KAPASITAS SUBJEK HUKUM DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM
KAPASITAS SUBJEK HUKUM DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM
MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM
1. Pengantar:
Di dalam kehidupan
sehari-hari, orang selalu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, dengan
cara melakukan hubungan atau perbuatan hukum. Keabsahan perbuatan/ hubungan
hukum turut ditentukan oleh kapasitas hukum seseorang. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Bugerlijke
Wet Boek (BW) tidak disebutkan
dengan jelas tentang kapasitas hukum,
tetapi hanya diatur tentang kecakapan dan kewenangan bertindak. Di beberapa Negara, baik itu
kecakapan maupun kewenangan semuanya disebut dengan istilah Kapasitas.[2] Dengan adanya kapasitas
itu, dapat diketahui jika subjek itu mempunyai kewenangan atau kemampuan untuk
dapat melakukan perbuatan hukum. Kapasitas hukum sendiri oleh Salim[3] diartikan sebagai
"kemampuan dan kewenangan dari subjek hukum untuk dapat melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan itu akan menimbulkan hak dan
kewajiban."
Pembuat undang-undang telah menentukan
keriteria kecakapan seseorang melalui batasan usia tertentu dan/atau kemampuan
menyadari perbuatan/hubungan hukum yang
dilakukannnya serta akibat dari perbuatannya itu. Penentuan kecakapan ini erat
kaitannya dengan kepastian hukum, yang selalu menuntut adanya suatu ukuran atau
kriteria yang pasti, saat seseorang dianggap atau dapat dianggap telah
bisa menyadari akibat dari perbuatannya. Namun sistem Hukum perdata di
Indonesia belum dapat memberikan kriteria
yang seragam atau patokan yang sama, karena berbagai hal. Salah satunya adalah sebagai
konsekuensi dari warisan zaman kolonial yang membagi golongan
penduduk Indonesia menjadi 3 golongan penduduk dengan pemberlakuan sistem
hukumnya masing-masing[4].
Oleh karena itu, wajar apabila ukuran/kriteria umur dewasa bagi masing-masing
golongan penduduk juga berbeda-beda.
Berbicara
mengenai kecakapan bertindak khususnya kecakapan dalam melakukan perbuatan/hubungan
hukum, maka itu berarti telah memulai membicarakan soal perjanjian, sehingga
pembicaraan harus dimulai pula dengan melihat syarat sahnya perjanjian yang
terdapat pada Pasal 1320 BW. Untuk sahnya perjanjian selain syarat lainnya, juga
persyaratkan harus ada kecakapan bertindak.
Pada dasarnya semua orang cakap di dalam melakukan perbuatan hukum
sendiri, kecuali undang-undang menentukan lain.[5] Kemudian BW menentukan
orang-orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak, hanya saja di dalam
penentuan ini BW mencampur adukkan antara orang yang tidak cakap dan tidak
wenang dalam melakukan hubungan hukum.[6] Istilah tak cakap (onbekwaam)
dalam arti yuridis tidak menunjuk pada sifat tak cakap yang sebenarnya.
Undang-undanglah yang menentukan pihak-pihak yang dianggap tak cakap membuat
perjanjian, terlepas dari kenyataan yang sebenarnya.
Jika
memerhatikan ketentuan di dalam BW, khususnya yang berkait dengan kecakapan
bertindak seseorang, maka terlihat bahwa, kecakapan seseorang bertindak
di dalam hukum atau untuk melakukan perbuatan/hubungan
hukum lebih banyak ditentukan dari kemampuan daya kerja otak seseorang. Jadi kemampuan
daya kerja otaklah yang merupakan tolok ukur utama dalam menentukan
seseorang dapat dikatakan cakap dalam
bertindak untuk melakukan suatu perbuatan /hubungan hukum. Selain itu, status
hukum seseorang juga dijadikan ukuran seseorang itu cakap di dalam melakukan
perbuatan/hubungan hukum.
Namun jika
berbicara mengenai kewenangan bertindak, maka ukurannya bukanlah pada
kedewasaan semata, tetapi ada kriteria lainnya, karena tidak serta merta semua
orang yang cakap untuk melakukan perbuatan /hubungan hukum, berwenang pula
melakukan perbuatan/ hubungan hukum tertentu. Penentuan kewenangan hukum harus
lebih diatur di dalam undang-undang. Pengaturan kewenangan ini ada yang
berbentuk pemberian hak, ada pula yang berbentuk pembatasan, juga ada yang
berbentuk larangan, kepada orang-orang tertentu untuk melakukan perbuatan hukum
atau hubungan tertentu pula. Dengan kata lain, orang yang cakap belum tentu
berwenang tetapi orang yang berwenang sudah pasti cakap.
Sebagian
para ahli menyamakan pengertian antara kecakapan dan kewenangan bertindak.
Padahal, konsekwensi atau akibat hukum
dari perbuatan/hubungan hukum yang dilakukan, baik oleh yang tidak cakap (onbekwaam), maupun yang tidak wenang (onbevoegd) itu berbeda. Seperti diketahui pada umumnya
bahwa bagi yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, akibatnya perbuatan
hukum atau hubungan hukum yang dilakukan dapat dibatalkan sementara bagi pihak
yang tidak berwenang akibat hukum dari perbuatan hukumnya atau hubungan
hukumnya adalah batal demi hukum.
Selain
manusia alamiah, (natuurlijke person),
subjek hukum lainnya adalah badan hukum (rechtspersoon).
Mengenai badan penentuan ukuran kapasitas hukum dalam melakukan perbuatan/hubungan
hukum juga tidak kalah rumitnya, karena badan hukum ini sebagai subjek hukum,
dalam melakukan perbuatan/hubungan hukum selalu diwakili oleh subjek hukum
lain. Kesulitannya adalah dalam menentukan perbuatan/hubungan hukum itu
merupakan perbuatan hukum dari badan hukum atau perbuatan/hubungan hukum organ
secara pribadi.
2. Rumusan Masalah:
1. Bagaimana menentukan ukuran
kecakapan atau kewenangan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum atau
hubungan hukum?
2. Apakah perbuatan hukum atau
hubungan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap dapat dibatalkan?
3. PEMBAHASAN
a. Ukuran Kapasitas Hukum
Sebagaimana yang telah diuraikan di awal bahwa istilah
kapasitas hukum mencakup baik kecakapan maupun kewenangan bertindak atau
melakukan perbuatan/ hubungan hukum. Mengenai istilah kecakapan dan kewenangan
bertindak atau melakukan perbuatan/hubungan hukum saat ini masih sering terjadi
perbedaan pendapat. Bahkan Ketua Muda
Perdata MA, Atja Sondjaja mengatakan dalam rapat kerja nasional
Mahkamah Agung pada tanggal 20 September 2011,
bahwa permasalahan batasan umur dan kewenangan menjadi
satu tema besar yang menjadi pembahasan di komisi I.[7]
Yang menjadi pokok pembicaraan dalam rapat kerja nasional
Mahkamah Agung adalah Pasal 330 dan Pasal 1331 BW. Pemilihan
Pasal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa, Pasal 330 BW mengatur
tentang usia dewasa atau kedewasaan, yang berkaitan dengan masalah kecakapan
bertindak (handelings-bekwaamheid) -
dan secara tidak langsung juga berkaitan dengan masalah kewenangan bertindak (recht bevoegdheid)- padahal ketentuan
usia dewasa sebagaimana diatur dalam pasal tersebut sudah tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.[8]
Menurut Atja Sondjaya[9] Kecakapan
bertindak adalah kewenangan umum untuk melakukan tindakan hukum. Kecakapan
bertindak pada umumnya dan pada asasnya berlaku bagi semua orang. Setelah
manusia dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka kepada mereka diberikan
kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Untuk itu, diberikan
kecakapan bertindak. Dari ketentuan Pasal 1329 BW, para ahli menyimpulkan bahwa semua orang pada asasnya
cakap untuk bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain.
Kewenangan bertindak merupakan kewenangan khusus,
yang hanya berlaku untuk orang tertentu dan untuk tindakan hukum tertentu saja.
Kewenangan bertindak diberikan dengan mengingat akan tindakan, untuk mana
diberikan kewenangan bertindak sehingga tidak ada ketentuan umum tentang
kewenangan bertindak. Karena tindakan hukum menimbulkan akibat hukum yang
mengikat si pelaku,yang bisa membawa akibat yang sangat besar, maka kepada
mereka yang belum atau belum sepenuhnya bisa menyadari akibat dari tindakannya,
perlu diberikan perlindungan dalam hukum. Untuk itu, pembuat undang-undang (BW)
mengaitkan lembaga hukum kecakapan bertindak dengan umur dewasa.
b. Ukuran Kecakapan
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mereka yang tidak
cakap adalah mereka yang belum dewasa, dan mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan. Untuk menentukan ukuran kecakapan seseorang bukanlah hal mudah,
karena selain faktor sejarah hukum di Indonesia, juga karena sistem hukum yang
berlaku di Indonesia juga beragam. Dalam kaitannya dengan faktor sejarah,
seperti diketahui bahwa Indonesia pernah mengalami masa penjajahan, dan membagi
penduduk Indonesia menjadi, 3 golongan penduduk berdasar Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling), dan Pasal 131 IS, tentang pemberlakuan hukumnya masing-masing.
Namun Pasal 131 ayat (4) IS memberi
kemungkinan kepada golongan Bumi
Putera secara perseorangan untuk dapat menghapuskan berlakunya hukum adat bagi mereka sendiri. Caranya
adalah -dengan jalan
menundukkan diri secara sukarela kepada hukum perdata Eropa (BW), yaitu melalui lembaga penundukan diri yang diatur dalam Stb- 1917 No. 12. Selain itu beberapa
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, masih merupakan produk
hukum kolonial. Seperti BW, dan KUHD, termasuk beberapa Ordonantie atau Reglement.
Salah satu ketentuan
yang masih beragam kriterianya adalah tentang kecakapan dalam melakukan
perbuatan/hubungan hukum khususnya tentang kedewasaan. Kriteria umur dewasa
hingga saat ini, masih beragam, bergantung pada sistem hukum dan juga kondisi
pemberlakuan dan keberlakuan hukum. Masing-masing sistem hukum mempunyai
patokan yang berbeda turut pula menjadi faktor penyebab sulitnya menentukan
ukuran kedewasaan yang seragam. Ada sistem hukum yang berpatokan pada angka
(ukuran kuantitatif), juga ada yang berpatokan bukan pada angka (kualitatif).
Untuk
mengetahui tentang kapasitas hukum seseorang dalam perbuatan hukum atau
hubungan hukum, khususnya kecakapan dalam melakukan perjanjian, maka yang
pertama harus diketahui adalah tentang syarat sahnya suatu perjanjian.
Pasal 1320 BW menentukan
syarat sahnya perjanjian yaitu:
1. Sepakat
2. Cakap
3. Suatu hal tetentu
4. Adanya kausa / sebab yang
halal
Seperti
diketahui bahwa syarat sahnya perjanjian yang terdapat pada Pasal 1320 BW
terdiri atas 4 (empat). Syarat
1 dan 2 merupakan syarat subjektif karena menyangkut subjek perjanjian (yang
berjanji) dan merupakan syarat relatif. Syarat 3 dan 4 menyangkut objek
perjanjian (yang diperjanjikan) dan merupakan syarat mutlak.[10]
Walaupun
sepakat merupakan unsur essensialia dalam setiap perjanjian, tetapi di dalam BW
tidak menjelaskan pengertian sepakat. BW hanya menjelaskan secara negatie,
bahwa “tiada sepakat apabila perjanjian itu dilaksanakan karena Paksaan,
penipuan dan kehilafan”.[11] Sepakat ini termasuk syarat subjektif di
dalam perjanjian.
Syarat
kecakapan ini telah diatur dengan lengkap, baik mengenai ukuran, macam, dan
sanksinya. Hal ini diatur baik di dalam Buku I BW maupun di dalam Buku III BW,
serta pengaturan lain di luar BW, seperti UU Perkawinan, dan lain-lain. Walaupun
BW telah menentukan bahwa semua orang dianggap cakap dalam melakukan perbuatan
hukum[12], namun BW juga memberikan
batasan.pengecualian kecakapan.[13]
Berdasarkan
Pasal 1330 BW, yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
1. anak
yang belum dewasa;
2. orang
yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan
yang telah kawin, dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada umumnya
semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Jadi ada 3 (tiga) kategori
orang yang digolongkan tidak cakap melakukan pernuatan/hubungan hukum, yaitu
mereka yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan
yang telah kawin. Namun mengenai perempuan yang telah menikah, untuk saat ini
tidak lagi dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap, setelah keluarnya Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963, tanggal 5 september 1963, Perihal, Gagasan menganggap Burgelijk Wetboek tidak sebagai Undang-undang, khususnya pada point 1 yang menyatakan bahwa, Sebagai
konsekwensi dari gagasan ini, maka
Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal
berikut dari Burgelijk Wetboek :
1.
Pasal-pasal 108 dan 110
B. W. tentang wewenang
seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di
muka pengadilan tanpa izin atau bantuan dari
suami.
Namun
demikian tidak bisa disimpulkan bahwa, Pasal ini tidak berlaku karena SEMA di
atas. Pasal ini tidak berlaku karena hukum Yurisprudesi, dan Asas Hukum “Res Judicata Pro Veritate Habetur” (Apa yang Telah Diputus oleh Hakim Harus
Dianggap Benar). Asas ini adalah salah
satu prinsip dalam kekuatan putusan hakim. Hukum adat pun
tidak mengenal ketidakcakapan kaum istri. Latar belakang pemikiran Code Civil
Prancis dahulu, yang ditiru oleh B.W., untuk menyatakan kaum istri tak cakap
membuat perjanjian ialah agar rumah tangga berada di bawah satu pimpinan, yaitu
pimpinan si suami.[14]
Dengan
demikian saat ini mereka yang dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap
hanya ada 2 (dua) yaitu:
1.
anak yang belum dewasa;
2.
orang yang ditaruh di
bawah pengampuan.
Khusus mengenai kecakapan bertindak dalam
kaitannya dengan kedewasaan, ada beberapa sistem hukum yang tertuang di dalam
UU juga turut berpengaruh di dalam penentuan usia dewasa, sehingga untuk
kedewasaan ada beberapa kriteria termasuk di luar dari pengaturan hubungan
hukum keperdataan. Ukuran kedewasaan ini
ada yang diatur di lapangan hukum publik,
ada pula yang diatur di lapangan hukum privat. Di dalam lapangan hukum privat sendiri juga masih terdapat perbedaan,
karena penentuan usia dewasa ada yang
didasarkan pada ukuran kuantitatif, ada juga ada yang didasarkan pada ukuran
kualitatif, serta ada pula yang didasarkan pada jenis kelamin.
Untuk usia dewasa yang didasarkan pada ukuran
kuantitatif hampir tidak menimbulkan kesulitan di dalam menentukannya karena
hanya berpatokan pada angka semata sehingga mudah diketahui. Beberapa ketentuan
di dalam lapangan hukum publik telah menentukan 17 tahun atau telah menikah
sebagai usia dewasa, yaitu, misalnya dalam UU Pemilu[15] dan UU Lalu Lintas Angkutan
Jalan[16]. Kemudian beberapa UU sudah
menentukan 18 tahun, seperti UU Perlindungan anak[17], UU Pemasyarakatan[18], UU Hak Asasi Manusia[19], UU Peradilan Anak[20], UU Administrasi Kependudukan[21], dan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Anak,[22] kemudian di dalam KUHP
ditentukan usia 16 tahun[23]. Di bidang keperdataan ada yang
menentukan 21 tahun seperti BW, ada juga 18 tahun di dalam UU
Perkawinan[24], dan UUJN[25]. Kemudian yang didasarkan
pada jenis kelamin yaitu 19 bagi Laki-laki dan 16 bagi perempuan di dalam UU Perkawinan.
Namun demikian, sekalipun telah ditentukan usia dewasa pada umumnya, namun ada
tindakan tertentu yang dapat dilakukan oleh mereka yang belum dewasa atau
ditaruh di bawah pengampuan, seperti:
1.
perempuan yang telah berumur 15 tahun dalam melakukan
perkawinan.(Pasal 29 KUH Perdata) dan 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) UUPerkawinan
2.
Anak yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi.
(Pasal 1912 KUH Perdata).
3.
Seseorang yang telah di taruh di bawah pengampuan
karena boros dapat :
a.
Membuat surat wasiat (Pasal 446 KUH Perdata ).
b. Melakukan perkawinan. (Pasal 452 KUH
Perdata).
Mengenai
kecakapan yang didasarkan pada ukuran kualitatif itu terdapat di dalam sistem hukum Islam dan
Hukum Adat. Hukum Islam memakai ukuran Aqil balik dan hukum adat memakai ukuran
mentas/mandiri. Namun sekarang ini, kelihatannya hukum Islam sudah mengalami
pergeseran karena sekalipun ukurannya kualitatif yaitu aqil baliq, namun ukuran
aqil baliq juga sudah mulai mengikuti ukuran kuantitatif yang ada di dalam UU
Perkawinan.
Penentuan
hukum Islam atas ukuran dewasa dengan aqil balik hanya didasarkan pada tanda
yang terdapat atau dialami oleh seseorang. Misalnya bagi perempuan sudah mulai
Nampak tumbuh buah dada, atau tumbuh bulu di sekitar daerah tertentu dan
menstruasi. Sementara untuk laki-laki sudah mulai kelihatan perubahan suara,
tumbuh bulu di sekitar daerah tertentu serta mengeluarkan mani. Sedangkan untuk
ukuran dewasa pada hukum adat, itu setiap daerah mempunyai ukuran sendiri
tetapi pada umumnya mengatakan sudah mencar/mentas. Lalu apa ukuran mencar/mentas?
Sebagian daerah yang penduduknya beragama islam mengikuti ukuran hukum islam,
tetapi sebagian lain adalah tetap menggunakan ukuran adat, yang jika dilihat
hampir sama dengan hukum Islam. Seperti di daerah saya orang-orang tua sering
mengatakan bahwa ukuran kedewasaan bagi seseorang terutama bagi lelaki adalah
kalau dia sudah mulai meniru perilaku ayam jantan, seperti: sudah pandai
berkokok, sudah tidak takut pada ayam betina, dan sudah jarang tidur di kandangnya
sendiri.
