tertibnya administrasi pertanahan. Berbeda dengan Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai, perjanjian Bangun Guna
Serah (BOT) meskipun objeknya tanah, tetapi bukan merupakan objek
pendaftaran tanah. Tidak didaftarkannya tanah sebagai objek BOT
memiliki dampak lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang menjadi
objek BOT. Hal tersebut mengingat BOT merupakan konsep yang tidak
sederhana, karena selain dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan yaitu tahap
pembangunan, tahap pengoperasian, maupun tahap penyerahan, juga
risiko yang ditanggung para pihak tidak sedikit seperti risiko politik,
ekonomi, wanprestasi, overmacht, serta jangka waktu pelaksanaannya
yang membutuhkan waktu sekitar 30 (tiga puluh) tahun. Mengingat
2178
kondisi demikian, untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
terhadap kedudukan para pihak dalam perjanjian BOT, yaitu pemilik hak
atas tanah maupun investor, juga pihak-pihak lainnya yang terlibat seperti
pihak kontraktor, pihak penyewa, pihak bank, dan pihak asuransi untuk
secermat dan seteliti mungkin dalam mencantumkan klausul-klausul
perjanjian BOT, sehingga hak-hak dan kewajiban para pihak terlindungi.
B. Saran
1. Mengingat konsep Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
memiliki peran yang cukup besar dalam mendukung pelaksanaan
pembangunan nasional dalam menjembati keterbatasan penyediaan lahan
strategis maupun keterbatasan dana/modal, maka untuk memberikan
kepastian hukum terhadap ketersediaan lahan strategis tersebut dan
kepastian hubungan hukum para pihak dalam perjanjian BOT, perlu
didukung oleh kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang
sebagai aturan yang secara khusus mengatur perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate and Transfer/BOT).
2. Mengingat pemanfaatan tanah melalui konsep perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate and Transfer/BOT) ini merupakan perjanjian yang
tanahnya tidak terdaftar dalam sistem pendaftaran tanah, serta memiliki
karakteristik yang khas yang pelaksanaannya terdiri dari 3 (tiga) tahapan,
2179
mulai tahap pembangunan, tahap pengoperasian dan tahap penyerahan,
maka baik pemerintah maupun masyarakat sebelum melakukan perjanjian
BOT disarankan memiliki pemahaman yang baik berkaitan dengan isi
perjanjian BOT sehingga dapat melindungi hak-hak dan kewajiban para
pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Aslan Noor, 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari
Ajaran Hak Asasi Manusia, Bandung, CV. Mandar Maju.
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah Di
Bidang Pertanahan, Jakarta, PT. Raja Grafindo.
Anita Kamilah, 2012, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT)
Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum
Perjanjian, Dan Hukum Publik), Bandung, Keni Media.
Bagir Manan, 1996, Politik Perundang-undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisasi Perekonomian, Fakultas Hukum UNILA, Lampung.
Budi Santoso, 2008, Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Model
BOT (Build Operate and Transfer), Yogyakarta, Genta Press.
Bieker. Neil, 1997, Cessie Boggs, Foreign Investment in Privatised Infrastructure
Projects, Jakarta, Hadinoto, Hadiputranto & Partners.
2180
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Cetakan kedelapan, (Edisi Revisi), Jakarta, Djambatan.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung, Alumni.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1996, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem
Hukum Indonesia, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
____________, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia.
H. Ali Achmad Chomzah, 2000, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I
(Pemberian Hak Atas Tanah Negara) Dan Seri Hukum Pertanahan II (Sertifikat
dan Permasalahannya), Jakarta, Prestasi Pustaka.
Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung, Alumni.
Lili Rasjidi dan Ira Thania, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Kedua, Bandung,
Mandar Maju.
____________, 2007, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cetakan Kesepuluh,
Bandung, Citra Aditya Bakti.
Lili Rasjidi dan Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Cetakan Ketiga,
Bandung, Mandar Maju.
Locke. John, 1960, Two Treaties of Civil Govermment, London, J.M. Dent & Sons
Ltd.
2181
Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung, PT.
Alumni.
____________, 1976, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional Suatu Uraian
Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia,
Bandung, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran.
Muchsin, Iman Koeswahyono, dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Bandung, PT. Refika Aditama.
Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia.
Mariam Darus Badrulzaman, 1996, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Bandung, Alumni.
Philipus M. Hadjon, 1996, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, dalam Bagir Manan (Editor) Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan
Negara Hukum, Jakarta, Gaya Media Pratama.
R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Jakarta, UI Press.
R. Setiawan, 1978, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta.
R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1979, Hukum Perikatan, Surabaya, Bina Ilmu.
Sjachran Basah, 1986, Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia,
Bandung, Alumni.
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria Dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Prenada.
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS