Esensi Pencatatan Perkawinan
Esensi
Pencatatan Perkawinan
Pandangan
Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan berbeda ( concurring
opinion), sebagai berikut:
- - Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974
adalah “... ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan 39 membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”; sedangkan mengenai syarat
sahnya perkawinan Pasal 2 UU 1/1974 menyatakan bahwa: ayat (1) “Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”Sementara ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
.
- Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU
1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena
pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak
ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak
berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut
agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh
terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang dilakukan. Keberadaan norma agama
dan norma hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama, memiliki
potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini, potensi
saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU
1/1974. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah
sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya,
ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2
ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan akan sah dan memiliki
kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang atau pegawai pencatat
nikah.
- Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974
dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh
terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat
perkawinan. Seturut dengan itu, kata “perkawinan” dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang a quo juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam
atau perkawinan menurut rukun nikah yang lima. - -Namun demikian, berdasarkan
tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam masyarakat, sahnya
perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara langsung
menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di
masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran
masyarakat tanpa dilindungi oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan
pemaksa.
- Pencatatan perkawinan diperlukan
sebagai perlindungan negara kepada pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk
menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan
kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut
agama dan kepercayaan tersebut.
-
Dengan kata
lain, pencatatan perkawinan diperlukan untuk menghindari penerapan hukum agama
dan kepercayaannya itu dalam perkawinan secara sepotong-sepotong untuk
meligitimasi sebuah perkawinan, sementara kehidupan rumah tangga
pascaperkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud. Adanya
penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin
kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya,
adalah bukti tidak adanya konsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh.
-
Esensi
pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan
anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan setidaknya
dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi, wanita dan
anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab.
Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita dan anak-anak dari
penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan menetapkan syarat agar
rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat dihindari dan
ditolak.
-
Negara
mengatur (mengundangkan) syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi
norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan.
-
Syarat-syarat
perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat
pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi
kependudukan. Saya berharap adanya upaya sinkronisasi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan
konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan.
- Saya berharap adanya upaya sinkronisasi hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama
dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut administrasi kependudukan.
- Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
prakteknya, hukum tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh
pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih terdapat
perkawinan-perkawinan yang mengabaikan UU 1/1974, dan hanya menyandarkan pada
syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu. Terhadap
perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan menurut
UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan
dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai
istri dan hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut.
-
Para Pemohon
menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ”, adalah
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Saya menilai, Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo yang
mensyaratkan pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk
melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya tidak menghalangi adanya
pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya pelaksanaan
program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama
melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan.
-
Selain itu
hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan
pencatatan perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh
Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat
dimaksimalkan apabila semua perkawinan dicatatkan sehingga dengan mudah akan
diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki kewajiban terhadap anak
dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas status dan akibat hukum dari suatu peristiwa hukum
seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian.
-
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang
dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2 42 ayat (2) UU 1/1974,
walaupun jika pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak bagi sahnya
perkawinan, pasal a quo potensial merugikan hak konstitusional Pemohon I.
- Harus diakui bahwa praktek hukum
sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya golongan
masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari berpegang pada hukum
agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun mendasarkan hubungan
keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara
tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang
tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik yang sederhana maupun yang
kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum agama, maupun hukum
adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek
negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional
(peraturan perundang-undangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme
hukum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi
pluralisme hukum, di satu sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan
hukum agama maupun hukum adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya
dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945
menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
”
- Dalam kenyataannya, di Indonesia
masih banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum agama atau
kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat ahnya perkawinan menurut ajaran
agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan pencatatan perkawinan sebagai
bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan.
Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan
terhadap wanita dan anak-anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat
perbedaan kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari
sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat
bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud.
- Secara teoritis, norma agama atau
kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan,
karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental
yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya;
sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat
oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara
sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah). Potensi
kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita
(istri) sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian
tersebut dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama
pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum
perkawinan, perlindungan oleh negara (Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam
perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika
perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu
syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974).
- Konsekuensi lebih jauh, terhadap
perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat emberikan
perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak
lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak
wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita
(istri) dengan suaminya.
- Perkawinan yang tidak didasarkan
pada UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang terutama adalah tidak
diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya, yang
tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk
membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu,
dalam masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai radisional,
pengertian keluarga selalu merujuk pada engertian keluarga batih atau keluarga
elementer, yaitu suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak
(anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga yang tidak memiliki kelengkapan
unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan
memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini adalah
sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis,
yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak
biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan
terhadap anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan
oleh tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
diskriminatif.
-
Potensi
kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”. Keberadaan Pasal a quo menutup
kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak
kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan
atau perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada
tempatnya jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh
tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai sebuah sanksi,
hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak mengenal
konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh
kedua rang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata
lain, potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan,
tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam
perkawinan tersebut.
- Dengan demikian, menurut saya,
pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah
atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban
kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.
Komentar
Posting Komentar