HUKUM UANG MUKA DAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH
HUKUM UANG
MUKA DAN JAMINAN
DALAM
PEMBIAYAAN MURABAHAH
Oleh: Drs.
Tatang Sutardi, M.HI.
Murabahah dalam fiqh Islam merupakan bentuk
jual beli yang tidak ada hubungannya dengan pembiayaan. Oleh karena itu
beberapa ulama kontemporer telah memodifikasi penggunaan murabahah
sebagai bentuk pembiayaan alternatif dengan syarat-syarat tertentu yang harus
diperhatikan.
Istilah pembiayaan pada intinya
berarti I believe, I trust, ”saya percaya” atau ”saya
menaruh kepercayaan”. Perkataan pembiayaan yang artinya kepercayaan (trust),
berarti lembaga pembiayaan selaku shahibul mal menaruh kepercayaan
kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Dana tersebut harus
digunakan dengan benar, adil, dan harus disertai dengan ikatan dan
syarat-syarat yang jelas, dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak[1].
Pada dasarnya terdapat dua fungsi
yang berkaitan dari tujuan pembiayaan, yaitu, (a) profitability,
yakni tujuan untuk memperoleh hasil dari pembiayaan berupa keuntungan
yang diraih yang diperoleh dari nasabah, dalam faktor kemampuan dan kemauan
tersimpul unsur keamanan dan unsur keuntungan dari suatu pembiayaan saling
berkaitan, keuntungan merupakan tujuan dari pemberi pembiayaan yang
terjelma dalam bentuk hasil yang diterima; (b) safety, keamanan
dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar terjamin,
sehingga tujuan profitability dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan
yang berarti. Dengan keamanan ini agar prestasi yang diberikan dalam bentuk
modal, barang atau jasa itu terjamin pengembaliannya sehingga keuntungan yang
diharapkan dapat menjadi kenyataan[2].
Pembiayaan mempunyai peranan yang
sangat penting dalam perekonomian. Secara garis besar fungsi pembiayaan di
dalam perekonomian, perdagangan, dan keuangan adalah, (a) pembiayaan dapat
meningkatkan daya guna (utility) dari modal/uang; (b) pembiayaan
meningkatkan daya guna (utility) suatu barang; (c) pembiayaan
meningkatkan peredaran lalulintas uang; (d) pembiayaan menimbulkan gairah usaha
masyarakat; (e) pembiayaan sebagai alat stabilisasi ekonomi; (f) pembiayaan
sebagai jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional dan (g) pembiayaan
sebagai alat hubungan ekonomi internasional[3].
Sejauh ini mayoritas portofolio
pembiayaan oleh bank syariah didominasi oleh pembiayaan murabahah,
sehingga terdapat banyak perspektif negatif yang ditujukan oleh
masyarakat awam kepada bank syariah, umumnya dikatakan operasional bank
syariah tidak berbeda dengan bank konvensional, hanya saja jika di bank
konvensional menerapkan sistem bunga, sedangkan di bank syariah dirubah dengan
istilah margin. Sepintas memang ada kemiripan antara pembiayaan murabahah
di bank syariah dan pembiayaan konsumtif di bank konvensional. Nasabah datang
ke bank untuk menyampaikan keinginannya membeli suatu barang dengan
meminta bantuan dana ke bank, kemudian bank menganalisa kemampuan nasabah, jika
nasabah dirasakan layak untuk menerima bantuan dari bank, bank akan menyalurkan
dananya kepada nasabah, bank konvensional mensyaratkan tambahan bunga
pada pengembalian hutangnya, sedangkan bank syariah memark-up harga beli
atas penjualan barangnya kepada nasabah, nasabah lalu membeli barang tersebut
untuk keperluannya, selanjutnya nasabah secara rutin membayar angsuran kepada
bank.
Sejumlah alasan diajukan untuk
menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi
perbankan syariah adalah (a) murabahah adalah suatu mekanisme
investasi jangka pendek dan dibandingkan dengan sistem profit and loss
sharing, cukup memudahkan; (b) keuntungan (mark-up) dalam murabahah
dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat
memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga
yang menjadi saingan bank-bank syariah; (c) murabahah menjauhkan
ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem profit
and loss sharing dan (d) murabahah tidak memungkinkan
bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank bukanlah mitra
nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan
antara kreditur dan debitur[4].
Bila dilihat sekilas, terdapat
persamaan pembiayaan murabahah di bank syariah dengan pembiayaan
konsumtif di bank konvensional. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang
diberikan adalah barang (motor, mobil, dan lain-lain)/bukan uang, dan
pembayarannya secara cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, karakteristiknya berbeda. Terdapat
beberapa perbedaan utama antara jual beli murabahah dengan
pembiayaan konsumen. Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan
konsumen biasanya memakai tingkat bunga yang tergantung situasi pasar,
sedangkan margin/tingkat keuntungan murabahah (bila sudah terjadi
ijab kabul) bersifat tetap, sehingga harga jual tidak boleh berubah. Jadi,
sejak awal perjanjian sampai dengan masa pelunasan, bank syariah tidak
diperbolehkan mengubah harga yang telah diperjanjikan/diakadkan. Pada lembaga
keuangan konvensional, dimungkinkan membuat sebuah klausul untuk meningkatkan
bunga seperti karena akibat ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan
krisis nilai tukar. Keunggulan dari sebuah produk jual beli murabahah
adalah memberikan kepastian dan kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran
pembiayaan. Perbedaan kedua, akad murabahah adalah
akad jual beli, sehingga diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan.
Barang yang diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti
mobil atau motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam
meminjam. Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen,
nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang
dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian. Perbedaan
ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah,
utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga
perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila nasabah
mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar pembayaran
angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok dan keuntungan.
Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah adalah sebesar pokok kredit
ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara angsuran, utang nasabah akan
berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok kredit dan pembayaran bunga. Jadi,
dalam pembiayaan konsumen dikenal adanya utang pokok dan hutang bunga.
Skim pembiayaan dengan cara jual
beli murabahah (pembelian barang lebih dahulu oleh bank dan
nasabah mengangsur pembiayaan pembelian barang), margin yang dibayar oleh
nasabah bersifat tetap sampai akhir periode pembayaran. Dengan demikian nasabah
pembeli barang tidak perlu khawatir akan fluktuasi tingkat suku bunga di
masa depan, karena jumlah cicilan sudah tetap sampai akhir periode. Perbedaan
antara murabahah dengan pinjaman bank konvensional adalah margin
yang ditetapkan pada awal akad tidak dapat diubah tanpa persetujuan kedua
belah pihak, tidak seperti perbankan konvensional yang mencantumkan klausul
bahwa bunga dapat berubah sewaktu-waktu[5]
Pada mulanya murabahah
bukan merupakan bentuk pembiayaan, melainkan hanya alat untuk menghindar dari
“bunga” dan bukan merupakan instrumen ideal untuk mengemban tujuan riil ekonomi
Islam. Sehingga, instrumen ini hanya digunakan sebagai langkah transisi yang
diambil dalam proses Islamisasi ekonomi, dan penggunaannya hanya terbatas pada
kasus-kasus di mana mudharabah dan musyarakah tidak
dapat diterapkan.
Murabahah digunakan sebagai langkah transisi
yang diambil dalam proses Islamisasi ekonomi sejalan dengan semangat jiwa dan
prinsip pembinaan hukum Islam, yaitu dalam menetapkan suatu hukum dilakukan
secara tadarruj (berangsur-angsur). Sebagaimana dimaklumi dewasa ini
ekonomi global dikuasai oleh sistem kapitalis dan sosialis yang pengaruhnya
berimbas pada negara-negara Islam dan negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam termasuk Indonesia. Sistem ekonomi kapitalis banyak yang
bertentangan dengan syariat Islam karena mengandung unsur riba, maisir,
dzulm, bathil. Untuk merubah sekaligus sistem ekonomi kapitalis atau
sosialis yang telah berurat berakar, mendarah daging di kalangan masyarakat
kepada sistem ekonomi Islam, sudah tentu tidak bisa dilaksanakan secara drastis
sekaligus dalam bentuk revolusi, akan tetapi dilakukan dengan cara evolusi dan gradual
sesuai dengan semangat prinsip hukum Islam tadarruj fi itsbat al-hukm.
Dalam konteks ini dapat diambil pelajaran dari kasus pengharaman riba secara
bertahap dalam tiga fase karena riba telah menjadi trend dan mendominasi
sistem ekonomi pada masa itu.
Menggunakan cara al-tadrij fi
al-tasyri’ yakni bertahap di dalam penerapan hukum dengan membiarkan terus
berlakunya hukum yang memenuhi persyaratan kemaslahatan umat dan menambah atau
bahkan mengganti aturan yang dianggap tidak aspiratif dan tidak sesuai dengan
kebutuhan umat[6].
Dalam pengembangan sistem ekonomi
Islam dalam konteks aplikasi fiqh muamalah dalam penyaluran pembiayaan
kepada masyarakat perlu dicari produk-produk yang variatif, sehingga
dapat bersaing dengan sistem ekonomi konvensional yang berkiblat pada ekonomi
kapitalis, walaupun dalam pelaksanaannya belum dapat sepenuhnya sesuai dengan
syariah karena faktor-faktor intern atau ekstern, seperti sumber daya manusia
dan sarana serta prasarana lainnya, dengan adanya semangat untuk menumbuhkan
sistem ekonomi Islam itu saja sudah merupakan prestasi yang dapat dibanggakan,
sambil terus mewujudkan sistem ekonomi yang benar-benar murni syariah. Dalam
kaidah fiqh dsebutkan:
[7]Sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan
seluruhnya.
Murabahah muncul bukan hanya untuk
menggantikan “bunga” dengan “keuntungan”, namun sebagai bentuk pembiayaan yang
diperbolehkan oleh ulama syariah dengan syarat-syarat tertentu. Apabila
syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka murabahah tidak boleh
digunakan dan cacat menurut syariah.
Dalam modifikasi murabahah
dari bentuk jual beli menjadi jenis pembiayaan dalam perbankan syariah membawa
implikasi pada perubahan ketentuan murabahah, yaitu dengan adanya
aturan baru berupa media akad wakalah dengan memberikan kuasa kepada
nasabah untuk membeli barang, uang muka dan jaminan dalam pembiayaan murabahah
yang sebelumnya tidak dikenal aturan-aturan tersebut dalam murabahah.
Dalam pandangan ulama, perubahan
merupakan keniscayaan; bahkan dalam Hadis Riwayat Abu Dawud dikatakan bahwa
pada setiap abad akan diutus seorang mujaddid yang bertugas melakukan
modifikasi paham-paham agama.
Sesungguhnya
Allah mengutus untuk ummat ini, pada setiap abad, seseorang yang akan
memperbaharui agama (HR. Abu Dawud dari Abi Hurairah).
Riwayat tersebut merupakan rujukan
bagi ulama yang melakukan modifikasi ajaran agama yang termasuk wilayah nisbi
yaitu hukum-hukum ijtihadiyah yang bersumber dari negara, urf, adat dan
khiyal hukum[8] yang dinilai sudah tidak relevan. Ibn Qayyim
al-Jawziyah mencoba mereduksi perubahan dalam sebuah kaidah fiqh yang
menyatakan bahwa fatwa dapat berubah karena perubahan keadaan, sebagaimana
perkataannya:
Dalam pandangan Ibn Qayyim
al-Jawziyah, yang mengalami perubahan adalah fatwa; dan fatwa termasuk wilayah
ijtihad, akan tetapi sebenarnya perubahan itu tidak terbatas pada fatwa,
sehingga ulama lain menyusun suatu kaidah yang menyatakan hukum berubah karena
perubahan zaman, kaidah tersebut berbunyi:
[10]Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan
waktu.
Di dalam hukum Islam terkandung
nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prinsip-prinsip, tidak akan
berubah dan tidak akan diubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah
dan merupakan jati diri hukum Islam. Dalam kelompok ini termasuk segala
ketentuan yang berasal dari nilai-nilai fundamental. Di antara nilai-nilai
dalam dimensi ini adalah apa yang telah dirumuskan dalam tujuan hukum Islam (maqashid
al-syariah), yaitu kebahagiaan manusia, yang dapat dijabarkan dalam
kemaslahatan, kenikmatan, keadilan rahmat dan seterusnya[11].
Di samping nilai-nilai fundamental
tersebut, terdapat pula nilai-nilai instrumental. Makna nilai instrumental
terkandung dalam proses pengamalan ajaran Islam di bidang hukum yang pada
hakikatnya merupakan transformasi nilai-nilai hukum Islam in abstracto
menuju nilai-nilai in concreto[12]. Proses transformasi ini sering disebut
sebagai operasionalisasi atau aktualisasi hukum Islam dalam kehidupan
masyarakat. Pada tingkatan ini dibahas dan dibicarakan dinamika hukum Islam.
Dalam hukum Islam terkandung nilai-nilai yang konstan dan sekaligus nilai-nilai
dinamika sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan. Dalam dimensi ini, hukum
Islam bersifat adaptif, artinya dapat menerima nilai-nilai baru dan nilai-nilai
dari luar yang berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perubahan zaman.
Para ulama bersepakat bahwa
sumber hukum Islam adalah wahyu (Alquran dan Sunnah) yang disebut dalil naqli
dan ra’yu (rasio, akal, daya pikir, nalar) disebut dalil aqli. Dalam
perkembangan hukum Islam, ternyata ra’yu memainkan peran yang tidak dapat diabaikan.
Akal merupakan sumber dan sekaligus alat untuk memahami wahyu. Sebagai sumber
hukum, akal dapat digunakan untuk mengalirkan hukum dari masalah-masalah yang
tidak dinyatakan oleh wahyu atau yang tidak secara tegas dinyatakan oleh wahyu.
Dalam kaitan dengan dimensi instrumental, peran akal di sini sangat strategis.
Dalam ilmu fiqh, fatwa didefinisikan
sebagai respons berupa keputusan ulama terhadap pertanyaan yang diajukan
kepadanya atau suatu kasus yang terjadi di masyarakat yang memerlukan penetapan
hukum. Sedangkan kata al-ahkam berasal dari kata al-hukm[13] yang sering diartikan sebagai pemerintahan (al-hukumat).
Oleh karena itu taghayyur al-ahkam tidak hanya berarti perubahan hukum,
tetapi juga berarti perubahan pemerintahan; dan perubahan hukum merupakan
bagian dari perubahan sistem pemerintahan.
Ciri-ciri perubahan masyarakat yang
akan berkembang di masa sekarang dan masa depan adalah ditandai dengan beberapa
trend dominan dan objektif, antara lain: pertama, teknologisasi
kehidupan sebagai akibat adanya revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Masyarakat teknologis ditandai dengan adanya pembakuan kerja dan perubahan
nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi dan produktiftas. Faktor
efesiensi dan produktifitas merupakan aspek paling dominan dalam pergerakan
masyarakat teknologi. Hubungan kerja dan kekerabatan akan bergeser ke arah
efesiensi dan produktifitas itu. Budaya ini bergerak cepat atau lambat, sangat
bergantung pada tingkat kesadaran masyarakat atas urgensi dan manfaat dari
budaya modern; kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang
semakin fungsional. Masyarakat seperti ini, ditandai dengan pola hubungan
sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan. Keberadaan seseorang
sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia bermanfaat buat orang lain[14].
Menurut para pakar hukum Islam di
Indonesia, pembaharuan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain, pertama; untuk mengisi kekosongan hukum
karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tidak mengaturnya,
sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum dalam masalah yang baru terjadi
itu sangat mendesak untuk diterapkan, kedua; pengaruh globalisasi
ekonomi dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga perlu ada aturan hukum yang
mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya, ketiga;
pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum
Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional, keempat; pengaruh
pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik
international maupun nasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi[15].
Adanya modifikasi dalam ketentuan murabahah
sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat dalam lalulintas perekonomian dalam
upaya Islamisasi ekonomi agar tercipta kemaslahatan masayarakat dan
kesejahteraannya.
Dalam perbankan Islam, murabahah
merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang
memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan
keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Atau murabahah
adalah jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah
dengan cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang
dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli barang tersebut dari pemasok kemudian
menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya – keuntungan (cost – plus
profit). Dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank
dengan nasabah yang bersangkutan.
Modifikasi ketentuan murabahah
sangat penting disebabkan murabahah, sekalipun menyangkut jual
beli barang tetapi pada hakekatnya adalah transaksi pembiayaan. Dan fungsi bank
tetap sebagai pedagang jasa yang memberikan fasilitas pembiayaan, bukan sebagai
pedagang barang. Karena secara yuridis, adalah nasabah yang membeli barang dari
pemasok bukan bank. Dan bank hubungannya dengan pemasok barang adalah sebagai
kuasa dari dan atas nama nasabah bank. Dengan demikian bank harus dapat
menyadari risiko, manakala terjadi penggugatan oleh pemasok barang apabila
pemesanan barang dari nasabah dibatalkan. Atau terjadi pembatalan ketika barang
tersebut sudah berada di tangan bank. Dan bank harus menanggung semua dari
pembatalan pemesanan tersebut.
Apabila terjadi penundaan kewajiban
membayar disebabkan karena ketidakmampuan nasabah, maka bank tidak
diperbolehkan meminta nasabah membayar jumlah tambahan sebagai denda tetapi
bank menunggu nasabah sampai mampu membayar cicilan. Inilah kerugian yang harus
ditanggung bank ketika nasabah tidak mampu membayar sesuai dengan jatuh tempo
pembayaran yang disepakati bersama.
Fluktuasi harga, ini terjadi bila
harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank
tidak bisa mengubah harga jual-beli tersebut ketika akad sudah ditandatangani.
Penolakan nasabah; barang yang
dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab: (a) Barang yang
di kirim rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena
itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi; (b) Kemungkinan lain karena nasabah
merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang dipesan.
Dijual; karena murabahah
bersifat jual-beli dengan hutang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang
itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun terhadap aset
miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian resiko default
akan besar.
Dalam setiap pendesainan sebuah
pembiayaan murabahah, faktor-faktor yang perlu diperhatikan
adalah (1) kebutuhan nasabah; (2) kemampuan finansial nasabah. Dalam hal
kemampuan finansial nasabah ketika dalam perjalanannya nasabah tidak
mampu meneruskan cicilannya ini yang menjadi beban moral bagi nasabah dan juga
kemungkinan ketika ingin mengajukan pembiayaan lagi bank syariah akan berpikir
dua kali, apakah nasabah ini ketika pembiayaannya diterima mampu melunasi
cicilannya.
Barang yang diterima nasabah rusak
ketika diterima. Hal ini yang menjadi kerugian bagi nasabah seharusnya bisa
memanfaatkan barangnya ketika diterima dari supplier atau dari bank.
Barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan sehingga
nasabah harus menolak barang yang dikirim oleh pihak supplier atau bank.
Berdasarkan realitas sebagaimana
telah dipaparkan di atas, penulis mencoba menganalisa tentang hukum uang muka
dan jaminan dalam pembiayaan murabahah yang berlaku pada bank
syariah dan lembaga keuangan syariah yang lainnya.
- A. Hukum Uang Muka
Pembiayaan merupakan salah satu
tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaannya,
pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu (a) Pembiayaan produktif, yaitu
pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yakni
peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi. (b)
Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan[16].
Pembiayaan murabahah
dilihat dari jenis akad dalam produk pembiayaan syariah termasuk pembiayaan
konsumtif, yaitu jenis pembiayaan yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan
umumnya bersifat individual atau perorangan.
Adanya uang muka dalam pembiayaan murabahah
adalah untuk mengantisipasi risiko dalam pembiayaan. Yang dimaksud dengan
risiko dalam pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kegagalan
pihak lawan (counterparty) dalam memenuhi kewajiban. Risiko pembiayaan
dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti pembiayaan
(penyediaan dana), treasury dan investasi, dan pembiayaan perdagangan
yang tercatat dalam banking book atau trading book. Dalam bank
syariah, risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan risiko terkait
pembiayaan korporasi.
Dalam praktek pembiayaan murabahah
di bank syariah, bank bukan merupakan penjual barang akan tetapi penjual jasa,
sehingga produk-produk yang diminati nasabah belum dimiliki oleh bank, dalam
kondisi ini digunakan sistem murabahah kepada pemesan pembelian. Hal ini
disebabkan bank semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan nasabah
yang memesannya.
Ide tentang jual beli murabahah
kepada pemesan pembelian (KPP)[17] berakar pada alasan mencari pembiayaan.
Dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan pengadaan aset atau modal
kerja merupakan alasan utama yang mendorong datang ke bank. Pada gilirannya,
pembiayaan yang diberikan akan membantu memperlancar arus kas (cash flow)
yang bersangkutan.
Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian
secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah kepada pemesan
pembelian (KPP). Dalam kitab Al Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis
ini dengan istilah al amir bisysyira[18]. Bank melakukan pembelian barang
setelah ada pemesanan dari nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak
mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Penjual boleh meminta
pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi atau biasa disebut
uang muka ketika ijab-kabul. Hal ini sekedar menunjukkan bukti keseriusan
pembeli. Uang muka inilah yang menjadi jaminan ganti rugi bila nasabah
membatalkan transaksi murabahah. Dalam murabahah
yang berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan
pesanannya.
Harus dicatat bahwa kontrak murabahah
umumnya ditandatangani sebelum bank syariah mendapatkan barang yang dipesan
oleh nasabah (yaitu sebelum kedatangan barang di gudang bank). Menurut kontrak,
nasabahlah yang harus berhati-hati dan mematuhi hukum dan aturan yang terkait
dengan pengimporan barang, rasio laba dan spesifikasi yang benar. Nasabah
sendirilah yang menanggung semua tanggung jawab atas denda atau sanksi hukum
yang diakibatkan dari pelanggaran hukum. Bank tidak ingin memikul tanggung
jawab yang terkait dengan barang. Oleh sebab itu segala risiko yang terkait
dengan barang, yang secara teoritis harus ditanggung bank, secara efektif telah
terhindarkan.
Janji pemesan untuk membeli barang
dalam murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga
tidak mengikat, pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli
barang yang telah dipesan itu dengan alasan pembeli barang pada saat awal telah
memberikan pilihan kepada pemesan untuk tetap membeli barang atau menolaknya. Penawaran
untuk nantinya tetap membeli atau menolak dilakukan karena pada saat transaksi
awal orang tersebut tak memiliki barang yang hendak dijualnya. Menjual barang
yang tidak dimiliki adalah haram karena termasuk bai al-fudhuli[19].Konteks jual beli murabahah jenis ini dimana belum ada
barang berbeda dengan menjual tanpa kepemilikan barang, oleh karena
itu janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat kepada pemesan, nasabah
terikat hukumnya dengan adanya pemesanan barang kepada bank.
Dalam kasus pembiayaan murabahah,
terjadi apabila seseorang datang kepada bank syariah untuk meminjam dana untuk
membeli produk tertentu, seperti mobil, rumah dan sejenisnya, harus dilakukan
melalui transaksi jual beli dengan bank syariah, dalam hal ini bank syariah
bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Jika bank memberikan
pinjaman (dalam pengertian konvensional) kepada nasabah untuk membeli
barang-barang itu, bank tidak boleh mengambil keuntungan dari pinjaman itu,
sebagai lembaga komersial yang mengharapkan keuntungan, bank syariah tidak
mungkin melakukannya, oleh karena itu harus dilakukan akad jual beli, bank
syariah mengambil keuntungan dari harga barang yang dijual dan keuntungan dari
jual beli yang dibolehkan oleh Islam.
Dalam kondisi yang demikian, karena
bank bukan lembaga penjual barang, transaksi murabahah ini
diawali dengan pemesanan barang dari nasabah kepada bank syariah. Jika nasabah
menerima permintaan pemesan suatu barang atau aset, ia harus membeli aset yang
dipesan tersebut serta menyempurnakan kontrak jual beli yang sah antara dia
dengan bank. Pembelian ini dianggap pelaksanaan janji yang mengikat secara
hukum antara pemesan dan pembeli. Pembeli menawarkan aset itu kepada pemesan
yang harus menerimanya demi janji yang mengikat secara hukum, kedua belah pihak
membuat sebuah kontrak jual beli, dari sinilah pentingnya uang muka sebagai
tanda jadi saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
Uang muka dalam pembiayaan murabahah
adalah sebagai bentuk kehati-hatian perbankan syariah untuk meminimalisir risiko
penyaluran dana kepada pihak ketiga sesuai dengan arah pengembangan konsep
pengaturan yang semakin komprehensif, Bank Indonesia menerapkan konsep regulasi
yang berbasis risiko agar selalu beroperasi di dalam rambu-rambu operasional
perbankan yang sehat dalam segi keuangan.
Adanya uang muka dalam pembiayaan murabahah
merupakan aplikasi dari manajemen risiko. Penerapan manajemen risiko dapat
meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola
kemungkinan kerugian di kemudian hari, meningkatkan metode dan proses
pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan
informasi. Risiko merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat
diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated)
yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan.
Risiko bisnis ini ditunjukkan oleh
fakta bahwa dalam suatu kontrak murabahah pembeli tidak bisa dipaksa
untuk membeli barang yang telah dipesannya, bisa saja berubah pikiran ketika
tiba saat pengambilalihan barang yang dipesan meskipun barang itu telah
memenuhi semua syarat dan standar yang diminta.
Menghilangkan suatu risiko atau
kemadharatan adalah suatu keniscayaan, apalagi untuk tetap eksisnya suatu
institusi yang mengakses dan melayani kepentingan publik untuk kesejahteraan
dan kebahagiaannya dalam hal ini perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah
lainnya yang memiliki peran yang sangat urgen dan strategis bagi Islamisasi
ekonomi dan sarana dakwah untuk tumbuh kembangnya ekonomi Islam, bahkan diharapkan
menguasai pasar global dengan telah terujinya mampu bertahan dari hantaman
krisis global bahkan sebagai solusi terbaik untuk keluar dari krisis,
sebagaimana dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
[20]Bahaya (risiko) harus dihilangkan.
Melindungi atau menghindar dari
segala kerusakan sebagai bentuk maslahah merupakan aplikasi dari maqashid
al-syariah untuk memenuhi kepentingan dan kebahagiaan umat manusia serta
untuk menjaga atau melindungi kepentingan semua orang dari hal-hal yang tidak
diinginkan.
Tujuan atau objective dari
syariah di dalam transaksi ekonomi adalah untuk mencapai tujuan yang menyeluruh
dan significant yang mengarah kepada tercapainya regulasi syariah yang
berhubungan dengan semua kegiatan dan transaksi ekonomi.
Uang muka yang diharamkan dalam jual
beli disebabkan apabila tidak terjadi pembelian, uang muka itu hangus dan
menjadi milik penjual, sehingga para fuqaha mengkategorikan sebagai makan harta
secara bathil, gharar dan bathil, sedangkan uang muka dalam
pembiayaan murabahah sebagaimana dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000 adalah sebagai upaya antisipasi
risiko/kerugian yang akan ditanggung oleh lembaga keuangan syariah, artinya
uang muka itu tidak serta merta menjadi milik bank syariah, manakala nasabah
membatalkan pembelian suatu produk, tetapi tergantung kepada jumlah kerugian
yang diderita oleh lembaga keuangan syariah, yaitu apabila kerugian itu lebih
kecil dari uang muka, kelebihan uang muka itu kembali kepada nasabah,
sebaliknya apabila kerugian itu lebih besar dari uang muka, nasabah harus
menambah dari uang muka. Dari penjelasan ini dapat dilihat uang muka tidak
mengandung unsur memakan harta orang lain secara batil, gharar ataupun maisir
yang ada adalah upaya saling menguntungkan kedua belah pihak dan komitmen atas
muamalah yang dilaksanakan. Inilah salah satu prinsip hukum Islam yaitu dalam
bermuamalah tidak mendatangkan kerugian bagi diri sendiri dan tidak merugikan
orang lain, karena dalam konsep Islam manusia hidup untuk mencapai falah
yaitu konsep multidimensi yang memiliki implikasi pada aspek perilaku
individual (mikro) dan perilaku kolektif (makro) yang lengkap dan menyeluruh
(universal) bagi kehidupan manusia yang meliputi spiritualitas dan moralitas
termasuk diantaranya bidang ekonomi . Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah;
Tidak
boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain. (HR. Ibnu Majah dari Ubadah bin
Shamit)
Uang muka dalam pembiayaan murabahah
sebagaimana dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 13/DSN-MUI/IX/2000,
merupakan instrumen tambahan dalam akad murabahah yang dilakukan
di lembaga keuangan syariah, yaitu uang muka dalam akad pembiayaan murabahah,
dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak sepakat dan besar
jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan. Dengan demkian uang muka
bukan sebagai satu syarat yang harus ada ketika berlangsungnya transaksi murabahah,
tetapi sebagai syarat tambahan apabila terjadi kesepakatan antara bank dan
nasabah yang mengiginkan adanya uang muka. Syarat tambahan ini tidak
bertentangan dengan syariah karena syarat adanya uang muka adalah perkara yang mubah
dan secara urf mengandung kemaslahatan agar masing-masing pihak memiliki
komitmen, serius dan bersungguh-sungguh atas transaksi yang dilaksanakan dan
terhindar dari kekecewaan serta kerugian yang berakibat pada konflik dan
sengketa yang mengakibatkan pudarnya persatuan dan persaudaraan. Rasulullah
saw. bersabda:
Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik. (H.R. Ahmad).
Dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan
yang halal atau mengharamkan yang halal. (H.R. al-Tirmizi dari Amr bin Auf).
Adanya perbedaan pendapat tentang
hukum uang muka dalam jual beli termasuk di dalamnya dalam pembiayaan murabahah
karena masalah khilafiah. Masalah khilafiah hendaknya tidak dibesar-besarkan
sehingga menghabiskan dan menguras waktu dan tenaga. Persoalan kaum muslimin
bukanlah terletak pada perbedaan masalah-masalah khilafiah yang didasarkan pada
ijtihad, akan tetapi terletak pada tidak difungsikannya akal, pembekuan
fikiran, pembisuan kehendak, pemasungan kebebasan, perampasan hak asasi,
pengabaian kewajiban, tersebarnya egoisme, pengabaian sunnah-sunnah Allah
tentang alam dan masyarakat, kesewenangan atas kebenaran. Masalah khilafiah ini
akibat faktor pemikiran yang timbul karena perbedaan sudut pandang mengenai
suatu masalah diantaranya, (a) masalah ilmiah, perbedaan menyangkut cabang
syari’at dan beberapa masalah aqidah yang tidak menyentuh prinsip-prinsip
pasti, (b) masalah alamiah, perbedaan mengenai sikap politik dan pengabilan
keputusan atas berbagai masalah, (c) masalah politk, perbedaan yang bersifat
politis dan fiqhi, (d) ikhtilaf fikriah, perbedaan pandangan mengenai
penilaian terhadap sebagian ilmu pengetahuan atau mengenai penilaian terhadap sebagian
peristiwa sejarah. Perbedaan yang terbesar umumnya adalah mengenai fiqh[21].
Memelihara diri dari yang mengandung
unsur prasangka dan kesamaran yang masih diperselisihkan para ulama, dengan
mencari jalan keluar dan tidak melibatkan diri dari masalah khilafiyah, usaha
mencari jalan keluar dari perselisihan itu adalah sangat disukai, hal ini
memiliki dampak yang sangat besar bagi tercapainya persatuan dan kesatuan serta
terjalinnya persaudaraan yang kokoh dalam masyarakat, sesuai dengan
kaidah fiqhiyah:
[22]Keluar dari perselisihan adalah terpuji
Perbedaan pendapat tentang uang muka
ini termasuk ikhtilaf dalam lapangan fiqh karena perbedaan mengambil dalil
hukum, yaitu berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. padahal kalau diteliti antara
hadis yang melarang uang muka dan hadis yang membolehkan uang muka adalah
hadis dhaif yang tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum dan
jumhur ulama sepakat atas tidak boleh hadis dhaif dijadikan hujjah untuk
menetapkan suatu hukum. Oleh karena harus dikembalikan kepada kaidah umum dalam
bermuamalah, yaitu:
[23]Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.
Muamalah adalah ajaran Islam yang
menyangkut aturan-aturan dalam menata hubungan antar sesama manusia agar
tercipta keadilan dan kedamaian dalam kebersamaan hidup manusia.
Aspek muamalah merupakan bagian
prinsipal dalam Islam karena dengannyalah kehidupan bersama manusia ditata agar
tidak terjadi persengketaan dalam kontak sosial antara satu pihak dengan pihak
lainnya dalam masyarakat. Dengan demikian muamalah menjadi sangat penting.
Agama itu adalah muamalah.
Sejalan dengan kaidah di atas, untuk
memberi kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan muamalah baru sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk di dalamnya dalam
kegiatan transaksi bisnis seperti penetapan uang muka dalam pembiayaan murabahah
adalah hadis Rasulullah riwayat al-Tirmizy dan Ibnu Majah dari Salman
al-Farisy:
Yang halah
adalah sesuatuyang dihalalkan Allah dalam kitabNya, dan yang haram adalah
sesuatu yang diharamkan Allah dalam kitabNya.
Hadis di atas menjadikan pedoman
prinsip dalam bermuamalah yaitu; (a) untuk menetapkan kebolehan suatu
bentuk muamalah tidak diperlukan mencari dasar hukum syar’inya, sebab hukum
asalnya adalah boleh (mubah) bukan haram; (b) Keterangan tekstual (nash) dalam
Alquran dan Sunnah tentang akad-akad muamalah tidak dimaksudkan sebagai
pembatasan, dalam arti tidak dibolehkan menciptakan bentuk-bentuk muamalah baru
yang tidak termuat dalam Alquran dan sunnah; (c) dalam menciptakan
bentuk-bentuk muamalah baru tidak perlu dianalogikan bagi kebolehannya pada
suatu muamalah yang telah dijelaskan di dalam nash (d) penentuan kebolehan
tersebut tidak perlu dianalogikan pada suatu pendapat ijtihadi fiqh tertentu,
atau pada beberapa bentuk muamalah yang telah ada dalam literatur hukum Islam,
juga tidak perlu dilakukan talfiq (penggabungan beberapa pendapat); (e)
Batasan atau ketentuan satu-satunya adalah tidak melanggar nash yang
mengharamkan, baik nash Alquran maupun sunnah; dan (f) Hal yang harus dilakukan
ketika membuat sebuah muamalah baru adalah meneliti dan mencari nash-nash yang
mengharamkannya, bukan nash yang membolehkannnya.
Uang muka dalam pembiayaan murabahah
sebagai aplikasi dari asas murabahah yang dibangun atas
dasar saling percaya antara nasabah dengan lembaga keuangan karena istilah lain
dari murabahah adalah bai al-amanah. Amanah (kepercayaan,
kejujuran) merupakan hal yang abstrak, agar tercapai kemaslahatan dalam bentuk
yang konkrit, uang muka sebagai wujud konkrit pengikat amanah antara nasabah
dengan lembaga keuangan syariah. Firman Allah Q.S. al-Nisa (4) ayat 58:
¨Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepadamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya
Manusia menurut ajaran Islam adalah
khalifah di muka bumi, bertugas menata kehidupan sebaik mungkin sehingga
tercipta kedamaian dalam hidup di tengah manusia yang dinamis. Kehidupan damai
tidak serta merta, akan tetapi diciptakan dan dirancang. Oleh karena itu perlu
diciptakan perangkat-perangkat dan aparat-aparat untuk menciptakan perdamaian
tersebut.
Amanah (trust) adalah modal
utama untuk terciptanya kondisi damai dan stabilitas di tengah masyarakat,
karena amanah sebagai landasan moral dan etika dalam bermuamalah dan
berinteraksi sosial. Kalau mau memperhatikan syariat Islam dan seluruh
ajarannya, akan didapati bahwa tujuan utamanya untuk maslahat dan kebahagiaan
manusia, salah satu perilaku dan pengajaran tertinggi di dalam Islam adalah
diwajibkannya sifat amanah, yang merupakan pembendaharaan agama Islam, khazanah
yang sangat mendasar dan bahkan agama itu merupakan amanah.
Dalam kitab-kitab sejarah perjuangan
Rasulullah, amanah merupakan salah satu diantara beberapa sifat yang wajib
dimiliki para Rasul. Mereka bersifat jujur dan dapat dipercaya, terutama dalam
urusan yang berkaitan dengan tugas kerasulan, seperti menerima wahyu, memelihara
keutuhannya dan menyampaikannya kepada manusia, tanpa penambahan, pengurangan
atau penukaran sedikitpun. Mereka juga bersifat amanah dalam arti terpelihara
dari hal-hal yang dilarang oleh Allah baik lahir maupun batin.
Dalam konteks perilaku kehidupan sehari-hari
amanah memiliki arti tumbuhnya sikap untuk memelihara dan menjaga apa saja yang
menjadi perjanjian atau tanggungan manusia berupa benda nyata atau yang
bersifat maknawi karena amanah memiliki makna yang sangat luas yang mencakup
seluruh hubungan muamalah dan hak-hak pihak lain yang harus ditunaikan.
Menepati amanah merupakan
moral yang mulia, Allah swt. menggambarkannya sebagai orang mukmin yang
beruntung (Q.S.23:8), sebaliknya Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat
dan tidak merestui tipu dayanya (Q.S.12:52), dan orang yang mengkhianati amanah
termasuk salah satu sifat orang munafik (hifokrit).
Amanah merupakan unsur yang amat
vital dan sangat urgen keberadaanya dalam kelangsungan roda perekonomian,
karena bencana terbesar di dalam pasar dewasa ini adalah meluasnya tindakan
manipulasi, dusta, batil, khianat, bahkan menzalimi orang dengan perdagangan
yang dilakukan, misalnya berbohong dalam mempromosikan barang (taghrir),
mudah bersumpah, menimbun stok barang demi keuntungan pribadi, mengadakan
persekongkolan jahat untuk memperdaya konsumen (tamajil), menyembunyikan
kerusakan barang (tadlis) dan sebagainya. Pada hakikatnya perdagangan
yang demikian disibukkan oleh laba kecil dari pada laba besar, terpaku kepada
keberuntungan yang fana dari pada keberuntungan yang kekal.
Inilah yang dikatakan oleh Nabi
Muhammad saw. ketika beliau ke luar rumah dan melihat komunitas manusia sedang
bertransaksi jual beli. Beliau berseru, wahai para pedagang! Pandangan para
pedagang langsung terarah kepada beliau, Nabipun melanjutkan perkataannya,
sesungguhnya para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka,
kecuali mereka yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan benar (HR.
Tirmizi). Dalam hadis lain beliau bersabda : Sesungguhnya para pedagang adalah
pendurhaka. Mereka berkata : Ya Rasulallah, bukankah jual beli dihalalkan? Nabi
menjawab: Benar, tetapi mereka terlalu mudah bersumpah sehingga mereka berdosa
dan terlalu banyak berbicara sehingga mereka mudah berbohong .(HR. Ahmad)[24].
Amanah bertambah penting pada saat
seseorang memesan barang kepada pihak lain yaitu dalam bentuk murabahah
kepada pemesan pembelian yang merupakan salah satu bentuk pembiayaan murabahah
di perbankan syariah. Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji
demi kemaslahatan bersama, jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi
kemalahatan atau keuntungan pihaknya tanpa memikirkan kemaslahatan atau
keuntungan pihak lain, maka ia telah berkhianat.
Amanah merupakan faktor utama
terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa, sebab dengan sikap
amanah semua komponen bangsa akan berlaku jujur, tanggung jawab dan disiplin
dalam setiap aktifitas kehidupan. Mewabahnya korupsi, monopoli dan oligapoli
dalam berbagai lapangan kerja dan sektor ekonomi baik ekonomi mikro maupun
ekonomi makro, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, hilangnya saling
percaya, tumbuhnya saling mencurigai (negative thinking), menjamurnya mental
hipokrit, apriori terhadap tugas dan kewajiban dan sifat-sifat tercela lainnya
sebagai akibat dari hilangnya amanah.
Keputusan Fatwa Dewan Syariah
Nasional yang menetapkan Lembaga Keuangan Syariah dibolehkan untuk meminta uang
muka apabila kedua belah pihak bersepakat tidak bertentangan dengan asas-asas murabahah
yang telah ditetapkan fuqaha masa lalu karena situasi dan kondisi antara
pelaksanaan murabahah yang dilaksanakan zaman dahulu ketika
fuqaha menetapkan kaidah-kaidah murabahah dan pelaksanaan murabahah
masa kini sebagai salah satu portofolio pembiayaan di Lembaga Keuangan Syariah.
Dalam menetapkan suatu hukum tidak
terlepas dari illat, yaitu sesuatu yang sudah jelas lagi pasti
yang dapat dipergunakan dasar pembinaan dan mengikat dalam menentukan ada atau
tidaknya suatu hukum. Dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
Adapun yang menjadi illat
dalam menetapkan hukum dibolehkannya uang muka dalam pembiayaan murabahah
adalah muamalah tidak secara tunai dan pembayarannya dengan sistem taqsith
(angsuran), dalam hal ini uang muka dianalogikan pada jaminan karena sebagai
pengikat dan saling percaya ada dua belah pihak yang bermuamalah
(bertransaksi).
Jumhur ulama telah sepakat bahwa
Allah swt. tidak menetapkan sesuatu hukum, kecuali untuk kemaslahatan
hamba-hambaNya. Kemaslahatan itu ada dua macam, berupa manfaat bagi manusia dan
berupa terhindarnya manusia dari kemadharatan. Oleh karena itu yang menjadi
pendorong untuk menetapkan suatu hukum adalah mencari kemanfaatan bagi manusia
dan menolak kemadharatan bagi manusia dan pendorong inilah yang menjadi tujuan
yang dicapai dengan menetapkan hukum itu yang dinamakan hikmah suatu hukum.
Terdapat perbedaan antara illat dan
hikmah, yaitu illat perkara yang sudah jelas lagi pasti yang dijadikan dasar
pembinaan dan penentuan ada atau tidaknya suatu hukum, sedangkan hikmah adalah
motivasi atau tujuan yang dimaksudkan oleh syara untuk mencari kemanfaatan yang
harus didayagunakan dan kemadharatan yang harus dihindari dan dikurangi.
- B. Hukum Jaminan
Jaminan pembiayan adalah hak dan
kekuasaan atas barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah kepada Bank Syariah
guna menjamin pelunasan kewajibannya apabila pembiayaan yang diterimanya tidak
dapat dilunasi sesuai dengan waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian
pembiayaan atau addendumnya[26].
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah dijelaskan bahwa
jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
Adanya jaminan dalam pembiayaan murabahah disebabkan praktek murabahah
di bank syariah dalam operasionalnya menggunakan sistem murabahah
kepada pemesan pembelian dan transaksi yang berjalan secara angsuran, hal ini
dapat dimengerti karena seseorang tidak akan datang ke bank kecuali untuk
mendapat pembiayaan dan membayar secara angsur.
Pembayaran murabahah dapat
dilakukan secara tunai atau cicilan, pembayaran murabahah secara
cicilan atau angsur dikenal dengan sebutan murabahah muajjal yang
memiliki karakter penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian
(setelah awal akad) baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk pembayaran
sekaligus, hanya kebanyakan pembayarannya secara angsuran.
Ciri dasar kontrak murabahah
sebagai jual beli dengan pembayaran tunda adalah sebagai berikut: (a) nasabah
harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan tentang harga asli
barang, dan batas laba harus ditetapkan dalam bentuk prosentase dari total
harga plus biaya-biayanya; (b) apa yang dijual adalah barang atau komoditas dan
dibayar dengan uang; (c) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh
penjual dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu kepada pembeli; dan (d)
pembayarannya ditangguhkan. Murabahah seperti yang dipahami di
sini, digunakan dalam setiap pembiayaan dimana ada barang yang bisa
diidentifikasi untuk dijual[27].
Adanya ketentuan baru dalam murabahah
yaitu nasabah memberikan jaminan dalam murabahah adalah untuk
menghindari risiko bank terhadap kemungkinan nasabah untuk membeli barang,
terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan bank, seperti kelalaian nasabah
dalam pembayaran atau ketidakseriusan nasabah untuk komitmen terhadap transaksi
yang telah dilaksanakan yang berakibat fatal bagi perkembangan perbankan
syariah dan perekonomian secara keseluruhan.
Hak-hak bank sangat terlindungi di
dalam kontrak, semua barang bergerak dan tidak bergerak milik nasabah dan
penjaminnya dapat dipergunakan untuk memenuhi kewajiban yang timbul
akibat kontrak murabahah.
Bank syariah mengenakan agunan atau
jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkannya. Alasan utama adanya
agunan pada bank syariah adalah untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam
menyalurkan dana pihak ketiga. Alasan semacam ini memang dapat diterima, karena
dana yang disalurkan ke masyarakat bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi
ada juga dana yang berasal dari pihak ketiga yang harus dilindungi oleh bank
syariah. Memelihara dan menjaga hal-hal yang berdampak negatif dan menyebabkan
kehancuran diri, komunitas ataupun institusi adalah suatu kewajiban, sebaliknya
haram hukumnya bertindak yang membawa efek negatif bagi kelangsungan hidup
dalam arti luas termasuk di dalamnya hancurnya lembaga-lembaga perekonomian
yang sangat dibutuhkan masyarakat. Frman Allah Q.S. al-Baqarah (2) ayat 195:
Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan
Secara fiqh, adanya agunan yang
dijalankan oleh bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan bagi
nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard) dalam proses pembayaran.
Dalam hukum Islam menghidar dan menutup perbuatan yang dapat membawa kepada
keharaman adalah suatu keniscayaan yang dikenal dengan metode sad al-zariah
yaitu menutup jalan yang menuju perbuatan terlarang..
Walaupun begitu, bank syariah saat
ini memang harus sangat selektif dalam menerapkan praktek agunan bagi para
nasabahnya. Artinya dalam kondisi tertentu pihak bank syariah harus betul-betul
mengetahui karakteristik sang nasabah dan bank syariah harus berani menetapkan
agunan tidak hanya didasarkan pada materi, lebih dari itu agunan atau jaminan
bisa jadi dapat berbentuk rekomendasi seseorang atau jaminan dari pihak lain
Secara lengkap maksud dan tujuan
pengikatan/penguasaan jaminan adalah[28] :
- Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dengan barang-barang agunan tersebut apabila nasabah ingkar janji, yaitu tidak bisa membayar kembali kewajibannya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
- Menjamin agar nasabah berperan atau turut serta dalam transaksi yang dibiayai, sehingga dengan demikian kemungkinan nasabah untuk meninggalkan usahanya/proyek dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diminimalisir.
- Memberikan dorongan kepada nasabah untuk memenuhi perjanjian pembiayaan, khususnya mengenai pelunasan kewajibannnya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disepakati, agar nasabah tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada perbankan.
Disamping tujuan tersebut di atas,
jaminan dalam pembiayaan murabahah bertujuan agar nasabah mampu
menanggung kerugian akibat kelalaian nasabah karena setiap manusia bertanggung
jawab atas perbuatannya dan kelalaian akibat perbuatan seseorang tidak dapat
dibebankan kepada pihak lain. Firman Allah dalam Q.S. al-Najm (53) ayat 38-39
Seseorang
tidak akan menanggung beban kesalahan orang lain. Dan tidaklah manusia
mendapatkan melainkan hasil usahanya.
- Jaminan perorangan (personal guarantee/borgtocht) adalah suatu perjanjian penanggungan utang dimana pihak ketiga mengikatkan diri untuk memenuhi kewajiban nasabah dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada perbankan (wanprestasi).
- Jaminan perusahaan (corporate guarantee) adalah suatu perjanjian penanggungan utang yang diberikan oleh perusahaan lain untuk memenuhi kewajiban nasabah dalam hal nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada perbankan.
- Jaminan kebendaan adalah penyerahan hak oleh nasabah atau pihak ketiga atas barang miliknya kepada perbankan guna dijadikan agunan atas pembiayaan yang diperoleh nasabah.
Salah satu asas murabahah adalah
penjualan dilakukan dengan cara yang jujur atau transfaran, sehingga antara
penjual dan pembeli terbangun kepercayaan untuk saling mempercayai yang dikenal
dengan ba’i al-amanah. Sebagaimana dimaklumi praktek pembiayaan
murabahah di lembaga keuangan syariah didominasi oleh pembayar secara taqsith
atau angsuran tidak secara naqdan atau tunai. Kepercayaan, kejujuran
adalah bersifat abstrak yang tidak ada tolak ukurnya. Untuk menjamin
transfaransi dan saling percaya antara nasabah dengan bank yang bersifat
abstrak tersebut menjadi hal yang konkrit adalah jaminan atau agunan, apalagi
melihat kondisi zaman dewasa ini kejujuran/amanah termasuk sesuatu yang sulit
ditemukan dalam kondisi masyarakat yang cenderung materialistik dan hedonistik,
sehingga jaminan dalam pembiayaan murabahah adalah sebagai salah
satu bentuk aplikasi asas transfaransi dan amanah.
Ditinjau dari jenisnya, jaminan
kebendaan terbagi pada dua jenis, yaitu[30]:
- Jaminan kebendaan atas barang bergerak, yaitu semua barang yang secara fisik dapat dipindahtangankan, kecuali karena undang-undang, barang tersebut ditetapkan sebagai barang tidak bergerak.