Uraian di
atas memperlihatkan, bahwa betapa sulitnya untuk menentukan secara seragam
mengenai kecakapan seseorang. Untuk menentukan ukuran kecakapan seseorang dalam
melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum, maka ukurannya adalah ketentuan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perbuatan / atau hubungan terutama di
bidang perjanjian. Untuk menilai apakah seseorang ini telah cakap melakukan
perbuatan maka ukurannya adalah BW dan ketentuan lainnya yang merupakan
penyesuaian atas BW, seperti UU Perkawinan, UU Jabatan Notaris, PPAT.
Mengenai
kedewasaan di dalam BW yang terdapat pada Pasal 330, yaitu 21 tahun menyesuaikan
dengan ketentuan di luar BW dan semuanya sudah tuntas, yaitu 18 tahun. Demikian
pula untuk usia perkawinan di dalam BW, 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan[26], namun izin orang tua untuk
menikah adalah 30 tahun[27]. Dalam UU Perkawinan
dibedakan pula, usia menikah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan (Pasal 7), namun izin orang tua untuk kawin adalah 21 tahun (Pasal
6), dan dewasa dalam Pasal 47 adalah 18 tahun. Bagi mereka yang tidak cakap,
dalam melakukan perbuatan / hubungan hukum, maka mereka diwakili oleh orang tua
atau walinya.
Bagaimana dengan orang yang
ditaruh di bawah pengampuan?
Sesungguhnya
jika dilihat ketentuan Pasal 433 BW, maka dapat diketahui bahwa orang yang
ditaruh dibawah pengampuan adalah orang dewasa yang:
a. dalam
keadaan dungu, gila atau mata gelap:
1) selalu/tetap
(permanen)
2) kadang-kadang
(temporer)
b. karena
keborosan.
c. Pemabuk,
pemadat, dan obat-obatan (drinken and
drugs)
d. Doktrin
dan beberapa ketentuan perundang-undangan di Negara lain menambahkan dengan, Pemabuk, pemadat, dan obat-obatan (drinken and drugs)
Pembuat
Undang-undang menganggap orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan,
kemungkinan karena mereka belum mampu memenuhi kepentingan mereka dengan baik. Pengampuan
adalah sarana untuk mencabut kecakapan melakukan perbuatan hukum dari orang-orang
“meerderjarigen” tertentu. Penempatan
di bawah pengampuan ditetapkan oleh hakim yang sekaligus mengangkat curator,
yang bertindak selaku wakil yang sah bagi curandus. Lembaga ketidakcakapan melakukan perbuatan diadakan dengan maksud
untuk melindungi mereka yang dianggap tidak mampu menyelenggarakan
kepentingannya sendiri. Titik tolak ini dapat berbenturan dengan kepentingan
pihak lawan yang dalam praktik tidak selalu mengetahui, apakah ia berhadapan
dengan orang yang tidak cakap berbuat.[28]
.Penempatan
dibawah pengampuan ini dapat terjadi, baik karena penetapan pengadilan maupun
tidak, tetapi tidak semua kondisi di bawah pengampuan harus selalu dengan penetapan
atau putusan pengadilan. Untuk Keborosan penempatannya di bawah pengampuan
harus selalu dilakukan dengan penetapan/putusan hakim, baik itu atas permohonan
sendiri maupun pihak lain yang
diperkenankan oleh undang-undang. Namun demikian untuk perbuatan-perbuatan
tertentu seorang pemboros yang ditaruh di bawah pengampuan atas dasar penetapan
pengadilan, tetap masih dapat membuat
perbuatan hukum seperti membuat surat wasiat. Sedangkan untuk orang yang dalam keadaan
dungu, gila atau gelap, mereka dapat berada pada kondisi di bawah pengampuan
baik karena ada penetapan atau putusan pengadilan maupun tanpa penetapan atau
putusan pengadilan. Sedangkan untuk pemabuk dan obat-obatan, karena tidak diatur
di dalam BW, maka menurut hemat saya, sebaiknya dia dipersamakan dengan orang
yang dungu, gila atau mata gelap.
Dengan demikian orang yang
ditaruh di bawah pengampuan ini ada 2 kategori, yaitu:
1. Mereka yang ditempatkan di
bawah pengampuan tanpa penetapan hakim;
2. Mereka yang ditempatkan di
bawah pengampuan karena penetapan.
Mereka yang ditempatkan di bawah pengampuan tanpa penetapan atau
putusan hakim adalah mereka yang oleh
masyarakat dinilai tidak mampu berbuat dengan sempurna karena daya kerja
otaknya yang tidak berfungsi atau secara maksimal tidak berfungsi. Menurut
hemat saya mereka yang ditempatkan di bawah pengampuan tanpa penetapan atau
putusan hakim inilah yang dikategorikan
sebagai tidak cakap bertindak, sehingga mereka dapat menggunakan ketentuan
Pasal 1331 jo Pasal 447 BW.
Sedangkan mereka yang ditempatkan
di bawah pengampuan karena penetapan hakim, maka mereka ini wajib diwakili oleh
pengampunya, yang pada saat penetapannya di bawah pengampuan sekaligus telah ditunjuk
pihak yang menjadi kuratornya. Dengan demikian kewenangan curator
muncul karena pemberian wewenang, sehingga jika ada seseorang yang
ditempatkan dibawah pengampuan (curandus) yang melakukan perbuatan hukum
sementara telah ada pengampunya, maka
dianggap bahwa curandus tersebut telah
melakukan suatu tindakan hukum yang bukan lagi menjadi kewenangannya. Sebagai
perbandingan adalah curator dalam kepailitan atau likuidator dalam pemberasan.
2. Ukuran Kewenangan
Arti lain dari pasitas hukum selain
kecakapan juga adalah kewenangan bertindak. Ukuran kewenangan ini tidaklah
didasarkan pada kondisi atau daya kerja otak seseorang, tetapi lebih pada hal
yang ditentukan undang-undang. Jadi undang-undanglah yang menentukan seseorang
berwenang atau tidak. Pengaturan Undang-undang
yang menentukan bahwa, tidak semua orang
sebagai pendukung hukum (recht)
adalah cakap (bekwaan) adalah
kriteria umum yang di hubungkan dengan keaadaan diri seseorang, sedangkan
berwenang (bevoegd) merupakan
kriteria khusus yang di hubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan
tertentu. Seseorang yang cakap belum tentu berwenang tetapi yang
berwenang sudah pasti cakap.
Olehnya itu
tambahan kata pada Pasal 1330 BW, bahwa: dan pada umumnya semua orang kepada
siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu
sesungguhnya bukanlah mengtur kecakapan melainkan mengatur tentang kewenangan.
Pembuat B.W. dalam hal ini telah keliru, sebab orang-orang yang melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu pada umumnya adalah cakap membuat
perjanjian. Orang-orang yang dimaksud ini antara lain disebut dalam Pasal-Pasal
1467-1470, dan dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu seperti disebut
dalam Pasal-Pasal tersebut.[29]
Maksud dari
larangan ini ialah untuk mencegah penyalahgunaan pengaruh dari satu pihak (yang
dilarang atau tak berhak; onbevoegd)
terhadap pihak lain. Larangan tersebut bertujuan untuk melindungi pihak lain, bukan
untuk melindungi pihak yang dilarang. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh
seorang yang dilarang membuat perjanjian itu ialah (dalam kebanyakan hal) :
batal demi hukum.[30]
Kesimpulan : anak kalimat terakhir dari Pasal 1330 yang menyangkut larangan
untuk membuat perjanjian tertentu berbeda dengan ketidakcakapan, baik dalam
tujuan maupun dalam akibat hukum.
Bagaimana dengan korporasi?
Seperti
diketahui bahwa korporasi sebagai subjek hukum dapat pula melakukan perbuatan
hukum atau hubungan hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum atau hubungan hukum
korporasi ini selalu diwakili oleh subjek hukum lain yaitu natuurlijke person yang disebut organ. Di dalam korporai terdapat
banyak organ sehingga untuk menentukan organ yang mewakili korporasi di dalam
bertindak biasanya ditentukan oleh Undang-Undang atau ditetapkan di dalam
Anggaran Dasarnya. Dengan demikian yang berwenang untuk mewakili kororasi di
dalam melakukan perbuatan/hubungan hukum itu ditentukan di dalam Undang-undang
atau Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Korporasi. Di luar dari yang
ditentukan oleh oleh Undang-undang atau AD/ART, maka semuanya tidak berwenang,
kecuali mereka telah diberi kuasa oleh Pihak yang ditunjuk untuk mewakili
Korporasi. Olehnya itu kepasitas hukum yang dimaksudkan untuk korporasi
bukanlah kecakapan melainkan adalah kewenangan.
3. Akibat Hukum dari Tindakan Hukum
Seperti diketahui bahwa syarat sahnya
perjanjian yang terdapat pada Pasal 1320 BW terdiri atas 4 (empat). Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif karena
menyangkut subjek perjanjian (yang berjanji) dan merupakan syarat relatif.
Syarat 3 dan 4 menyangkut objek perjanjian (yang diperjanjikan) dan merupakan
syarat mutlak.[31]
Akibat hukum dari dari tidak
dipenuhinya syarat 1 dan 2 maka perjanjian adalah sah tetapi ” dapat
dibatalkan” (vernietigbaar, voidable).
Sementara jika syarat 3 dan 4 tidak
dipenuhi maka perjanjian adalah ”batal demi hukum” (nietig, void).[32]
1.
Dapat dibatalkan; dan
2.
Batal demi hukum.
Dapat dibatalkan, artinya pembatalan itu baru
mempunyai akibat hukum setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan
tersebut. Olehnya itu disebut juga
pembatalan relatif.