- Jaminan kebendaan atas barang tidak bergerak, yaitu tanah dan barang-barang lain karena sifatnya oleh undang-undang dinyatakan sebagai benda tidak bergerak, seperti mesin pabrik yang sudah terpasang, kapal laut dengan bobot tertentu dan kapal udara.
Barang yang dapat dijadikan sebagai
jaminan pembiayaan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Harus mempunyai nilai ekonomis, artinya dapat dinilai dengan uang dan dapat dijadikan uang.
- Harus dapat dipindahtangankan kepemilikannya dari pemilik semula kepada pihak lain (marketable, executeur baar).
- Harus mempunyai nilai yuridis, dalam arti dapat diikat sehingga pembiayaan memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap hasil pelelangan barang tersebut.
Jaminan harus memenuhi kriteria di
atas, karena di dalam mengadakan suatu akad harus saling menguntungkan, jaminan
dalam pembiayaan murabahah dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan
nasabah dan pihak bank, tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah
satu pihak, sehingga prinsip maslahah dan ‘adalah dalam transaksi
dapat terwujud dengan adanya jaminan tersebut.
Jaminan dapat dikelompokkan dalam
dua golongan, yaitu:
- Jaminan utama
Jaminan utama adalah barang-barang
bergerak atau barang tidak bergerak yang dibiayai dengan pembiayaan atau
merupakan objek pembiayaan, seperti alat-alat pengangkutan dalam rangka
pembiayaan investasi prasarana..
- Jaminan tambahan
Jaminan tambahan adalah barang,
surat berharga, atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang
dibiayai, yang ditambahakan sebagai jaminan apabila dalam penilaian
pembiayaan/analisis pembiayaan, bank belum memperoleh keyakinan atas kemampuan
dan kesanggupan nasabah untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Jaminan utama dan jaminan tambahan
yang disepakati dalam akad pembiayaan murabahah tidak dibenarkan
memberatkan salah satu pihak, sebab dalam suatu akad harus dilakukan dengan
cara saling memberikan kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat
melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan dalam rangka menegakkan kemaslahatan,
dilaksanakan dengan itikad baik, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan
buruk lainnya.
Dalam pembiayaan murabahah,
pembayarannya dengan secara tempo dan melalui angsuran sesuai dengan
kesepakatan. Setiap muamalah yang dilakukan secara tempo disyariatkan harus ada
jaminan yang dapat dipegang oleh yang memberi kepercayaan bagi yang memberikan
pembiayaan, dalam hal ini adalah lembaga keuangan syariah. Firman Allah dalam
Q.S. al-Baqarah (2) ayat 283:
Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan.
Jaminan merupakan salah satu unsur
dalam analisis pembiayaan, oleh karena itu barang-barang yang diserahkan
nasabah harus dinilai pada saat dilaksanakan analisis pembiayaan dan harus
hati-hati dalam menilai barang-barang tersebut karena harga yang dicantumkan
oleh nasabah tidak selalu menunjukkan harga yang sebenarnya. Penilaian yang
terlalu tinggi dapat berakibat bank berada pada posisi yang lemah. Jika
likuidasi/penjualan barang jaminan tidak dapat dihindarkan, keadaan tersebut
dapat membawa lembaga keuangan kepada kerugian karena hasil penjualan akan
lebih rendah daripada harga semula, sehingga tidak dapat menutupi kewajiban
nasabah kepada lembaga keuangan.
Untuk menekan tingkat rasio
pembiayaan bermasalah atau nonperforming financing (NPF) di Bank Syariah
diperlukan adanya jaminan yang marketable, karena jaminan merupakan
garansi yang mengikat baik secara moral maupun materil dari nasabah.
Untuk menguji nasabah itu komitmen
atau tidak untuk melunasi seluruh kewajiban-kewajibannya bisa juga dilihat dari
jaminan yang diberikan nasabah, apabila nasabah itu memberikan jaminan itu
tidak marketable (tidak memiliki nilai jual/asal-asalan) atau jaminan
itu hasil dari meminjam dari orang lain yang tidak terkait dengan
perusahaannya, maka kecenderungannya nasabah itu tidak komitmen untuk melunasi
kewajibannya. Oleh karena itu terhadap jaminan perlu dilakukan investigasi yang
teliti dan akurat menyangkut hal-hal sebagai berikut: (a) Nilai transaksi dan
likuidasi; (b) Kondisi dan letak jaminan; (c) Kepemilikan, dalam hal kepemilikan
harus diketahui secara jelas siapa pemiliknya, apakah milik nasabah atau milik
orang lain yang mana nasabah hanya meminjamnya saja. Dan yang terpenting lagi
status jaminan tersebut tidak dalam sengketa dan potensial bermasalah.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah
(bank garansi) adalah jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah
untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan
tidak memenuhi kewajibannya.
Di samping itu, jaminan
(penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan
jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee).
Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee)
dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur
dalam Surat Edaran Direksi Bank Indonesia Nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret
1991.
Bank garansi yang diterbitkan suatu
bank merupakan. pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima
jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya
kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga
pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas
permintaannya, dan penerima jaminan.
Bank dalam pemberian garansi ini,
bisaanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya)
dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping itu, bank memungut biaya
sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
Keputusan Fatwa Dewan Syariah
Nasional yang menetapkan jaminan dalam murabahah dibolehkan agar
nasabah serius dengan pesanannya dan bank dapat meminta nasabah untuk
menyediakan jaminan tidak bertentangan dengan asas-asas murabahah
yang telah ditetapkan fuqaha masa lalu karena situasi dan kondisi antara
pelaksanaan murabahah yang dilaksanakan zaman dahulu ketika
fuqaha menetapkan kaidah-kaidah murabahah dan pelaksanaan murabahah
masa kini sebagai salah satu portofolio pembiayaan di Lembaga Keuangan Syariah.
Murabahah yang berlaku di Lembaga Keuangan Syariah termasuk jenis
muamalah yang dilakukan secara tidak tunai dan pembayarannya dengan sistem taqsith
(angsuran) sehingga dapat diterapkan hukum jaminan dalam pelaksanaan pembiayaan
murabahah tersebut.
Hikmah hukum yang terkandung dalam
pembebanan jaminan dalam pembiayaan murabahah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan, yakni menarik manfaat, menolak kemudharatan dan
menghilangkan kesusahan. Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas macamnya dan
tidak terhingga jumlahnya yang selalu bertambah dan berkembang mengikuti
situasi dan ekologi masyarakat.
Dengan penetapan hukum dibolehkan
uang muka dan jaminan dalam pembiayaan murabahah, sebagai bukti
bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersifat konprehensif dan universal karena
syariat Islam telah didesain oleh Allah untuk semua umat, semua kondisi dan
situasi sampai akhir zaman dengan tujuan utama kemaslahatan umat dan terhindar
dari segala bentuk kemadharatan dan kemasyakatan dalam menggapai keselamatan
dan kebahagiaan hidup dan kehidupan dunia dan akhirat di bawah naungan ridha
Allah.
Komentar
Posting Komentar