Batal demi hukum artinya
untuk pembatalannya tidak perlu dituntut secara tegas, olehnya itu
disebut juga pembatalan absolut atau mutlak.
Khusus
mengenai pembatalan perjanjian karena perjanjian yang dibuat oleh orang-orang
yang belum dewasa dan di bawah pengampuan (curatele),
pendapat umum mengatakan bahwa akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan. Namun jika memerhatikan beberapa ketentuan yang
terdapat dalam BW, kelihatannya ada beberapa Pasal yang saling kontradiksi.
Pasal 1331 ayat (1) BW menentukan bahwa, Oleh
karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk
membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat
dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Pasal ini juga
tidak menjelaskan, tuntutan pembatalan
ini adalah batal demi hukum atau hanya
dapat dibatalkan, sebab baik batal demi hukum maupun dapat dibatalkan keduanya
tetap harus ditutntut untuk pembatalannya.
Berbeda
halnya dengan Pasal 446 BW, dengan jelas mengatur
bahwa:
“Pengampuan mulai berjalan, terhitung
sejak putusan atau penetapan diucapkan. Semua tindak perdata yang setelah itu
dilakukan oleh orang yang ditempatkan di bawah pengampuan, adalah batal demi
hukum. Namun demikian, seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena
keborosan, tetap berhak membuat surat-surat wasiat.”
Selanjutnya dalam Pasal 447 BW
diatur bahwa:
“Semua
tindak perdata yang terjadi sebelum perintah pengampuan diucapkan berdasarkan
keadaan dungu, gila dan mata gelap, boleh dibatalkan, bila dasar pengampuan ini
telah ada pada saat tindakan-tindakan itu dilakukan.
Menurut hemat saya, Curandus (semua yang tidak cakap) berdasarkan
penetapan/putusan pengadilan, dipersamakan dengan orang yang tidak berwenang ,
dan yang berwenang adalah kuratornya. Sedangkan bagi yang dungu, gila dan mata
gelap, tetapi keadaan curtele itu
belum ditetapkan oleh Pengadilan, maka mereka hanya dikategorikan sebagai orang
yang tidak cakap untuk bertindak. Namun Pasal 447 BW mempersyaratkan adanya
pengetahuan tentang sebab dari pengampuan. [34]
Oleh
karena itu, segala perbuatan/hubungan hukum yang dilakukan oleh orang-orang
yang ditempatkan di bawah curatele oleh Pengadilan, akibat hukumnya adalah batal
demi hukum, namun bagi keborosan, masih dapat membuat surat wasiat[35].
Sedangkan bagi orang dungu, gila, mata
gelap yang belum memeroleh penetapan/putusan Pengadilan untuk ditaruh di bawah
pengampuan, kemudian melakukan perbuatan/hubungan hukum, maka akibat hukumnya
hanya dapat dibatalkan[36].
Namun apabila seorang dungu, gila dan mata gelap, meninggal dunia sebelum
dimintakan, ditetapkan/diputuskan oleh Pengadilan tentang penempatannya dibawah
curatele, maka segala tindakan/hubungan
hukum yang telah dilakukannya tidak dapat dibatalkan, kecuali wasiat.[37]
Bahkan Putusan HR
Belanda dalam Kasus Eelman vs Hin, berpendapat bahwa pada Saat orang yang sakit
jiwa memberikan persetujuannya untuk menandatangani perjanjian sebelum adanya putusan/Penetapan
Pengadilan sesungguhnya, mengandung cacad kehendak dalam kesepakatannya
sehingga dipandang persetujuan yang diberikan tidak sesuai dengan kehendaknya.
Namun harus dibuktikan bahwa pihak lawan yang sakit jiwa mengerti atau
seharusnya mengerti bahwa Eelman bertindak dalam keadaan tersebut.[38]
Bagaimana dan siapa yang dapat membatalkan
perjanjian?
Walaupun
ketidakcakapan berakibat dapat dibatalkan
dan ketidakwenangan berakibat batal demi hukum, namun untuk kebatalannya
keduanya membutuhkan bantuan pengadilan. Kemudian untuk tindakan yang tidak
cakap karena penetapan/putusan pengadilan, maka yang dapat memohon pembatalan
adalah kuratornya, sedangkan yang tidak cakap tanpa penetapan/ putusan
pengadilan, jika dikaitkan dengan Pasal 447 BW dan Pasal 1331 BW, adalah maka yang meminta pembatalan adalah mereka yang
tidak cakap.
Oleh
karena itu terlihat bahwa antara ketidakcakapan dan ketidakwenangan memilikiperbedaan.
Paling tidak ada 3 antara ketidakcakapan dan dan ketidakwenangan yaitu:
1. Pada umumnya orang yang berwenang pastilah orang
cakap, tetapi tidak semua orang cakap berwenang.
2. Tujuan pengaturan ketidakcakapan adalah untuk
melindungi pihak yang tidak cakap, sedangkan tujuan pengaturan ketidakwenangan
adalah untuk melindung pihak lain dari orang yang tidak wenang.
3. Akibat hukum perbuatan orang yang tidak cakap adalah
dapat dibatalkan, sedangkan akibat hukum perbuatanorang yang tidak berwenang
adalah batal demi hukum.
4. Penutup
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa,
1. Untuk menentukan ukuran
kecakapan karena kedewasaan dan kecakapan karena keadaan. Kalau dari
kedewasaan, maka selain dari usia yang ditentuan oleh UU juga oleh tingkat
kematangan jiwanya yang biasanya ditentukan oleh tanda/ciri-ciri tertentu.
Sedangkan ketidakcakapan karena keadaan, pada umumnya ditentukan berdasarkan
penetapan/putusan hakim, walaupun ada juga yang tidak melalui putusan tetapi
disyaratkan bahwa dasar pengampuan itu sudah ada pada saat tindakan itu
dilakukan.
2. Perbuatan hukum/hubungan
hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap ada yang batal demi hukum dan ada
pula yang hanya dapat dibatalkan. Batal
demi hukum Perbuatan hukum/hubungan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak
cakap, jika ketidakcakapannya diperoleh melalui penetapan/putusan hakim, dapat
dibatalkan jika ketidakcakapannya itu tidak melalui
penetapan/putusanPengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Niewen
Huis, J.H. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. (terjemahan oleh Djasadin
Saragih). Airlangga: Surabaya.
Salim
HS dan Erlies Septiana Naurbani. 2014. Perbandingan Hukum Perdata Comparative
Civil Law. Rajawali: Bandung.
Tahir
Tungadi. 1977/1978. Ketentuan- Ketentuan Umum Hukum Perjanjian, Cetakan I.
Lephas: Makassar.
van
Dunne, J.M. dan Gr. Van Den Berg. diterjemahkan oleh Lely Niwan. 1988. Hukum
Perjanjian. Materi Kursus Hukum Perikatan Bagian 1a. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum
Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata. Ujung Pandang.
-
http://mhum.narotama.ac.id.
[1] Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
[2] Kapasitas yang dalam bahasa Inggrisnya, disebut dengan capacity, bahasa Belandanya, yaitu hoedanigheid,
bekwamheid, atau bevoegheid, sedangkan dalam
bahasa Jermannya, yaitu kapazitaat, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kemampuan dan kewenangan
dari orang atau subjek hukum dalam melakukan pcrbuatan hukum.
[3] Salim HS dan Erlies Septiana Naurbani. 2014. Perbandingan Hukum
Perdata Comparative Civil Law. Rajawali: Bandung, hal. 56.
[4] Lihat Pasal 163 IS danPasal 131 IS
[5] Pasal
1329 BW: Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia
oleh undang-undang tidak dinyakan tidak cakap.
[6] Yang tak cakap untuk
membuat persetujuan adalah:
1.
anak
yang belum dewasa;
2.
orang
yang ditaruh di bawah pengampuan;
3.
perempuan
yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada umumnya
semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
[7]http://mhum.narotama.ac.id.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Tahir
Tungadi. 1977/1978. Ketentuan- Ketentuan Umum Hukum Perjanjian, Cetakan I.
Lephas: Makassar. h. 33.
[11] Pasal 1321 BW
[12] Pasal 1329 BW
[13] Pasal 1330 BW
[14] Tahir Tungadi. Op. Cit. h. 40
[15] UU Pemilihan Pesiden, UU Pemilihan Legislatif, dan UU Pilkada
[16] UU LLAJ
[17] UU Perlindungan Anak
[23] KUHP
[24] UUJN
[25] UU Perkawinan
[26] Pasal 29 BW
[27] Pasal 42 BW
[28] J.H. Niewen huis. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. (terjemahan
oleh Djasadin Saragih). Airlangga: Surabaya. Hal. 22.
[29] Tahir Tungadi. hal.
39
[30] Asser-Rutten, Verbintenissenrecht, tweede stuk : De
overeekomst en de verbintenis uit de wet, derde druk, 1968. h. 145. Dikutip dari Tahir Tungadi. Ibid.
[31] Tahir Tungadi 33
[32] Ibid.
[33] Ibid 48
[34] J.M.
van Dunne dan Gr. Van Den Berg, diterjemahkan oleh Lely Niwan. 1988. Hukum
Perjanjian. Materi Kursus Hukum Perikatan Bagian 1a. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum
Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata. Ujung Pandang.
[35] Pasal 446 BW
[36] Pasal 447 BW
Komentar
Posting Komentar